Pengamat Menilai Jokowi Dikeroyok Banyak Parpol
Berita

Pengamat Menilai Jokowi Dikeroyok Banyak Parpol

Untuk meredam kepopuleran Jokowi dalam Pemilu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Dari kanan ke kiri: Da'i Bachtiar, Burhanuddin Muhtadi, Yunarto Wijaya, dan Boni Hargens saat menjadi pembicara dalam diskusi pubilk di Jakarta, Selasa (15/4). Foto: RES
Dari kanan ke kiri: Da'i Bachtiar, Burhanuddin Muhtadi, Yunarto Wijaya, dan Boni Hargens saat menjadi pembicara dalam diskusi pubilk di Jakarta, Selasa (15/4). Foto: RES
Kepopuleran calon presiden yang diusung PDIP, Jokowi, membuat partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 lainnya mengatur strategi agar mendapat perolehan suara yang baik sebagaimana target.

Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia, Andrinof Chaniago, mengatakan langkah strategis diambil parpol karena kepopuleran Jokowi dianggap dapat menyedot suara pemilih. Tidak sedikit pihak yang memprediksi kemenangan PDIP dalam Pemilu legislatif 2014 dipengaruhi figur Jokowi atau disebut Jokowi effect.

Sayangnya, PDIP belum memaksimalkan peluang itu sehingga perolehan suara yang diraih dalam Pemilu legislatif tidak mencapai target 27 persen. Oleh karenanya Andrinof menilai potensi Jokowi effect gagal diujudkan PDIP. Ia pun berpendapat kondisi itu terjadi karena strategi yang digunakan parpol lainnya berhasil meredam potensi Jokowi Effect. Sehingga tidak ada parpol yang meraih suara dominan dalam Pemilu legislatif 2014.

“Jokowi effect berhasil digagalkan semua parpol yang dalam masa kampanye punya prinsip yang sama, meredam melambungnya suara PDIP,” kata Andrinof dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/4).

Selain berpotensi menurunkan perolehan suara parpol lain, Andrinof berpendapat beberapa parpol merasa terancam kepopuleran Jokowi karena butuh suara agar mampu memenuhi ambang batas parlemen. Dari hasil survei yang dilakukan berbagai lembaga Jokowi effect dapat menyedot suara pemilih sehingga mengancam parpol yang kondisinya kritis menghadapi ambang batas parlemen itu.

Selain itu Andrinof mensinyalir ada juga parpol yang berupaya meredam Jokowi effect hanya untuk membuktikan kalau hasil survei yang dilakukan bermacam lembaga terkait kepopuleran Jokowi dapat diubah. Ada pula parpol yang bertujuan untuk menjaga agar punya posisi tawar yang baik dalam koalisi nanti. Pasalnya, jika PDIP mampu memperoleh suara 30 persen dalam Pemilu legislatif maka posisi parpol lain bakal lemah ketika berkoalisi.

Atas dasar itu Andrinof menyimpulkan banyak parpol yang menargetkan agar PDIP tidak meraih suara yang besar dalam Pemilu legislatif. Oleh karenanya berbagai upaya dilakukan guna meredam Jokowi effect. Menurutnya, kondisi itu dapat dilihat dari sikap media yang meminimalisir pemberitaan tentang PDIP dan Jokowi.

Pendapat Andrinof itu semakin kuat ketika ada lembaga riset yang melakukan penelitian tentang belanja iklan parpol dalam menghadapi Pemilu 2014. Hasilnya, belanja iklan PDIP pada Pemilu legislatif lalu tergolong minim ketimbang parpol lain, kurang dari Rp5 milyar. “Belanja iklan terbesar itu partai Hanura Rp70 milyar, Demokrat Rp58 milyar,” tandasnya.

Kondisi itu menurut Andrinof diperburuk oleh kemasan iklan yang disodorkan PDIP kepada masyarakat secara tidak tepat. Misalnya, Jokowi tidak dimasukan dalam iklan, namun tokoh PDIP lainnya. Padahal, popularitas Jokowi di masyarakat saat ini sangat tinggi ketimbang tokoh lainnya. Hal itu diperparah oleh media yang kerap memberitakan hal buruk berkaitan dengan PDIP dan Jokowi seperti panggung yang roboh ketika hendak digunakan untuk kampanye.

Berdasarkan hal tersebut Andrinof berpendapat internal PDIP tidak jelas dalam memberikan dukungan yang maksimal terhadap Jokowi. Sehingga tidak mampu menangkal atau membuat serangan balik yang tepat terhadap setiap serangan sistematis yang dilakukan rival politik. “Ibaratnya Jokowi dikeroyok (digebuki) beramai-ramai tapi tidak ada yang membantu. Alhasil Jokowi effect berhasil digagalkan,” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia, Boni Hargens, mengatakan Jokowi effect berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara PDIP. Tanpa Jokowi PDIP diperkirakan hanya meraih suara 11 persen dalam Pemilu legislatif. Walau begitu Boni melihat tidak maksimalnya Jokowi effect disebabkan sejumlah faktor diantaranya tindakan kriminal yang dilakukan peserta Pemilu sehingga terjadi kecurangan.

Selain itu Boni merasa dalam Pemilu legislatif Jokowi effect belum terasa signifikan mendorong perolehan suara PDIP. Pasalnya, banyak pemilih yang hanya berminat untuk memilih Jokowi, bukan partainya. Sehingga ia memprediksi Jokowi effect mulai meningkat pada saat Pemilu Presiden dan wakilnya (Pilpres). “Kalo kita mau melihat Jokowi effect itu nanti di Pilpres,” tukasnya.

Senada, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengindikasikan salah satu penyebab lemahnya Jokowi effect karena minimnya upaya PDIP mempromosikan Jokowi. Misalnya, usai PDIP secara resmi menunjuk Jokowi sebagai capres tidak dibarengi dengan perayaan. Sehingga masyarakat, terutama di daerah tidak banyak yang mengetahui kalau Jokowi sudah ditetapkan sebagai capres oleh PDIP.

Selain itu Burhanuddin juga melihat ada faksi di tubuh PDIP yang membuat Jokowi effect tidak maksimal. Oleh karenanya jika berharap Jokowi effect berdampak signifikan dalam Pilpres ia menyarankan agar PDIP segera mendamaikan faksi yang ada di internal. Serta membenahi marketing politik agar mampu mengantarkan Jokowi menjadi Presiden. “PDIP harus berbenah diri,” tuturnya.

Politisi PDIP, Dai Bachtiar, mengakui kalau Jokowi effect itu ada tapi belum dimaksimalkan. Ini terlihat dari perolehan suara PDIP dalam Pemilu legislatif yang tidak mencapai target. Sejak awal PDIP sudah khawatir kalau Jokowi dijadikan musuh bersama oleh parpol lainnya. Indikasinya, Jokowi kesulitan memasang iklan di media atau diblok pemberitaannya oleh media tertentu.

Walau begitu mantan Kapolri itu mengatakan dalam menghadapi Pilpres nanti, PDIP akan melakukan pembenahan. Sehingga peluang yang ada bakal dimanfaatkan secara baik untuk memenangkan Pilpres. Seperti dalam mencari pasangan calon wakil Presiden (Cawapres), diutamakan yang mampu menjalin kerjasama dengan Jokowi untuk menjalankan pemerintahan nanti. “Itu sedang kami bahas,” ujarnya.

Dai menegaskan walau parpol berperan untuk menjaring cawapres yang tepat, tapi Jokowi punya peran utama menentukan siapa yang bakal menjadi pendampingnya nanti. “Jokowi sangat berperan menentukan wakilnya. Memang ada keputusan dari parpol tapi nanti Jokowi yang berperan signifikan memilih sendiri wakilnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait