Hakim Ad Hoc Nyatakan Dakwaan Susi Batal Demi Hukum
Berita

Hakim Ad Hoc Nyatakan Dakwaan Susi Batal Demi Hukum

Disampaikan dalam dissenting opinion putusan sela.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus suap sengeketa pilkada lebak Susi Tur Andayani. Foto: RES
Terdakwa kasus suap sengeketa pilkada lebak Susi Tur Andayani. Foto: RES
Satu dari lima hakim yang membacakan putusan sela perkara korupsi Susi Tur Andayani di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/3), menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion). Hakim ad hoc Sofialdi menganggap dakwaan Susi tidak jelas dan cermat, sehingga mengakibatkan dakwaan kabur dan dinyatakan batal demi hukum.

Sofialdi mengatakan, uraian perbuatan Susi dalam surat dakwaan tidak sejalan dengan tindak pidana yang didakwakan. Susi didakwa menggunakan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena menerima suap bersama-sama M Akil Mochtar dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan.

Padahal, peran Susi selaku advokat dalam tindak pidana tersebut lebih kepada mewakili kepentingan para pihak yang berperkara di MK. Peran Susi sebagai medepleger (turut serta) lebih kepada bersama-sama Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, dan pihak-pihal lain yang memberikan sesuatu atau janji kepada Akil selaku hakim MK.

Sementara, Pasal 12 huruf c UU Tipikor merupakan pasal khusus bagi hakim yang penerima suap. Sofialdi berpendapat, pasal ini tidak dapat diberlakukan untuk Susi yang berkapasitas sebagai advokat yang mewakili kepentingan para pemberi. Sofialdi menilai, Susi justru lebih tepat didakwa dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor.

Ia menjelaskan, ada enam macam bentuk tindak pidana korupsi suap yang berhubungan dengan proses hukum di pengadilan. Diantaranya, Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor bagi orang yang menyuap hakim, Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Tipikor bagi orang yang menyuap advokat, serta Pasal 6 ayat (2) bagi hakim atau advokat yang menerima suap.

Menurut Sofialdi, Pasal 12 huruf c UU Tipikor berlaku bagi hakim yang menerima sesuatu atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diperiksanya. Sedangkan, Pasal 12 huruf d UU Tipikor bagi advokat yang menerima suap terkait nasihat hukumnya.

“Setelah melihat uraian dakwaan penuntut umum, hakim anggota tiga berpandangan, telah terjadi ketidakcermatan dan ketidakjelasan. Surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 143 ayat (2) huruf d KUHAP, sehingga dakwaan menjadi kabur dan dapat dinyatakan batal demi hukum,” katanya.

Oleh karena telah terbukti terjadi ketidakjelasan dan ketidakcermatan yang mengakibatkan dakwaan kabur, Sofialdi menegaskan surat dakwaan penuntut umum, baik dakwaan kesatu maupun kedua batal demi hukum. “Dengan demikian, pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Susi Tur Andayani tidak dapat dilanjutkan,” imbuhnya.

Namun, pendapat Sofialdi ini seakan-akan tak berarti “apa-apa”. Pasalnya, mayoritas hakim (ketua majelis dan tiga anggota majelis) lainnya berpendapat surat dakwaan penuntut umum telah memenuhi ketentuan Pasal 143 KUHAP. Mereka justru menilai keberatan atau eksepsi pengacara Susi tidak berdasar hukum.

Ketua majelis hakim Gosen Butarbutar menyatakan, sesuai Pasal 156 jo Pasal 143 KUHAP, majelis menyatakan keberatan pengacara Susi tidak dapat diterima. Surat dakwaan penuntut umum sah sebagai dasar untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Susi. “Majelis memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan terdakwa,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, advokat Susi Tur Andayani alias Uci didakwa menjadi perantara suap mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Penuntut umum KPK mendakwa Susi menerima hadiah atau janji dari Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Ratu Atut Chosiyah, serta Rycko Menoza dan Eki Setyanto untuk diberikan kepada Akil.

Pemberian uang tersebut dimaksudkan agar Akil selaku hakim MK dan Ketua Panel Hakim MK mengabulkan permohonan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak dan Kabupaten Lampung Selatan. Penuntut umum menganggap perbuatan Susi melanggar ketentuan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tags:

Berita Terkait