Meninjau Kembali Aturan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Bagian 1)
Kolom

Meninjau Kembali Aturan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Bagian 1)

Jika masalah novum terkait PK pidana merupakan hal yang dinilai substansial, begitu juga halnya masalah novum terkait PK perdata atau TUN

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan pembatasan Peninjauan Kembali (PK) hanya boleh sekali, itu hanya berlaku untuk putusan pidana dan tidak untuk putusan perdata? Iya, jawab Prof. Yusril Ihza Mahendra, dengan alasan hanya pasal terkait PK pidana itu sajalah yang telah dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat oleh MK.

Tentu alasan ini sahih. Tetapi, bukan berarti tak mungkin ada permohonan diajukan ke MK untuk menyatakan pembatasan PK hanya sekali tidak berlaku mengikat untuk semua jenis perkara? Kalau alasan yang mendasarinya ternyata juga sama dengan permohonan PK pidana, yaitu terbukanya kemungkinan adanya novum yang ditemukan kemudian, misalnya, lalu apa nanti dasar MK menolaknya?

Sekadar membantu ingatan kita, berikut ini pertimbangan (utama) MK dalam putusan yang menghapuskan pembatasan PK tersebut: “Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.”

Jika masalah novum terkait PK pidana merupakan hal yang dinilai substansial, penulis pikir begitu juga halnya masalah novum terkait PK perdata atau TUN, “karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan”. Sebagaimana perkara pidana, alat bukti (keadaan) dalam perkara perdata sebenarnya tidak kalah substansial.

Dalam penentuan hak atas tanah atau benda terdaftar lainnya, misalnya, adanya bukti otentik dapat saja bersifat substansial. Selain itu, dalam perkara gugatan ganti rugi, entah berdasarkan wanprestasi, PMH, atau lainnya, hakim semestinya mendasari kewajiban ganti rugi yang diperintahkannya berdasarkan suatu nilai yang obyektif dan faktual. Tidak cermatnya penilaian atas hal-hal tersebut dalam proses persidangan, tentu dapat berakibat pada tidak wajarnya dampak putusan yang diambilnya. Dengan demikian, kekeliruan atau kekhilafan nyata – sebagian orang menyebutnya sebagai (proses) ‘peradilan sesat’ – tak hanya dapat terjadi menyangkut nasib terpidana, tetapi juga pihak ‘terhukum’ dalam sebuah perkara perdata.

Namun, selain pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra yang langsung menutup kemungkinan itu (atau justru membuka ruang perdebatan untuk itu), beberapa pihak tampaknya juga mulai khawatir dengan kemungkinan dihapuskannya juga pembatasan PK untuk perkara perdata. Beban perkara Mahkamah Agung (MA) sering disebut sebagai alasan keberatan tersebut, selain masalah kepastian hukum. Data perkara memang menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir setidak-tidaknya terdapat sekitar 2500 permohonan PK diterima setiap tahunnya, serta hampir setengahnya terkait perkara TUN yang memang cenderung semakin meningkat.

Pada tahun 2012, total permohonan PK yang masuk ke MA berjumlah 2570 buah, 1008 buah diantaranya adalah PK perdata (termasuk perdata khusus), sedangkan PK TUN ada 1044 buah. Sementara pada tahun 2013, terdapat 2426 buah permohonan PK, di mana 816 buah diantaranya adalah PK perdata, serta 1180 buah lainnya PK TUN. Menurut pengamatan peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, tingginya jumlah permohonan PK di bidang TUN disebabkan oleh masuknya perkara-perkara sengketa pajak ke Kamar TUN. Dari Laporan Tahunan 2012 dan 2013, dapat dilihat bahwa sekitar 85% PK TUN merupakan PK dalam sengketa pajak.

Penulis pikir, permasalahan beban perkara ini tentu suatu masalah tersendiri yang hanya dapat diatasi dengan mempelajari pola-pola alasan permohonan-permohonan PK yang diajukan, untuk membedakan PK yang berdasar dan tidak berdasar. Seiring dengan waktu, MA sendiri bukan tidak mungkin dapat secara sistematis ‘membatasi’ permohonan mana yang dapat diterima, serta tidak, dan membentuk ‘yurisprudensi’ atas permasalahan ini. Karena ini berhubungan dengan fakta, bukan tidak mungkin pengaturannya sendiri perlu diubah, misalnya dengan mendistribusikan penilaian permohonan-permohonan PK tersebut ke pengadilan tingkat bawah (judex facti) yang terakhir memutus (atau terakhir sebelum dibatalkan/dikuatkan oleh MA).

Kemudian, terkait kepastian hak salah satu pihak yang telah ‘dimenangkan’ dalam suatu perkara tertentu, penetapannya harus didasari pula dengan suatu proses yang jujur (fair). Dua hal di atas mungkin menarik untuk dikaji lebih dalam lagi, yaitu dengan mempelajari permohonan-permohonan PK yang diajukan selama ini, namun dalam ruang yang terbatas ini, penulis hendak kembali memusatkan dulu perhatian penulis pada permasalahan pembatasan PK dalam perkara perdata. Pertanyaannya, mengapa PK perdata dibatasi hanya boleh sekali saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mencoba menggali pengaturan pembatasan PK ini, asal usul dan perkembangan, serta dasar alasan (rasio) adanya peraturan tersebut.     

Pengaturan PK di Indonesia
Seperti mungkin telah kita ketahui bersama, pembatasan PK (perdata) hanya boleh sekali ini bersumber pada ketentuan Pasal 66 UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung, serta tidak mengalami perubahan dalam dua kali perubahan Undang-undang tersebut. Ayat pertama dari Pasal 66 ini mengatur secara jelas dan tegas, bahwa ‘permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali’. Dalam penjelasan dari pasal tersebut, ternyata tidak terdapat penjelasan lebih lanjut, mengapa PK hanya dapat/boleh diajukan satu kali saja.

Selain itu, ketentuan PK juga diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman (versi terbaru UU No. 48/2009). Pasal 24 ayat (2) dalam undang-undang tersebut mengatur bahwa ‘terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali’. Dengan demikian, pengaturan PK hanya sekali sebenarnya mengandung dua arti: (1) permohonan PK hanya boleh diajukan satu kali dan tidak boleh diajukan lagi; (2) permohonan PK atas PK itu tidak diperbolehkan, tapi mungkin dapat diajukan permohonan PK terhadap putusan BKHT-nya. 

Pengaturan dalam dua peraturan terpisah ini, telah dimulai sejak tahun 1964. Ketika itu, mekanisme PK diatur di dalam UU No. 19/1964 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13/1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, meskipun tak ada ketentuan lebih lanjut mengenai bagaimana persisnya prosedurnya. Jika kita cermati lebih lanjut lagi, tampak bahwa mulai diaturnya PK sepertinya merupakan dorongan dari pembuat undang-undang, ‘supaya pengadilan benar-benar menjalankan keadilan’.

Namun, peraturan mengenai hukum acara ini tidak diharmonisasikan, alih-alih dirinci lagi, oleh pembuat undang-undang dalam suatu peraturan tentang hukum acara. Bagaimanapun juga, itulah kenyataannya, berbeda dengan hukum acara pidana yang kemudian telah diatur (UU No. 8/1981), hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia relatif belum banyak berubah dari masa kolonial. Sampai saat ini, masih berlaku ketentuan-ketentuan HIR yang sebenarnya tidak menyinggung sama sekali mengenai upaya hukum PK tersebut.

Dalam sejarahnya, keteledoran pembuat undang-undang untuk menyusun hukum acara telah membuat MA harus kerepotan mengeluarkan surat-surat edaran sendiri. Kelalaian tersebut mungkin sekaligus menjelaskan, mengapa peraturan PK yang terkait hukum acara ini justru menjadi bagian peraturan tentang organisasi peradilan (termasuk untuk PTUN yang sejak awal hukum acaranya diatur dalam undang-undang mengenai pengadilan tersebut), serta bukan dalam ketentuan tersendiri mengenai hukum acara, kecuali untuk masalah pidana. Bagaimanapun, karena dalam prakteknya hakim harus terus menangani perkara, maka perkembangan hukum acara seperti hanya menjadi tanggung jawab MA belaka. 

Sekadar untuk diketahui, berikut ini dapat kita telusuri kembali ‘rekam jejak’ fungsi legislatif MA, sehubungan dengan permasalahan PK ini. Pertama, pada tahun 1967 MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 6/1967, sebagai reaksi terhadap dibukanya mekanisme PK oleh UU No. 19/1964 dan UU No. 13/1965, bahkan dengan isi yang nyata-nyata menolak pemberlakuan instrumen PK tersebut. Kemudian, muncul Peraturan MA No. 1/1969 yang memuat ketentuan mengenai PK untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, karena tetap tak ada sinyal dari pembuat undang-undang untuk mengambil inisiatif mengatur.

Selanjutnya, ini diikuti keluarnya Surat Edaran MA No. 18/1969, dimana MA menunda sendiri keberlakuan Peraturan MA No. 1/1969, antara lain, akibat belum tercapainya kesepakatan dengan Menteri Kehakiman mengenai pengaturan biaya perkara perdata ketika itu. Terakhir, Peraturan MA No. 1/1976 yang mencabut Peraturan MA No. 1/1971 (kemungkinan merupakan reaksi atas keluarnya UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana pembuat undang-undang, lagi-lagi, tidak segera melanjutkan dengan penyusunan ketentuan hukum acara), sehingga mengakibatkan terbengkalainya seratus permohonan PK yang telah mengantri ketika itu (lihat juga Sebastiaan Pompe, 2005, hlm. 349-353).

Melalui Peraturan MA No. 1/1980, MA kembali mengambil inisiatif ‘menghidupkan’ kembali peraturan mengenai PK. Selain dipercaya sebagai akibat ‘peradilan sesat’ dalam perkara Sengkon-Karta, sepertinya rancangan KUHAP (kemudian menjadi UU No. 8/1981) juga memberi angin bagi dibuatnya ketentuan tersebut ketika itu, meski pembuat undang-undang (sampai saat ini) tetap saja ‘berutang’ untuk menyelesaikan pengaturan hukum acara perdata.

Bagaimanapun, pengaturan mengenai PK seperti sudah menjadi materi yang lazimnya cukup diatur di dalam peraturan atau surat edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan MA No. 3/2002, Surat Edaran MA No. 10/2009, atau Surat Edaran MA No. 1/2012 (pengaturan PK oleh MA ini bukan suatu hal yang unik, karena juga terjadi pada hal-hal lain terkait hukum acara; lihat lebih lanjut Sebastiaan Pompe, 2005, hlm. 359, dst.).

Dari perjalanan pengaturan ini, kita juga akan mendapati bahwa pembatasan PK hanya boleh diajukan satu kali bukan merupakan kebijakan pembuat undang-undang (yang berinisiatif mengatur masalah PK), namun sepertinya lebih merupakan reaksi dari MA dalam menghadapi potensi ‘banjir’ permohonan seperti itu. Pembatasan PK yang kemudian menjadi isi UU No. 14/1985 tersebut, merupakan ketentuan yang sumbernya dapat ditelusuri dari Peraturan MA No. 1/1969. Dari mana MA mendapatkan inspirasi untuk mengatur seperti itu? Kita akan urai lebih lanjut di bawah ini. 

*) Pemerhati dunia peradilan dan peneliti hukum independen.
Tags:

Berita Terkait