Pemerintahan Terpilih Harus Prioritaskan Penegakan Hukum
Utama

Pemerintahan Terpilih Harus Prioritaskan Penegakan Hukum

Kepastian hukum menjadi hal terpenting bagi investor luar negeri untuk menanamkan modal di dalam negeri.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Dialog bertajuk  ‘Pemerintahan Ideal Pasca Pemilu’, di Gedung MPR, Senin (7/4). Foto: RES
Dialog bertajuk ‘Pemerintahan Ideal Pasca Pemilu’, di Gedung MPR, Senin (7/4). Foto: RES
Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum acapkali menurun. Rezim pemerintahan terpilih dalam Pemilu 2014 menjadi harapan masyarakat dalam perbaikan di berbagai lini. Penegakan hukum harus menjadi prioritas, terutama demi terciptanya kepastian hukum bagi pelaku ekonomi.

Demikian intisari pandangan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam sebuah diskusi  bertajuk  ‘Pemerintahan Ideal Pasca Pemilu’ di Gedung MPR, Senin (7/4).

Membangun negara yang sedemikian pelik menjadi persoalan bangsa yang harus diawali dengan perbaikan sistem hukum. Pembenahan sistem yang akan mendapatkan kepastian hukum bagi pelaku ekonomi berdampak besar. Kekhawatiran investor luar negeri yang akan menanamkan modalnya di Indonesia diperlukan kepastian hukum.

Makanya, menjadikan pemerintah yang dapat mengelola perekonomian dengan baik dengan menjadikan prioritas pembenahan dan penegakan hukum. “Membangun Indonesia yang simultan law enforcement dan ekonomi,” ujarnya.

Menurut Siti, acapkali penegakan hukum tidak sesuai harapan masyarakat. Persoalan kepastian hukum di negeri ini menjadi persoalan yang teramat penting. Siti berpandangan aturan yang dibuat cenderung pula dilanggar. Malahan, hukum acapkali digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu.

Profesor riset dan penelitian LIPI itu lebih jauh mengatakan bahwa demokrasi yang ideal harus dilandasi hukum. Dengan begitu, demokrasi di sebuah negara akan berdiri dengan tegak. Lebih lanjut, ia menuturkan profesionalisme dalam pengelolaan negara menjadi tiang utama. Termasuk penegakan hukum yang juga menjadi dasar dalam pengelolaan negara yang baik.

“Bagaimana investor mau datang ke daerah kalau kita tidak punya kepastian hukum. Jadi memang profesionalisme harus diterapkan,” imbuhnya.

Siti berpendapat, upaya penegakan hukum bagi pemerintahan terpilih terbilang sulit. Padahal, jabatan presiden misalnya  merupakan amanah mandat rakyat yang harus dipegang teguh. Dikatakan Siti, sepanjang ada kemauan bersama, penegakan hukum dapat dilakukan.

Menurutnya, sepanjang reformasi birokrasi terus digulirkan tanpa adanya pembenahan dan penegakan hukum, maka pengelolaan negara yang bak tak akan terwujud. “Law enforcement itu harus bisa, yes we can. Inilah saatnya negara kita menegakan hukum. Percuma reformasi birokrasi tanpa penegakan hukum,” ujarnya.

Pengajar Ilmu Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gungun Heryanto mengamini pandangan Siti. Menurut Gungun membentuk pemerintahan ideal pasca pemilu bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Setidaknya, Gungun melakukan beberapa identifikasi. Pertama, persoalan sistem presidensial yang berbenturan dengan sistem  multi partai.

Makanya, acapkali pemilu ke pemilu berikutnya persoalan ketidakjelasan sistem presidensial menjadi persoalan. Kedua, sistem keterwakilan di parlemen. Ironisnya, mereka yang terpilih tidak menggunakan mandat yang diberikan rakyat selama lima tahun sebagai anggota dewan. “Posisi politik perwakilan kita hidup hanya sekali dalam lima tahun,” ujarnya.

Ketiga, postur kekuasaan melibatkan banyak ‘investor saham’ dalam kabinet. Alhasil, dengan banyaknya perwakilan parpol dalam kabinet pemerintahan, bukan tidak mungkin menyulitkan presiden terpilih untuk bergerak. Pasalnya, kata Gungun, akan berhadapan dengan relasi kekuasaan. Pasalnya, mau tak mau presiden terpilih ketika akan mengambil sebuah kebijakan akan terbentu dengan relasi kekuasaan. Hal lainnya, perlunya ada tranformasi di semua kelembagaan.

“Siapapun pemerintahan dalam konteks presiden terpilih di tahun pertama akan punya banyak energi. Empat tahun berikutnya akan dipengaruhi oleh siapa yang menjalankan birokrasi,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli menambahkan, dalam pemerintahan mendatang harus dikelola oleh partai pemenang pemilu. Dengan begitu, pemerintah dikelola secara profesional. Berbeda dengan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan II terdiri dari berbagai perwakilan parpol.

Menurutnya hal itu akan menyulitkan presiden dalam mengambil kebijakan. “Kalau sekarang menteri itu kan dari partai lain, kalau kerjanya jelek partai pemenang jadi ikut jelek,” ujarnya.

Lebih lanjut, Melani menuturkan perlunya aturan baru yang mengatur presiden tak boleh rangkap jabatan. Berkaca dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjabat pula sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Bagi Melani yang juga politisi partai Demokrat menuturkan perlunya aturan agar pengelolaan pemerintahan menjadi jauh lebih profesional.

“Presiden jangan merangkap Ketum Partai itu juga perlu diatur. Parlemen cukup ngurusin legislasi, budgeting dan pengawasan. Jadi tidak perlu urus pemilihan Kapolri, Dubes dan lainnya. Makanya perlu penguatan bagi presiden,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait