Pembebasan Satinah
Dialog Hukum KHN

Pembebasan Satinah

Presiden SBY dapat melobi Raja Arab Saudi.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Sudah bertahun-tahun, bangsa ini dirisaukan dengan maraknya kasus hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Ratusan TKI terancam hukuman mati atau hukuman berat, dan seringkali dikonversi dengan kecenderungan permintaan uang tebusan  yang fantastis untuk keluarga korban, lazim disebut diyat (uang darah). Kasus terakhir menimpa Satinah binti Jumaidi. TKI asal Ungaran, Semarang, Jawa Tengah  itu  divonis bersalah dan harus berhadapan dengan hukuman pancung jika tidak dapat melunasi uang darah  sebesar 7 juta Riyal atau senilai Rp 21 miliar.  Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengindikasikan pemerintah akan membayar uang jaminan tersebut. Tepatkah langkah pemerintah menyelamatkan Satinah?

Rabu, 2 April 2014, sehari dari rencana eksekusi hukuman mati  Satinah, KHN menggelar Dialog Hukum, dengan tema “Tumpulnya Advokasi Terhadap TKI”. Hadir sebagai narasumber: Anggota KHN  Dr. Frans Hendra Winarta, Guru Besar FH UI Prof Hikmahanto Juwana, dan Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia Bobby Anwar Ma’arif.

Anggota KHN, Frans Hendra Winarta, meminta kepada pemerintah untuk dapat menyelamatkan nyawa Satinah dengan lebih mengedepankan jalur diplomasi dan advokasi. Sesuai konstitusi, sudah menjadi kewajiban negara melindungi warga negaranya di luar negeri. “Pemerintah wajib melindungi seluruh warga negara,” kata Frans.

Menurut Frans, diyat bukanlah satu-satunya cara untuk menyelamatkan warga negara Indonesia (WNI) dari hukuman pancung di Arab Saudi. Frans menyatakan, cara diplomasi antara Indonesia dengan Pemerintah Arab Saudi jauh lebih efektif untuk menyelamatkan WNI dari hukuman mati. “Cuma, perlindungan tak harus selalu diwujudkan dalam bentuk membayar diyat. Saya yakin jalur diplomasi dan advokasi jauh lebih efisien dan efektif menyelesaikan masalah,” terang Frans.

Lewat advokasi, misalnya, pemerintah harus bisa memastikan TKI yang berhadapan dengan hukum mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan sejak proses awal. Demikian pula jalur diplomasi, penting bagi pemerintah untuk menggunakan saluran diplomatik yang tersedia.

Frans menyatakan keherananya, bahwa jumlah uang diyat senilai Rp 21 miliar untuk membebaskan Satinah sudah tidak masuk akal. “Uang segitu kan besar sekali, belum tentu semua yang dimilki warga se kampung Satinah dapat mencukupi pembayaran uang pengganti itu,  hal lain, itu akan menjadi preseden buruk bagi bangsa ini,” jelas Frans. 

Frans lalu mengatakan, keputusan pemerintah untuk membayar diyat tersebut sebagai bukti bahwa diplomasi Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi masih “mlempem”. Frans memberi saran, untuk menyelamatkan nyawa WNI, diplomat Indonesia harus mampu melakukan diplomasi canggih untuk menyakinkan diplomat Arab Saudi. “Diplomat kita harus mampu menyakinkan adanya beda budaya di mana kalau di Indonesia, pembantu biasanya dianggap seperti keluarga sendiri, bukan budak. Karena sudah dianggap seperti keluarga sendiri,  maka perlakuan pun seharusnya beda. Contoh di sini, memegang kepala tidak diperbolehkan, mungkin saja dalam kejadian Satinah, dia malah di-“tempeleng” dan itu membuat Satinah gelap mata," kata Frans.

Frans dengan tegas mengingatkan agar bangsa ini tidak boleh tunduk begitu saja pada aturan pembayaran diyat. “Karena pemerintah Arab yang memutuskan persoalan mengenai diyat, maka kita tidak boleh tunduk begitu saja,” tegasnya.

Apalagi, menurut Frans, karena Arab saudi adalah bagian dari masyarakat internasional, pastilah mereka juga paham mekanisme dan ketentuan mengenai diplomasi internasional. “Diplomasi yang canggih, mestinya dapat menggantikan keharusan pemerintah membayar diyat untuk menyelamatkan nyawa WNI yang terjerat kasus hukum,” jelas Frans.  

Frans yang merupakan advokat senior ini juga mengingatkan, mestinya ketika penyidikan terhadap kasus pembunuhan yang melibatkan TKI dimulai, diplomat Indonesia harus mendampingi TKI tersebut. Karena kalau tidak didampingi banyak hal-hal negatif yang dapat terjadi dan merugikan.

Frans menambahkan,  karena di Arab Saudi pihak yang berkuasa adalah raja, maka menurutnya, tidak menjadi masalah jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga turun tangan melobi raja Arab Saudi. “Lebih baik, SBY berkomunikasi secara langsung dengan raja Arab Saudi," saran Frans.

Frans termasuk yang menyarankan agar dalam upaya pembebasan Satinah¸ Pemerintahan SBY hendaknya belajar kepada Pemerintah Australia yang dinilai sukses memperjuangkan peringanan hukuman warga negaranya, Schapelle Leigh Corby yang dihukum di Indonesia, tanpa uang tebusan.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontroversial terhadap Corby  terpidana 20 tahun karena kasus narkoba. Lewat Grasi yang hadiahkan oleh Presiden SBY, wanita yang dikenal sebagai ratu mariyuana itu diberikan pembebasan bersyarat setelah menjalani sepertiga masa tahanannya. Banyak pihak yang menyangka bahwa ada campur tangan Pemerintah Australia di balik keputusan pemerintah tersebut, meski pemerintah menyangkal.

Untuk diketahui, sampai berita ini diturunkan, ternyata jadual eksekusi Satinah belum jadi dilaksanakan. Semoga pemerintah dapat menyelamatkan nyawa wanita tersebut. Kasus terakhir, kalau  Wilfrida, TKI di Malaysia dapat terbebas dari hukuman mati, tentu kita berharap Satinah juga dapat diselamatkan.

Pemerintah baru: Jangan Ceroboh Kirim TKI illegal
Frans mengungkapkan, karena dalam perundang-undangan diatur tentang kewajiban melindungi warga negara, dan yang jelas mereka bekerja di luar negeri karena tidak mendapat pekerjaan yang layak di Indonesia. Maka, bercermin pada kasus Satinah, pemerintah seharusnya serius melakukan pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja. Pengawasan agen penyalur tersebut sangat penting, karena itu ibarat “keran” untuk menyetop pengiriman tenaga kerja illegal.

“Melihat maraknya pengiriman TKI ke luar negeri, seharusnya menjadi peringatan untuk segera mengatasi pengangguran di Indonesia. Pengangguran itu juga terkait dengan jumlah ledakan penduduk Indonesia di tahun 2030,” jelas Frans

Menurut Frans, saat ini saja jumlah pertambahan penduduk sudah mencapai dua persen per tahun,  “kalau dibiarkan terus, di tahun 2030 akan ada 350 juta sampai 400 juta penduduk," jelasnya.

Frans mengharap kepada pemerintah untuk betul-betul serius memperhatikan soal masih maraknya pengiriman TKI illegal, “Perbaiki persoalan pengiriman tenaga kerja illegal. Itu harus diperhatikan pemerintah. Terutama pemerintahan yang akan datang," harap Frans.

Hukum Qishos,  diyat hanya 3,5 miliar
Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia Bobby Anwar Maarif, mengungkapkan dari data yang dikumpulkan, pihaknya mencatat ada 426 TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, dan China.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu membayar uang diyat hingga puluhan miliar rupiah, karena menurut hukum qishos, kewajiban membayar dapat diganti dengan harga unta. "Di sana unta dewasa itu harganya 35 juta, kalau diwajibkan membayar 100 unta, maka hanya 3,5 miliar. Untuk pelaku wanita, malah hanya diwajibkan membayar setengah saja. Apalagi klasifikasi unta juga berbeda-beda, ada unta kecil, tanggung, dewasa, dan unta yang sedang bunting," ujar Bobby.

Dia melihat Arab Saudi melakukan standar ganda dalam menerapkan diyat. Ia mencontohkan dalam kasus pembunuhan TKI di Arab Saudi, pelaku WN Arab hanya diwajibkan membayar 400 juta saja. “Kami merasa heran dengan jumlah diyat yang bisa naik-turun di Arab Saudi,” cetusnya.

Lalu Bobby menjelaskan, di kasus Darsem, mereka minta empat miliar, sekarang naik lagi jadi 25 miliar di kasus Satinah, dan saya dengar di kasus lain lagi ada yang minta sampai 60 miliar.

Terkait keputusan penempatan TKI di luar negeri, kami sangat menyayangkan tindakan pemerintah. “Menurut kami, tidaklah tepat jika penempatan para buruh migran dikelola pihak swasta karena cenderung memunculkan praktik percaloan,  karena sudah jelas mereka orientasinya lebih kepada profit," ucap Boby

Boby menambahkan, meskipun keluarga TKI dibiayai, tapi itu justru memunculkan kesan bisa memperlakukan mereka seenaknya karena seolah-olah sudah dibeli.

Bobby juga melihat kecenderungan aksi ‘pemerasan’ dalam kasus-kasus yang menimpa TKI. Kondisi itu diperparah kelemahan posisi tawar dan diplomasi Indonesia dalam setiap kasus. “Posisi Indonesia masih lemah,” kata dia.

Bobby melihat revisi terhadap UU No. 39 Tahun 2004, yang menjadi payung hukum pengiriman TKI ke luar negeri, sebagai salah satu sarana meminimalisasi resiko. Pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan pengirim tenaga kerja ke luar negeri lemah antara lain karena kelemahan Undang-Undang itu juga. “Ada kesalahan mendasar pengiriman TKI,” pungkasnya.

Permainan Mafia dalam Permintaan Diyat
Guru besar hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan dengan adanya permintaan uang diyat hingga 21 miliar rupiah dalam kasus Satinah terlihat sudah ada permainan mafia dalam permintaan diyat. "Ini sudah seperti pemerasan, ini dapat menjadi praktik yang buruk kalau pemerintah menuruti permintaan diyat ini," ujar Hikmahanto.

Hikmahanto lebih dulu menyarankan agar Pemerintah belajar kepada Pemerintah Australia yang dinilai sukses memperjuangkan peringanan hukuman warga negaranya, Schapelle Leigh Corby. “Tidak bijaksana pemerintah memutuskan membayar uang diyat. Perlindungan kepada warga negara yang bisa diberikan pemerintah adalah seperti kasus Corby,” katanya.

Hikmahanto sepakat ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengubah ancaman hukuman mati, misalnya menjadi hukuman beberapa tahun. “Tetapi praktek mengedepankan diat justru akan membuat pemerasan terselubung marak,” pungkasnya.

Untuk melihat transkrip lengkap acara Dialog Hukum edisi ini, silakan klik "Transkrip".


TIM KHN
Tags:

Berita Terkait