Gugatan Yusril Soal Pencapresan Kandas
Utama

Gugatan Yusril Soal Pencapresan Kandas

MK dituding “takut” menafsirkan Pasal 6A ayat (2) dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 1945.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra dikerubungi wartawan usai persidangan di MK. Foto: RES
Yusril Ihza Mahendra dikerubungi wartawan usai persidangan di MK. Foto: RES
Majelis MK, akhirnya menolak permohonan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan calon presiden dari Partai Bulan Bintang Prof Yusril Ihza Mahendra. Permohonan ini terkait permintaan pemilu serentak dan penghapusan ketentuan presidential threshold.

“Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 108/PUU-XI/2013 di ruang MK, Kamis (20/3).

Sebelumnya, Yusril memohon pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres terkait pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pemilu Legislatif (tidak serentak). Dengan cara MK diminta menafsirkan Pasal 4, Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E UUD 1945. Spesifik, dia meminta agar Pemilu 2014 tetap dapat dilakukan secara serentak.   

Menurut Yusril, pemilu serentak tidak harus menunggu pada 2019 seperti termuat dalam putusan MK bernomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali. Sebab, putusan MK berkekuatan hukum tetap berlaku sejak diucapkan sesuai bunyi Pasal 46 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK.

Secara khusus, Yusril pun meminta MK menghapus Pasal 9 UU Pipres terkait ketentuan ambas batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh parpol atau gabungan parpol minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional. Sebab, Pasal 9 yang dimohonkan Effendi sebelumnya pun ditolak MK karena persoalan itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang.             

Mahkamah berpendapat dalil pemohon yang menggunakan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional Pasal 3 ayat (5) Pasal 12 ayat (1), (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 112 UU Pilpres terkait pengusulan capres dan wapres harus dilaksanakan sebelum memilih anggota DPR dan DPRD secara substansial telah dipertimbangkan dalam putusan No. 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014.

“Meskipun tidak secara eksplisit menyebut pasal aquo, pertimbangan Mahkamah mutatis mutandis (otomatis) berlaku terhadap dalil pemohon tersebut,” ucap Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan pertimbangan putusan.  

Harjono melanjutkan parpol peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD  sejalan dengan putusan MK yang memberi pertimbangan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial ke arah yang dikehendaki.Atas dasar itu, dalil pemohon tidak beralasan hukum.

Dalam putusannya, mengutip Pasal 9 UU Pilpres yang menyebut “Pasangan calon diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.”

Menurut Mahkamah, putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 maupun putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 februari 2009 telah menyebutkan Pasal 9 UU Pilpres merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy pembentuk undang-undang.

Peluang Kecil
Ditemui usai persidangan, Yusril mengatakan tidak akan melakukan langkah apapun kendati peluang pencapresannya semakin kecil lantaran ditolak permohonannya. ”Bagi saya persoalan penting mengenai Pasal 6A ayat (2) UUD 45, tetapi MK menolak menafsirkannya, padahal persoalan ini menyangkut persoalan konstitusionalitas dan legitimasi,” kata Yusril usai persidangan.

Menurut mantan menteri kehakiman ini seharusnya MK bisa menafsirkan Pasal 6A ayat (2) dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 1945. Namun, secara tegas MK justru mengatakan tidak berwenang untuk menafsirkan konstitusi. ”Saya pikir MK ini sudah jadi penakut, tidak berani menafsirkan dan mengingkari kewenangannya yang selama ini digembor-gemborkan sebagai penafsir tunggal konstitusi,” kritiknya.

Cukup aneh jika MK menyatakan tidak berwenang untuk memberi penafsiran.Baginya, bunyi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah tegas menyatakan bahwa pasangn calon presiden dan wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Tetapi, MK tidak berani menafsirkan, artinya MK akan membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 6A ayat(2) UUD 1945.

Ditolaknya uji materi ini, sekaligus mematahkan isu yang mengatakan dirinya berhubungan dengan Ketua MK Hamdan Zoelva sebagai mantau kader PBB. ”Selama ini selalu digembar-gemborkan akan dikabulkan karena Hamdan Zoelva bekas anak buah saya. Anda menyaksikan semua, tidak ada hubungan saya dengan saudara Hamdan,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait