Freeport Dinilai Belum Wajib Divestasi
Berita

Freeport Dinilai Belum Wajib Divestasi

Pemerintah kukuh mewajibkan Freeport divestasi minimal 30%.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Freeport Dinilai Belum Wajib Divestasi
Hukumonline
Anggota Komisi VII DPR, Satya Yudha, berpendapat bahwa PT Freeport Indonesia saat ini belum dapat dikenakan kewajiban divestasi. Alasannya, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 yang mengatur mengenai kewajiban divestasi perusahaan tambang itu belum bisa diberlakukan kepada Freeport.

Menurut Satya, Freeport baru bisa diwajibkan melakukan divestasi sahamnya jika ketentuan mengenai hal itu diatur dalam renegosiasi kontrak.  “Jika proses renegosiasi dimasukkan aturan divestasi, Freeport wajib mendivestasi sahamnya kepada mitra Indonesia. Tergantung tipe kontrak masing-masing. Sebaiknya, aturan divestasi masuk renegosiasi dengan Freeport, karena peraturan pemerintah ini semangatnya dimaknai sebagai kebangkitan industri pertambangan nasional,” tuturnya, Selasa (15/4).

Hingga saat ini, Freeport masih belum menyatakan kesepakatannya dalam renegosiasi mengenai kewajiban divestasi saham. Di sisi lain, pemerintah dengan tegas menyatakan akan tetap kukuh mewajibkan Freeport memberikan divestasi di atas 30%. Sesungguhnya kewajiban itu lebih rendah dari aturan PP No. 24 Tahun 2012 yang mematok sebesar 51%.

“Yang penting itu negara harus dapat bagian besar, tetapi perusahaan juga tetap jalan karena pendapatan negara ini kan untuk pembangunan,” tandas Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Susilo Siswoutomo di Jakarta, Senin (14/4).

Menurut Susilo, kewajiban divestasi di atas 30% itu akan tetap dikenakan kepada Freeport meskipun belum ada persetujuan pernyataan. Ia mengatakan, hal ini atas alasan bahwa negara harus diuntungkan dari usaha pertambangan. Susilo mengakui, sampai saat ini perusahaan asal Amerika Serikat itu belum menerima permintaan pemerintah mengenai divestasi.

“Meskipun demikian,  tanda-tanda ke arah kesepakatan mulai kelihatan. Negosiasi masih berjalan. Tetapi arahnya sudah semakin baik,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tambang di Mimika, Papua, paling cepat pada tahun 2019 mendatang. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 2012 junto PP No. 23 Tahun 2010. Di dalam Pasal 45 PP No. 23 Tahun 2010 diatur, permohonan perpanjangan diajukan paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan sebelum habis masa kontrak.

"Sesuai PP, kelanjutan operasi tambang baru bisa diajukan dua tahun sebelum akhir kontrak. Dengan demikian, kalau kontrak Freeport habis 2021, maka paling cepat diajukan 2019," kata Susilo.

Sebelumnya, Freeport telah mengirimkan surat kepada Menko Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Surat tersebut terkait sejumlah poin renegosiasi, termasuk divestasi. Freeport menyatakan, dari 51% divestasi yang ditentukan dalam peraturan, mereka siap untuk memberikan 20%.
Tags:

Berita Terkait