Meninjau Kembali Aturan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Bagian 2)
Kolom

Meninjau Kembali Aturan Peninjauan Kembali Perkara Perdata (Bagian 2)

Dalam beberapa kondisi yang sangat luar biasa, yurisprudensi di Belanda membuka kemungkinan dilakukannya ‘pendobrakan larangan upaya hukum’

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi
Foto: Koleksi Pribadi
Asal Usul Pembatasan PK
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan, pengaturan pembatasan PK perdata ini berasal dari Reglemen Acara Perdata yang berlaku di masa kolonial (Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voor de raden van justitie op Java en het hooggerechtshof van Indonesië, alsmede voor de residentie-gerechten op Java en Madura, S. 1847-52 jo. 1849-63/Rv). Seperti mungkin kita ketahui, saat itu terdapat dualisme hukum acara, yaitu Rv yang berlaku bagi bangsa Eropa (dan yang disetarakan), serta HIR yang berlaku bagi bangsa pribumi. Peraturan PK sama sekali tidak dikenal dalam prosedur HIR yang memang jauh lebih sederhana dan berangkat dari asumsi-asumsi yang berbeda.

Menilik sejarahnya lebih jauh lagi, penggunaan istilah ‘civile’ dalam ‘requête civile’ (istilah untuk PK perdata yang berbeda dari ‘revision’/PK pidana) itu berasal dari kata ‘civiliteit’ atau ‘kesopansantunan’. Dengan demikian, permohonan ini pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengadukan keputusan hakim yang bertentangan dengan hukum, sebagaimana permohonan banding pada umumnya, tetapi permohonan yang diajukan dengan penuh kesantunan, karena telah terjadi suatu kekeliruan atau kekhilafan nyata dalam putusan yang sebelumnya telah diambil (Jacques Berriat Saint-Prix dan Joannes van der Linden, 1812).

Selain itu, didasari juga oleh pemikiran, bahwa putusan terkait tak dapat dianggap sebagai putusan yang benar, karena telah diambil akibat tipu daya atau kesesatan pihak-pihak yang berperkara. Dengan kata lain, latar belakang adanya PK sebenarnya justru ditujukan untuk memperkuat legitimasi pihak yang memutusnya sendiri. Meminjam rumusan penyusun UU No. 19/1964, mengingat hakim juga manusia biasa yang tidak terluput dari kesalahan dan kekhilafan, ‘supaya pengadilan benar-benar menjalankan keadilan’.

Permohonan yang telah ada sejak tahun 1300-an di Perancis ini, juga pernah mengalami perubahan drastis pada abad ke-15, ketika pemohon hanya dapat mempermasalahkan ‘erreurs de fait’ atau kekhilafan faktual saja, serta bukan ‘erreurs de droit’ atau kekhilafan (penerapan) hukum (Th. B. ten Kate, M.M. Korsten-Krijnen, 2013). Ketika itu, satu-satunya pembatasan yang berlaku untuk requête civile adalah ‘erreurs de fait résultant du fait des parties ou de leurs représentants’ [kekhilafan faktual yang timbul dari fakta (yang diajukan) pada pihak atau para pihak yang mewakilinya, red.].

Menurut ten Kate dan Korsten-Krijnen lebih lanjut lagi, baru setelah dikeluarkannya ‘Ordonnance civile du mois d’Avril’ (Ordonansi Sipil Bulan April) oleh Louis XIV (1638-1715) pada tahun 1667, syarat-syarat pengajuan requête civile tersebut diperinci. Syarat-syarat itulah yang kemudian menjelma menjadi ketentuan Pasal 382-383 Rv (lama) di Belanda, atau Pasal 385-386 Rv yang berlaku di Hindia Belanda ketika itu.

Setelah Indonesia merdeka, syarat-syarat itu pula yang (kurang lebih) diadopsi oleh Perma No. 1/1969, serta kemudian UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung (lihat penjelasan sebelumnya). Menurut ketentuan Pasal 67 Undang-undang tersebut, pada dasarnya perkara dapat ditinjau kembali, jika terdapat: (a) kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan; (b) surat-surat bukti yang ditemukan kemudian, (c) pengabulan melebihi apa yang dituntut, (d) (sebagian) tuntutan yang belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, (e) putusan-putusan saling bertentangan yang dikeluarkan oleh instansi peradilan yang sama, terkait para pihak yang sama, masalah yang sama, dan diputus atas dasar yang sama, atau (f) adanya kekhilafan atau kekeliruan nyata hakim.

Kemudian, menurut Pasal 400 Rv yang dulu berlaku di Hindia Belanda (padanan Pasal 396 Rv (lama) Belanda dan berasal dari Pasal 503 Code de Procedure Civile), ditambahkan pula bahwa: “Na een eerst request civiel, het zij hetzelve aangenomen of verworpen zij, zal men geen tweede kunnen indienen, het zij tegen het vonnis op request civiel gewezen, het zij tegen het vonnis hetwelk, na de aanneming van dat request, ten principale zal hebben beslist.” [Setelah sebuah permohonan peninjauan kembali yang pertama, baik permohonan itu dikabulkan, maupun ditolak, orang tak dapat lagi mengajukan permohonan kedua, baik ditujukan terhadap putusan peninjauan kembali yang dikeluarkan, maupun, setelah permohonan itu dikabulkan,terhadap putusan yang memutuskan pokok perkaranya, red.]

Pasal inilah yang merupakan cikal bakal pembatasan PK hanya dapat diajukan sekali. Perlu untuk diketahui, bahwa kata-kata ‘baik permohonan itu dikabulkan, maupun ditolak’, merupakan tambahan tersendiri di dalam Rv Belanda, karena Pasal 503 Code de Procedure Civile telah memancing perdebatan apakah ini juga berlaku bagi pihak lawan. Dengan demikian, tambahan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pembatasan ini berlaku bagi semua pihak (Arnoldus Oudeman, 1863).

Juga perlu diketahui, dalam perkembangan pengaturannya di Belanda kemudian hari, syarat-syarat untuk mengajukan ‘herroeping’, istilah baru yang menggantikan ‘requête civile’ ini, justru kembali disederhanakan. Pasal 382 Rv baru yang berlaku sejak tahun 2002, mengatur bahwa permohonan dapat diajukan terhadap sebuah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, jika, (a) berdasarkan kebohongan pihak lawan dalam perkara tersebut, (b) berdasarkan pemalsuan yang diakui setelah putusan dikeluarkan atau telah berkekuatan hukum tetap, atau (c) sesudah keluarnya putusan, pihak tersebut memperoleh berkas-berkas yang menentukan, serta sebelumnya (turut) disembunyikan oleh pihak lawan.

Selain itu, menurut peraturan yang berlaku di Belanda, ‘herroeping’ tidak dimaksudkan sebagai upaya banding atas putusan kasasi, namun benar-benar merupakan upaya hukum untuk membuka kembali putusan BKHT dalam hal terdapat hal-hal di atas. Dengan demikian, permohonan PK diajukan kepada pemutus terakhir, atau jika pemutus terakhir Hoge Raad (judex juris), permohonan diajukan kepada judex facti yang putusannya dibatalkan di tingkat kasasi (Pasal 384 Rv). Jika permohonan dikabulkan, maka pihak tersebut pula yang kemudian berwenang membuka kembali perkara tersebut (Pasal 387 Rv). Selanjutnya, perkara yang kembali dibuka itu akan diperlakukan sebagaimana perkara pada umumnya, dengan kemungkinan penggunaan upaya hukum sesuai hukum acara terkait perkara tersebut. 

Pada tahun 2002, ketentuan pembatasan menurut Pasal 396 Rv (lama) Belanda (atau Pasal 400 Rv Hindia Belanda) pun mengalami perubahan. Sejak saat itu, pasal tersebut dihapuskan dan peraturan yang kurang lebih sepadan dapat ditemukan di dalam Pasal 388 ayat (2) Rv:“De beslissing inzake de heropening van het geding is niet vatbaar voor hoger beroep. Een vordering tot herroeping kan daartegen evenmin worden ingesteld.” [Upaya banding tak dapat diajukan terhadap keputusan mengenai dibukanya kembali perkara; tuntutan peninjauan kembali juga tak dapat lagi diajukan terhadapnya]. Risalah penjelasan (MvT) dalam pembahasan pasal tersebut lebih lanjut menyatakan, bahwa perlawanan (verzet) tetap diperbolehkan, serta tidak ditutup pula kemungkinan pengajuan kasasi. Namun, tak ada penjelasan lebih lanjut dalam MvT-nya, mengapa harus ada pembatasan seperti itu.   

Jadi, berbeda dengan situasi di Indonesia di mana PK ditangani oleh MA sendiri, Hoge Raad dalam hal ini tak langsung menangani PK tersebut, sehingga tetap dapat menjalankan fungsi kontrolnya. Dalam laporan akhirnya yang merupakan refleksi atas hukum acara perdata yang berlaku, beberapa profesor hukum acara terkemuka Belanda menyebutkan bahwa mekanisme koreksi dan kontrol (untuk menjaga dasar-dasar proses peradilan yang jujur dan tidak berpihak) sebagai suatu hal yang tetap diperlukan terkait adanya pembatasan upaya hukum (Asser, Groen, Vranken, dan Tzankova, 2006, hlm. 139).

Pada praktiknya, dalam beberapa kondisi yang sangat luar biasa, yurisprudensi di Belanda memang membuka kemungkinan dilakukannya ‘pendobrakan larangan upaya hukum’ (doorbreking van rechtsmiddelenverbod). Dalam sebuah perkara yang kemudian ditolak oleh Hoge Raad beberapa waktu lalu (HR 21 September 2012, NJ 2013/351, X/Stichting Joodse Omroep), pernah dipertanyakan apakah dalam kasus terkait dapat dilakukan pendobrakan atas larangan yang tercantum di dalam Pasal 388 ayat (2) Rv tersebut.

Sebelumnya, pemohon kasasi telah mengajukan PK atas putusan Pengadilan Kanton dalam sebuah kasus pembatalan perjanjian kerja, dengan alasan terdapat kebohongan pihak lawan, serta berkas yang tadinya disembunyikan pihak lawan. Menurut aturan yang berlaku di Belanda, permohonan PK ini harus diajukan kepada pemutus terakhir, sehingga PK diajukan kepada Pengadilan Kanton tersebut. Pengadilan Kanton menolak permohonan ini. Tidak terima, pemohon kasasi mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tinggi terhadap putusan Pengadilan Kanton, selain karena beranggapan bahwa Pasal 388 ayat (2) Rv hanya berlaku terkait larangan atas dibukanya kembali perkara (jadi tidak untuk penolakannya), juga mengajukan beberapa alasan untuk mendasari pendobrakan larangan upaya hukum. Singkat kata, Pengadilan Tinggi menilai bahwa Pasal 388 ayat (2) Rv juga berlaku untuk penolakan permohonan PK, serta dalam kasus itu tak ditemukan adanya dasar untuk pendobrakan. Pemohon mengajukan permohonan kasasi atas putusan di tingkat banding ini.

Pada tingkat kasasi, Hoge Raad membenarkan tafsir Pengadilan Tinggi atas ruang lingkup Pasal 388 ayat (2) tersebut, yaitu bahwa pembatasan/larangan upaya banding tidak hanya terkait dibukanya kembali perkara (PK), namun juga penolakan atas permohonan untuk itu. Selanjutnya, dalam pertimbangannya terkait permohonan kasasi insidentil yang diajukan pihak termohon, Hoge Raad membenarkan bahwa Pasal 388 ayat (2) jelas menutup upaya banding atas keputusan mengenai permohonan PK.

Meskipun demikian, lanjut Hoge Raad, pembuat undang-undang tidak menutup diajukannya upaya kasasi atas keputusan seperti itu. Dalam perkara kasasi itu, pemohon dapat mengajukan adanya dasar alasan pendobrakan, yaitu, (1) hakim memutus di luar lingkup ketentuan yang digunakan (dalam hal ini kriteria permohonan PK), (2) telah secara salah tidak menerapkannya, atau (3) telah mengabaikan asas-asas hukum yang sangat fundamental, sehingga tak lagi dapat dibilang telah terjadi penanganan perkara yang jujur dan tidak berpihak. Hoge Raad akan menilai permohonan ini dan jika permohonan itu kemudian dikabulkan, perkara tersebut pada prinsipnya akan dikembalikan pada instansi yang mengeluarkan putusan yang dibatalkan, serta setidak-tidaknya sesuai prinsip bahwa PK diadili (lagi) oleh lembaga yang sebelumnya mengeluarkan putusan yang dibuka kembali tersebut.   

Dasar Alasan PK Perdata Hanya Satu Kali
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, baik dari penjelasan peraturan yang berlaku di Indonesia, maupun MvT perubahan ketentuan pasal serupa di Belanda, tidak diketahui mengapa perkara PK hanya dapat/boleh diajukan satu kali saja.

Dalam nota konklusi pada perkara ‘X/Stichting Joodse Omroep’ yang telah disebutkan di atas (bagian akhir poin 3.4), hanya dikutipkan oleh Procureur Generaal (PG), bahwa menurut Ten Kate/Korsten-Krijnen (2005): “[Larangan itu] juga sesuai di dalam sistem hukum acara gugatan atau permohonan peninjauan kembali. Tanpa peduli instansi mana yang memeriksa gugatan atau permohonan peninjauan kembali (Pasal 384 dan 391 Rv), pada tahap pertama (peninjauan kembali) untuk pertanyaan apakah terdapat dasar-dasar untuk dibukanya kembali sengketa, tetap berlaku hukum acara yang sama (Pasal 383 dan 392 Rv). Upaya-upaya hukum yang mungkin (kasasi, perlawanan, perlawanan pihak ketiga) juga sesuai, setidak-tidaknya tidak mengganggu ketentuan bahwa hakim yang membuka kembali sengketanya, adalah hakim yang menilai permohonan PK, serta memutuskan kembali setelah dibukanya kembali perkara asal (Pasal 384, 387, dan 391 Rv).”

Dengan demikian, maksud dari pembatasan tersebut adalah agar berlaku hukum acara yang sama bagi setiap permohonan PK, entah permohonan itu diajukan terkait putusan BKHT pada Pengadilan (tingkat pertama) atau Pengadilan Tinggi. Selain itu, lebih dalam lagi, peninjauan kembali sepertinya memang dimaksudkan untuk dimohonkan dan diputus (kembali) oleh lembaga yang sebelumnya mengadili dan memutus perkara tersebut. Namun, mungkinkah putusan atas permohonan PK itu kembali digugat?

Sebenarnya, permasalahannya bukan hanya apabila permohonan ditolak (serta pemohon kemudian mengajukan upaya hukum terhadap hal itu), tetapi juga jika permohonan PK dikabulkan dan pihak lawan mengajukan upaya hukum. Tentu, akan jadi pertanyaan, kapan perkara itu akan dapat kembali dibuka.

Yang jelas, hukum acara perdata Belanda yang diperbaharui pada tahun 2002 tidak menutup total upaya hukum atas putusan PK, karena undang-undang tetap membuka pintu kasasi. Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, Hoge Raad bahkan tidak menutup kemungkinan dapat didobraknya larangan upaya hukum, jika, (1) hakim memutus di luar lingkup ketentuan yang digunakan (dalam hal ini kriteria permohonan PK), (2) telah secara salah tidak menerapkannya, atau (3) telah mengabaikan asas-asas hukum fundamental, sehingga tak lagi dapat dibilang telah terjadi penanganan perkara yang jujur dan tidak berpihak. Di titik ini, pendeknya, satu-satunya batasan adalah dipenuhinya asas-asas peradilan yang jujur dan tidak berpihak.

Permasalahan Pembatasan PK Perdata Hanya Satu Kali   
Sebagian pihak mungkin berpendapat bahwa PK harus dibatasi hanya boleh diajukan satu kali, berdasarkan alasan kepastian hukum semata, tetapi kenyataannya pendapat ini masih dapat dipertanyakan lebih lanjut lagi.

Ketentuan konstitusi sendiri telah menjamin ‘kepastian hukum yang adil’ dalam satu frasa tak terpisah (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945). Selain itu, dalam Putusan No. 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menilai bahwa pembatasan PK pidana hanya boleh satu kali telah menutup ruang bagi terpenuhinya rasa keadilan (lihat pertimbangan 3.15-3.16). Dalam putusan itu, MK menekankan pentingnya usaha mencari ‘kebenaran materiil’ yang tak dapat dibatasi hanya dengan alasan kepastian hukum semata.

Pertanyaannya, jika hal tersebut berlaku bagi ketentuan PK pidana, mengapa prinsip serupa tidak berlaku juga bagi PK perdata?

Perlu diketahui, memang betul bahwa proses peradilan perdata pada prinsipnya berangkat dari ‘kebenaran formil’ yang sebagian besarnya mengacu pada surat-surat bukti (otentik) dan keterangan para pihak terkaitnya. Namun, jika kita cermati dasar-dasar diajukannya PK perdata, sebenarnya sama-sama berangkat dari usaha untuk ‘meluruskan’ kekhilafan nyata (faktual) yang sebelumnya telah terjadi. Ini dapat terjadi, antara lain, akibat tipu daya atau kebohongan salah satu pihak dalam perkara tersebut.

Sebagaimana ketidakadilan yang lahir apabila seorang terpidana tak bersalah dihukum dengan bukti yang (ternyata) tidak benar, begitu pula halnya dengan putusan perdata yang juga dapat ‘menghukum’ salah satu pihak berdasarkan bukti atau keadaan yang tidak benar. Pasal 28G UUD 1945 menegaskan bahwa hak asasi tak hanya meliputi perlindungan diri pribadi seseorang, namun juga harta benda yang di bawah kekuasaannya. Selanjutnya, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 jelas melarang diambilalihnya hak milik pribadi secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan demikian, bukan hanya dalam perkara pidana, permasalahan hak asasi juga dapat terjadi dalam perkara perdata.

Perbedaannya, barangkali, dalam perkara perdata putusan yang ‘menghukum’ tersebut, dapat sekaligus melahirkan suatu ‘hak’ atau ‘kenikmatan’ bagi pihak sebaliknya. Di titik ini, berdasarkan tuntutan keadilan, betul bahwa ketentuan PK sudah seharusnya menjamin kesetaraan posisi hukum bagi pihak tersebut. Untuk itu, perlu diperhatikan lagi ketentuan PK secara keseluruhan.

Menurut hemat penulis, jaminan bagi pihak lawan inilah yang mendasari adanya pembatasan waktu pengajuan PK, yaitu dalam tiga bulan setelah dasar pengajuan permohonan PK itu diketahui (lihat Pasal 69 UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung). Dengan demikian, meskipun tak ada pembatasan PK hanya boleh diajukan hanya sekali, pihak lawan mendapat kesempatan yang setara untuk segera menanggapi fakta atau keadaan baru yang diajukan oleh pemohon PK. Selain itu, sehubungan dengan ‘hak’ atau ‘kenikmatan’ yang diperoleh, kepastian hukum bagi pihak lawan sebenarnya telah dijamin oleh adanya ketentuan kedaluwarsa (lewat waktu) secara umum. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa suatu ‘hak’ atau ‘kenikmatan’ yang diperoleh dengan kebohongan melalui suatu proses pengadilan, misalnya, harus dibedakan?

Kemudian, dengan adanya beberapa dasar pengajuan permohonan PK yang berbeda, pengaturan pembatasan PK hanya boleh sekali ini secara praktis juga menyimpan kelemahan. Sebagaimana ilustrasi MK dalam Putusan No. 34/PUU-XI/2013, kebohongan atau surat bukti baru (novum) dalam perkara perdata dapat saja ditemukan, setelah sebuah permohonan PK pernah diajukan sebelumnya. Lalu, apakah adanya novum ini akan diabaikan, semata karena PK hanya boleh diajukan sekali?              

Selanjutnya, keberatan atas tak perlu dibatasinya permohonan PK cukup hanya sekali, didasarkan pada kekhawatiran berlarut-larutnya suatu sengketa. Para pihak akan bertikai tanpa henti. Pertanyaannya, tentu saja, apa yang sebenarnya dapat menghentikan sengketa? Kita akan kembali pada asas-asas fundamental proses peradilan yang baik. Tak berjalannya proses peradilan sebagaimana mestinya, tentu berakibat pada lemahnya posisi hukum yang hendak dipertahankan. Betul, bahwa legitimasi pengadilan dalam perkara perdata bisa jadi bersumber dari pengakuan para pihak yang telah mempercayakan penyelesaian perkara mereka kepada pengadilan. Namun, tanpa suatu prinsip yang hakiki dan berlaku umum, legitimasi itu sendiri sesungguhnya sangat rapuh. Terlebih lagi, kenyataan yang terjadi terkadang tak sesempurna apa yang pernah dibayangkan.

Ketika suatu sengketa bisa saja tersebar di dalam beberapa putusan terpisah, misalnya, pembatasan PK justru dapat menghalangi usaha menyelesaikan sengketa secara tuntas. Seperti pernah dicatat oleh Sebastiaan Pompe, dalam perkara Yatim (1995) dan perkara Saputra (1985), MA pernah harus memutus suatu perkara sampai empat kali (sekali kasasi, dua kali PK, dan sekali “penetapan”). Karena adanya putusan-putusan yang saling bertentangan terkait suatu sengketa yang sama, MA mau tak mau harus mengambil keputusan untuk kesekian kalinya, justru demi menjamin kepastian hukum bagi para pihak (Sebastiaan Pompe, 2005, hlm. 466-467).      

Dari praktek ‘pendobrakan larangan upaya hukum’ di Belanda, kita dapat melihat bagaimana pengadilan sebenarnya dapat menggunakan beberapa kriteria tertentu untuk menyediakan ruang bagi mekanisme koreksinya. Dalam hal ini, pengadilan berpegang pada 3 hal mendasar yang diperlukan bagi dapat dipertahankannya putusan hakim, yaitu apabila putusan tersebut ternyata, (1) telah diputus di luar lingkup ketentuan terkait, (2) ketentuan terkait bukan hanya keliru diterapkan, tetapi bahkan sama sekali tidak diterapkan, atau (3) terjadi pelanggaran asas-asas hukum fundamental, seperti kewajiban pemberian dasar alasan/pertimbangan atau kewajiban mendengar kedua belah pihak. Pada praktiknya, ini hanya terpenuhi dalam kondisi yang sangat luar biasa, tetapi setidak-tidaknya legitimasi pengadilan disandarkan pada suatu prinsip hakiki dan berlaku umum.

Kesimpulan
Dari gambaran di atas, sebenarnya tidak begitu jelas mengapa PK (perdata) hanya boleh diajukan sekali. Menilik sejarahnya, kewenangan ini merupakan kewenangan eksklusif dari instansi yang mengeluarkan putusan, sebagaimana asal kata ‘requête civile’ yang kurang lebih berarti suatu permohonan yang diajukan dengan penuh kesantunan. Meskipun terdapat kesalahan yang sangat nyata sekalipun, pada akhirnya penilaian tetap ada pada pihak itu sendiri. Dengan demikian, justru akan mengurangi legitimasinya sendiri, kalau pengadilan berusaha menutup kemungkinan terjadinya kekhilafan atau kesalahan yang manusiawi dengan suatu ‘ketentuan formalitas’ belaka. Terlebih lagi, jika kepastian yang hendak dipertahankan itu ternyata tidak ditopang atas suatu proses yang jujur, atau, setidak-tidaknya, tidak mengesankan telah terpenuhinya objektivitas dan ketidakberpihakan.

Di Indonesia, mekanisme PK diadopsi ke dalam sistem hukum acara melalui ‘pintu samping’, karena keteledoran pembuat undang-undang untuk menuntaskan pengaturan hukum acara semenjak tahun 1960-an. Meskipun berharap ‘supaya pengadilan benar-benar menjalankan keadilan’, pembuat undang-undang seperti tak peduli pada sumber daya yang mungkin dibutuhkan oleh pengadilan untuk menjalankan ketentuan itu. MA pada akhirnya harus mengembangkan sendiri ketentuan-ketentuan mengenai PK, serta sedari awal berupaya untuk membatasi instrumen yang mungkin membuat bebannya membukit itu. Tanpa komitmen dukungan sumber daya yang memang dibutuhkan untuk menunjang proses tersebut, MA akan tetap cenderung menggenggam kuat ‘perisai Achilles’-nya itu.

Pengaturan PK perdata oleh pembuat undang-undang sendiri telah mengalami kemacetan. Berbagai ketentuan yang muncul kemudian seperti ‘dilokalisir’ hanya menjadi urusan lembaga peradilan saja dan keberadaannya tak lebih dari ‘rembesan’ dalam undang-undang terkait organisasi peradilan – serta kemungkinan besar atas permintaan lembaga tersebut. UU No. 14/1985 (MA) mengadopsi, sedikit banyak, ketentuan Rv yang ternyata juga telah mengalami perkembangan lebih lanjut di Belanda pada tahun 2002 yang lalu. Pengamatan lebih lanjut memang menunjukkan beberapa perbedaan mendasar, tetapi tak dapat disangkal adanya akar yang sama. Ironisnya, terlepas dari potensi adanya beban perkara yang dihadapi pengadilan, masalah PK (juga perlawanan, banding, atau kasasi) bahkan tidak dibahas secara mendalam di dalam RUU Hukum Acara Perdata yang tengah dipersiapkan oleh pemerintah.

Bagaimanapun juga, meski menuai kritik yang sepertinya tidak didukung dengan data atau argumen yang kuat, MK telah menyatakan bahwa pembatasan PK pidana tidak sesuai dengan konstitusi. Setelah menggali lebih dalam lagi, penulis sendiri tidak menemukan adanya alasan untuk membedakan PK perdata dari PK pidana, dalam arti mengapa yang satu diperbolehkan untuk dibatasi hanya sekali saja, sedangkan pembatasan yang lain dinilai inkonstitusional. Pada kenyataannya, PK perdata lebih dari sekali bukannya tak pernah terjadi. Dalam kondisi tertentu, secara praktis bisa jadi memang itu langkah yang tak terhindarkan, ‘supaya pengadilan benar-benar menjalankan keadilan’.

*) Pemerhati dunia peradilan dan peneliti hukum independen.
Tags:

Berita Terkait