Perjanjian Perdagangan Internasional Harus Sesuai UU Perdagangan
Utama

Perjanjian Perdagangan Internasional Harus Sesuai UU Perdagangan

UU Perdagangan dikhawatirkan tidak konsisten terhadap sejumlah perjanjian yang telah dilakukan oleh Indonesia.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FHUI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Guru Besar FHUI, Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Kerjasama perdagangan internasional sudah kerap dilakukan oleh Indonesia, baik dalam skala ASEAN maupun skala yang lebih luas. Misalnya, ASEAN Free Trade Areas (AFTA), China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), atau yang terbaru yakni ASEAN Economic Community (AEC) yang akan dilaksanakan pada 2016 mendatang.

Bahkan, Indonesia turut bergabung dalam World Trade Organization (WTO), dimana setiap negara anggota harus mengikuti dan melakukan penyesuaian aturan yang dikeluarkan oleh WTO terhadap regulasi di negara masing-masing.

Pasca sederet perjanjian-perjanjian tersebut, apa yang diperoleh Indonesia? Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Hendri Saparini, sempat mengatakan paska liberalisasi AFTA, atau ASEAN dengan China dan kerjasama multilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak kerugian. Pasalnya, produk dari kedua negara tersebut membanjiri pasar Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Hikmahanto Juwana, mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam melakukan perjanjian internasional. Apalagi, obyek yang dituju oleh berbagai perjanjian perdagangan internasional adalah kebijakan pemerintah dibidang perdagangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penilaian Hikmahanto tak jauh berbeda dari Hendri. Hikmahanto menilai banyak perjanjian perdagangan internasional yang diikuti oleh pemerintah Indonesia yang tidak memberikan implikasi apapun terhadap perekonomian dalam negeri.

“Dalam hal perjanjian internasional, pemerintah harus berhati-hati karena seringkali perjanjian tersebut tidak ada implikasinya,” kata Hikmahanto dalam seminar yang diselenggarakan hukumonline, yang bertajuk “Pengaturan Perdagangan di Indonesia serta Implikasi Hukum Pasca Penerbitan UU Perdagangan”, Selasa (25/3).

Menurut Hikmahanto, dalam tiap perjanjian internasional perlu ada perimbangan perdagangan antar dua negara atau lebih yang melakukan perjanjian. Berbeda halnya dengan Indonesia. Kebutuhan akan impor yang sangat besar membuat Indonesia tidak dapat menerapkan perimbangan perdagangan tersebut. “Ini harus diperhatikan,” ujarnya.

Apalagi, pada saat UU Perdagangan telah disetujuioleh DPR, Indonesia telah banyak mengikuti perjanjian perdagangan internasional. Ia turut mempertanyakan, apakah berbagai perjanjian perdagangan internasional tersebut sudah sesuai dengan UU Perdagangan atau tidak. Bila tidak, lanjut Hikmahanto, apakah yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Tetap dalam perjanjian perdagangan internasional atau keluar.

Memang, peninjauan kembali atas perjanjian perdagangan internasional dimungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan merupakan kedaulatan sebuah negara. Namun, politik internasional akan berperan bila suatu negara dianggap lebih baik berada dalam suatu perjanjian internasional. Apalagi, Indonesia yang memiliki potensi pasar yang besar dan menjadi incaran negara lainnya.

Kekhawatiran lainnya adalah UU Perdagangan justru dianggap tidak konsisten terhadap sejumlah perjanjian yang telah dilakukan oleh Indonesia. Tak menutup kemungkinan, persoalan ini akan membawa Indonesia ke dispute settlement body.  Hikmahanto juga mempertanyakan apakah Kementerian Perdagangan siap akan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

“Jika ingin kepentingan nasional dikedepankan dalam UU Perdagangan, perjanjian perdagangan internasional harus dievaluasi, bukan dengan tetap berada di dalamnya,” katanya.

Agar tak kembali mengulangi kesalahan dalam perjanjian internasional, Hikmahanto menyarankan agar pemerintah memperhatikan dua hal sebelum perjanjian dilakukan. Pertama, hindari perjanjian yang didasarkan pada solidaritas terhadap negara tetangga dan melihat serta mempertimbangkan kepentingan pelaku usaha nasional. Keberpihakan terhadap pelaku usaha nasional merupakan sebuah kewajaran ketika harus berhadapan dengan pelaku usaha asing.

“Kita tidak anti asing tetapi kita punya keberpihakan yang wajar kepada pelaku usaha kita ketika kita harus berhadapan dengan asing. Dan itu bagus,” tegasnya.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima turut menyoroti perjanjian perdagangan internasional yang selama ini tidak melibatkan parlemen. Menurutnya, perjanjian perdagangan internasional yang hanya diwakilkan oleh eksekutif dan tanpa kepala negara serta parlemen selaku representasi rakyat hanya dilakukan oleh Indonesia.

“Perjanjian internasional, enggak ada yang dibikin kayak di Indonesia. Tanpa kepala negara dan parlemen dan hanya diwakilkan oleh eksekutif saja,” katanya.

Dengan adanya UU Perdagangan, maka DPR memiliki fungsi dan peran penting dalam perjanjian perdagangan internasional. Setiap rencana perjanjian perdagangan internasional harus dipastikan masuk ke Komisi yang bersangkutan untuk segera diputuskan apakah perjanjian tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR atau tidak. Hal ini dinilai penting untuk beberapa perjanjian yang berdampak pada munculnya UU baru, mempengaruhi keuangan negara dan menyoal hajat hidup orang banyak.
Tags:

Berita Terkait