MK Khawatirkan “Banjir” Sengketa Pemilu
Berita

MK Khawatirkan “Banjir” Sengketa Pemilu

Menurut jadwal KPU akan umumkan hasil pemilu secara nasional pada 9 Mei mendatang.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
MK Khawatirkan “Banjir” Sengketa Pemilu
Hukumonline
Banyaknya laporan dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif, khususnya yang menyangkut penghitungan suara ulang di sejumlah daerah disinyalir akan menimbulkan banyak gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kekhawatiran ini berbeda dari prediksi sebelumnya yang menganggap sengketa tak akan lebih banyak dari pemilu 2009.

Dari hasil rekapitulasi hasil pemilu 2014 yang dilakukan di beberapa provinsi banyak terjadi kecurangan baik yang dilakukan perorangan, parpol, termasuk penyelenggara pemilu.

“Ini tentunya akan memperberat tugas-tugas MK dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu,” kata Wakil Ketua MK, Arief Hidayat dalam acara Koordinasi Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu 2014 di gedung MK, Rabu (30/4).

Acara ini dihadiri perwakilan parpol peserta pemilu, KPU, KPU Provinsi, Bawaslu, dan jaksa pengacara negara, dan pengelola video conference dari 42 perguruan tinggi seluruh Indonesia yang akan dimanfaatkan dalam sidang-sidang sengketa hasil pemilu di MK.    

Arief berharap persoalan kekisruhan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 harus bisa diselesaikan sesuai saluran yang tersedia. Misalnya, hal yang menyangkut penghitungan ulang harus bisa diselesaikan di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hingga tingkat nasional. Jika menyangkut kecurangan atau pidana pemilu pengadilan harus bisa menyelesaikannya.  

“Jika persoalan itu tidak selesai di tingkat masing-masing, tidak tertutup kemungkinan membanjirnya perkara perselisihan hasil pemilu di MK. Meski, gugatan hasil sengketa Pemilu baru bisa diajukan 3 x 24 jam setelah KPU secara resmi mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu legislatif secara nasional,” kata Arief.  

Dia mengingatkan sengketa yang menyangkut antar calon legislator (DPR dan DPRD) dalam satu parpol di dapil yang sama pengajuannya harus mendapatkan Ketua Umum dan Sekjen DPP Parpol yang bersangkutan. Namun, penekanannya perselisihan caleg dalam satu partai, hendaknya diselesaikan dulu di internal partainya. Sehingga penyelesaian melalui jalur MK merupakan jalan terakhir.

Sementara bagi anggota DPD pengajuan permohonan sengketa hasil pemilu dapat dilakukan secara perorangan. Sebab, undang-undang telah menentukan peserta pemilu calon anggota DPD adalah perseorangan.

“Kalaupun terjadi itu (banjir perkara) kami telah menyiapkan tiga majelis panel yang masing-masing majelis panel didasarkan dapil-dapil tertentu dengan pemohon (parpol/caleg) yang berbeda. Kita akan menangani setiap kasus sengketa Pemilu dalam waktu satu bulan,” jelasnya.

Karena itu, pihaknya mengundang para pihak yang berkepentingan untuk menyamakan persepsi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses pengajuan permohonan sengketa hasil pemilu di MK. Karena itu, para peserta dan penyelenggara pemilu dibekali PMK No. 3 Tahun 2014 tentang Perubahan atas PMK No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

“Revisi PMK ini perlu komunikasikan dengan parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan kejaksaan. Ini dimaksudkan agar semua pihak memiliki pandangan yang sama bahwa putusan sengketa pemilu bersifat final dan mengikat,” tegasnya. 

Arief menambahkan berdasarkan agenda ketatanegaraan tanggal 9 Mei batas akhir penetapan hasil pemilu legislatif 2014. “Jika mundur karena banyaknya penghitungan ulang, akan mempengaruhi proses selanjutnya khususnya pemilihan presiden,” kata Arief.

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen MK Janedjri M Gaffar mengungkapkan MK sudah menerima banyak permohonan sengketa hasil pemilu dari parpol tingkat DPD dan DPC. Padahal, objek dari perselisihan hasil pemilu adalah penetapan perolehan hasil pemilu secara nasional oleh KPU.

“Menurut jadwal dari KPU rekapitulasi hasil pemilu secara nasional selesai pada 6 Mei dan akan diumumkan pada 9 Mei. Ini bentuk ketidaktahuan parpol di daerah,” kata Janedjri menambahkan.   
Tags:

Berita Terkait