Tony Budidjaja:
Ujian Advokat Asing Harus Ada Rambunya
Profil

Tony Budidjaja:
Ujian Advokat Asing Harus Ada Rambunya

Beberapa ketentuan terkait advokat asing dalam UU Advokat tidak jelas.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Tony Budidjaja. Foto: RES
Tony Budidjaja. Foto: RES
Dua puluh tujuh Februari 2014 lalu, sebuah momen bersejarah terjadi dalam dunia advokat Indonesia. Untuk kali pertama, ujian advokat asing diselenggarakan di Republik ini. Penyelenggaranya adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Digelar di kantor DPN PERADI di bilangan Slipi, Jakarta Barat, sebanyak 57 advokat asing mengikuti ujian.

Ujian advokat asing yang diselenggarakan PERADI menuai beragam tanggapan. Salah satunya dari Tony Budidjaja. Partner sekaligus pendiri kantor hukum Budidjaja and Associates ini mengapresiasi sekaligus menyampaikan beberapa ‘warning’ untuk PERADI, terutama terkait dengan regulasi.

Kepada hukumonline, akhir Februari 2014 lalu, Tony yang tercatat sebagai Counsellor Law Asia memaparkan pemikirannya tentang ujian advokat asing. Berikut ini petikan wawancaranya:

Apa tanggapan anda terkait ujian advokat asing yang diselenggarakan PERADI?
Satu langkah yang berani, sejak 2003, UU Advokat (UU No. 18 Tahun 2003) dibuat, 10 tahun lebih. Ujian advokat asing ini dapat dilihat ada positifnya.Positifnya, ujian advokat asing ini membangun kewaspadaan masyarakat, bahwa ada nih fenomena praktik advokat asing di Indonesia. Selama ini, banyak orang santai dan cenderung kurang peka.

Yang paling penting, adanya pengaturan hukum yang jelas dan tegas. Sampai saat ini pengaturan hukum Indonesia itu sangat kecil. Satu-satunya ketentuan hukum adalah Pasal 23 UU Advokat, ada empat ayat. Ayat (1) memberikan pembatasan, larangan advokat asing untuk berpraktik di Indonesia atau untuk membuka kantor di Indonesia. Itu prinsip utama.

Pengecualiannya ada di Ayat (2). Kesatu, bekerja menjadi staf atau konsultan di kantor hukum Indonesia. Kedua, harus meminta persetujuan dari pemerintah ditambah rekomendasi dari organisasi advokat. Ketiga, general principle, lawyer asing begitu mendapat persetujuan (dari organisasi, red), harus memberikan bantuan hukum cuma- cuma, dan pendidikan hukum cuma-cuma. Pemberian pendidikan hukum namanya ambigu, ini harus diperjelas.

Apa masalahnya dari pasal-pasal di UU Advokat yang mengatur tentang advokat asing di Indonesia?
Ketetuan tadi sangat tidak jelas. Ketentuan ini harus dibutuhkan elaborasi, di ayat (4) Pasal 23 mewajibkan Menteri Hukumdan HAM untuk membuat peraturan pelaksanaannya. Tahun 2004, peraturan itu keluar (Permen Nomor M.11-HT.04.02 Tahun 2004, red). Akan tetapi yang dikeluarkan Menteri Hukum tidak memberikan manfaat dan banyak meninggalkan aspek yang kurang jelas.

Kenyataannya, lawyer asing bisa datang, bisa balik di hari yang sama, tanpa adanya satu persetujuan untuk berpraktik. Sekarang sangat banyak, melihat kondisi sekarang jumlahnya sudah sangat spektakuler. Banyak lawyer asing yang tidak terlebih dahulu meminta persetujuan dari Menteri Hukumdan HAM. Mereka yang praktik seperti itu jauh lebih banyak dibanding yang resmi mengajukan permohonan ke Menteri untuk bekerja. Satu fenomena yang sangat serius, nah ini harus kita waspadai. Saya berharap agarorganisasi advokat dan juga pemerintah untuk lebih sensitif dan peka untuk mengatur hal itu.

Saya bisa mengerti di tengah kebingungan, pendebatan kewenangan siapakah, undang-undang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang memiliki kewenangan ini. Saya cukup salut dengan organisasi advokat PERADI yang membuat keputusan seperti itu (pelaksanaan ujian advokat asing, red). Namun yang saya harus katakan adalah penerapan kewajiban itu harus mengindahkan tata cara atau praktik yang berlaku secara internasional.

International Bar Association (IBA) memberi petunjuk atau guidlines atau resolusi atau keputusan yang harus perhatikan oleh organisasi advokat. IBA bahwa sudah aware dengan fenomena seperti ini dan membentuk komite khusus mengenai aturan lawyer asing. Baik mengenai transfer of skill, transfer of knowledge, pengalihan pengetahuan dan keterampilan, dan juga pengkualifikasian.

Kebijakan advokat asing yang banyak diberlakukan di negara yang lebih maju, secara umum dibagi menjadi dua model yakni full access (full license) dan limited access. Model full access artinya advokat asing boleh berpraktik seperti lawyer lokal, tetapi harus memenuhi spesikasi lebih ketat seperti lawyer lokal, pendidikan dan juga ujian. Indonesia sendiri belum memberi akses secara full.

Pemeritah masih memberikan proteksi yang khusus kepada lawyer lokal. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri tahun 2004, sistem yang diberlakukan adalah limited dan conditional (terbatas dan bersyarat). Advokat asing hanya boleh memberi nasihat terkait hukum asing. Model limited license, advokat asing tidak perlu diberikan beban, artinya cukup memberikan pedaftaran, penataan, dan monitoring.

Jadi, dengan menerapkan kewajiban ujian bagi advokat asing, apakah berarti Indonesia mengarah pada full license?
Kalau ujian yang dilakukan menggunakan bahasa Indonesia, mewajibkan untuk memahami hukum Indonesia, saya khawatir disalahartikan bahwa kita mencoba memberikan akses untuk berpraktik Indonesia. Seharusnya kita tetap menjaga rambu-rambu yang ada. Advokat asing hanya berpaktik mengenai hukum asing saja, bukan hukum Indonesia. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk mengerti hukum Indonesia atau mengerti bahasa Indonesia, karena mereka dari sananya memang tidak diharapkan untuk mempraktikkan hukum Indonesia. Saya berharap baik dari organisasi advokat di Indonesia maupun dari pemerintah memberikan praktik hukum secara jelas dan ketat dan tidak mengizinkan lawyer asing untuk berpraktik dengan hukum Indonesia.

Jadi, Indonesia sebaiknya tetap menerapkan limited license?
Kalau secara legal harus dihormati kebijakan pemerintah, yaitu limited license, sesuai dengan kondisi kita saat ini. Kita tahu kondisi profesi hukum kita masih jauh dengan kualitas lawyer negara maju, gap-nya (kesenjangan, red) cukup jauh. Kalau memang nanti kita, karena kewajiban, kita harus membuka diri, harus dipersiapkan dengan hati-hati. Saya sangat concern dengan persiapan pemerintah maupun organisai advokat untuk menyambut era keterbukaan. Cepat atau lambat keterbukaan secara penuh akan datang.

Bagaimana prospek pengaturan advokat asing dalam RUU Advokat?
Saya sudah mempelajari RUU Advokat. Di RUU Advokat sekarang belum ada pengaturan yang jelas tentang lawyer asing atau pembatasannya. Dengan tantangan yang ada, seharusnya RUU Advokat mengatur secara jelas advokat asing, secara terbatas (limited license) atau full access. Saya berpendirian harus dilakukan secara hati-hati atau tidak gegabah atau bertahap. Mekanisme harus jelas, pendaftaran dan penuaian kewajiban juga harus jelas. Monitor sejauh mana dampak atau manfaat dari kegiatan pendidikan hukum yang diberikan oleh advokat asing. Harapan saya di UU Advokat yang baru harus ada.

Banyak negara, seperti kita bingung dan ragu menyikapi advokat asing. Mereka melakukan dengan berbagai kebijakan teknis. Itu bisa juga dilakukan di Indonesia. Adanya pembatasan bagi advokat asing atau lawyer Indonesia dibatasi dalam merekrut lawyer asing. Di beberapa negara seperti Singapura, apabila seorang lawyer lokal direkrut oleh satu kantor hukum yang berafiliasi dengan kantor hukum asing maka kantor hukum itu tidak boleh berpraktik lokal, karena mereka dianggap menyatu dengan lawyer asing yang mereka pekerjakan. Jadi, jangkauan jangan lagi individu, tetapi kantor sehingga ada perlindungan bagi lawyer lokal. Saya pikir ini juga bagus dalam melakukan transfer of skill.

Bagaimana kesiapan advokat Indonesia menyambut arus kedatangan advokat asing?
Secara umum, lawyer kita masih ndeso (kampung, red). Kita tidak pernah menikmati pendidikan hukum secara efektif. Kita masih melihat sampai saat ini 50 persen lebih, lawyer kita, manajemen kantornya masih tradisional. Banyak lawfirm yang masih one man show. Kalau di luar Jakarta, masih banyak lawfirm yang hanya terdiri dari satu advokat dibantu asisten. Lawfirm model seperti ini memang sudah banyak berkurang di Jakarta. Tetapi itu terjadi lebih karena adanya dominasi lawfirm-lawfirm lokal yang berafiliasi dengan lawfirm asing. Bisa dibayangkan, mereka bisa merekrut 100 lawyer sekali rekrut di kantornya. Coba kita bayangkan keperkasaan mereka dibandingkan dengan lawfirm lainnya. Ibarat David versus Goliath. Adanya kesenjangan yang luar biasa. Hal ini harus diperhatikan oleh organisasi advokat dan pemerintah.

Saya khawatir, setiap baca laporan lembaga survey internasional di berbagai negara, Indonesia merupakan salah satu negara paling cepat pertumbuhan jumlah lawyer asingnya, sangat cepat, sangat drastis. Padahal organisasi profesi advokat maupun pemerintah terlihat adem-ayem saja. Belum siap, belum mempunyai metode penanggulangan atau pengaturan untuk mengantisipasi hal itu. Jika kita tidak memberikan perlindungan yang cukup kepada lawyer lokal, maka yang akan terjadi adalah eksploitasi.

Saya tahu, banyak lawfirm-lawfirm asing yang sudah berafiliasi dengan lawfirm Indonesia, mereka sebenarnya ingin memberikan kontribusi kepada komunitas hukum Indonesia. Namun, sayangnya mereka nampaknya bingung. Bagaimana pelaksaanaan niat baik mereka untuk memberikan bantuan jasa hukum atau pendidikan hukum. Ini perlu ditangkap dan dikerjaan secara cepat dan bijaksana oleh pemerintah maupun organisasi advokat. Kalau dilihat ini tanggung jawab pemerintah, Menteri Hukum dan HAM. Jadi saya benar-benar mendorong Menteri untuk bijaksana dan benar-benar berani untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Di suatu seminar internasional, beliau (Menteri, red) pernah bilang akan membuat pengaturan untuk lawyer asing, tapi sampai sekarang kami masih menunggu aturan advokat asing terealisasi, tanpa menunggu sahnya RUU Advokat yang baru. Karena RUU Advokat baru akan terwujud setelah perhelatan pemilu selesai.

Seberapa besar pengaruh sistem organisasi profesi advokat, single atau multibar, untuk pengaturan advokat asing?
Di kebanyakan negara yang sudah lebih siap menghadapi isu seperti ini, mereka biasanya mempercayakan kepada organisasi advokat untuk mengatur masalah pendidikan hukum dan perektrutan. Walaupun beberapa negara juga terjadi tarik ulur antara organisasi advokat dan pemeritah. Contohnya, Singapura, sudah sekian lama, yang melakukan pengaturan adalah pemerintah, sedangkan organisasi advokat terbatas, hanya masalah pengembangan profesi. Di negara lain, di Hong Kong terbalik, justru pemerintah mempercayakan BAR-nya (organisasi advokat, red) untuk mempunyai kewenangan sebanyak-banyaknya. Dua negara ini  setidaknya memiliki aturan yang jelas dan rapih. Yang penting, sepanjang itu jelas, itu semua akan aman dan nyaman bagi semuanya. Dan, niscaya praktik hukum dan kegiatan bisnis ekonomi juga akan menjadi maju, kalau hukumnya jelas.

Masalah single atau mulibar, saya melihatnya lebih karena adanya ketentuan hukum yang tidak rapih dan jelas. UU Advokat tidak pernah menyebutkan adanya PERADI. Menurut saya pribadi, UU Advokat itu memang tidak cukup jelas mengatur tentang bagaimana organisasi advokat itu dibentuk. Kenyataannya di banyak negara kebijakan-kebijakannya berbeda, tergantung dari masyarakatnya. Kesamaan karakter, juga kebutuhan merupakan faktordalam menentukan single atau multibar.

Jadi, bagaimana kebijakan advokat asing yang harus diberlakukan di Indonesia?
Menurut pandangan saya pribadi, kita jangan terburu-buru membuka pasar kita untuk lawyer asing melakukan praktik secara full. Pembatasan sekarang sudah tepat. Jangan diberikan terburu-buru. Ini yang saya coba garis bawahi. Sekarang saja secara rule tidak boleh berpraktik di Indonesia, tetapi faktanya sekarang sudah banyak. Coba anda lihat dari ujung Sudirman sampai Thamrin (nama jalan di Jakarta, red) banyak lawyer asing yang mempraktikkan hukum Indonesia. Jangan sampai kita memberi kesan mereka boleh berpraktik. Kesan itu yang mungkin timbul di kalangan lawyer asing yang merespon kebijakan PERADI baru-baru ini. Maksud PERADI maksud yang baik, melakukan upaya peneguran kepada lawyer asing tapi jangan sampai memberikan dampak yang sebaliknya.

Semangatnya proteksi lokal, kita sangat jauh tertinggal. Pemerintah harus memberikan capacity building untuk advokat indonesia. Harus ada pemantapan untuk profesi hukum, lewat CLE (continuing legal education), pendidikan profesi juga harus segera dilakukan.Yang paling dibutuhkan oleh praktisi skill atau soft skill bagaimana meng-handle tekanan, bisa meng-handle kerjaan yang banyak, berkomunikasi dengan orang berbeda budaya, bisa jeli untuk mencari sumber hukum. Soft skill dan hard skill sangat penting, melebihi pengetahuan hukum itu sendiri. Karena hukum berkembang. Ini harus ditekankan, baik oleh pendidikan hukum di Indonesia ataupun organisasi advokat.

Inggris dan Singapura, hanya menerapkan ujian hanya apabila mereka (advokat asing) memohon untuk memberikan praktik secara full. Mereka di-qualified to become a local lawyer. Izin lawyer asing dalam hal untuk menjadi lawyer lokal, berpraktik seperti lawyer lokal. Jadi, ujian di negara lain hanya relevan, ketika lawyer asing tersebut ingin berpraktik lokal, mempraktikkan hukum Indonesia. Karena itu bisa menimbulkan salah tafsir, atau bisa melegitimasi mereka yang secara keliru, apalagi tidak ada dasar hukum yang jelas.
Tags:

Berita Terkait