Kriminalisasi Kurator, Langkah Mundur Hukum Kepailitan di Indonesia
Kolom

Kriminalisasi Kurator, Langkah Mundur Hukum Kepailitan di Indonesia

Perbedaan pendapat antara Kurator dan kreditur mengenai status tagihan seharusnya diselesaikan melalui prosedur renvoi sebagaimana diatur Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Kepailitan sebagai suatu bidang hukum yang bersifat khusus memang tidak dapat dipungkiri sebagai sesuatu yang asing bagi kebanyakan orang. Akibatnya, seringkali, orang salah memahami hukum kepailitan dan berbagai macam perangkatnya, termasuk Kurator yang tugas dan wewenangnya yang merupakan bagian terpenting dalam hukum kepailitan dan implementasinya di masyarakat.

Ditinjau dari manfaatnya, baik disadari atau tidak, ketentuan hukum kepailitan telah membawa angin segar dalam penyelesaian permasalahan utang piutang, khususnya perbankan dalam rangka menyelesaikan besarnya Non Performing Loan (NPL) suatu bank.

Sebagai filosofi dasar dari hukum kepailitan, ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah mengatur bahwa seluruh harta debitur, bergerak maupun tidak bergerak menjadi jaminan atas kewajiban-kewajibannya

Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut lah muncul profesi Kurator yang kemudian diatur lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), khususnya Pasal 15 UU Kepailitan.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 16 UU Kepailitan telah mengatur secara umum apa yang menjadi tugas dari Kurator, yaitu melakukan pengurusan dan pemberesan, dimana dalam tugas pengurusan salah satu tugas terpenting Kurator adalah melaksanakan verifikasi terhadap seluruh tagihan yang diajukan oleh pihak-pihak yang merasa memiliki tagihan (piutang) terhadap debitur pailit.

Sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan, dalam melaksanakan verifikasi tersebut, seorang Kurator wajib bertindak independen, dimana Kurator wajib menerima tagihan yang didukung oleh dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa tagihan tersebut memang ada. Di sisi lain, Kurator juga berkewajiban untuk menolak tagihan-tagihan yang diajukan kepadanya yang tidak didukung dokumen ataupun bukti yang kuat. Pasalnya, apabila Kurator menerima tagihan yang dokumen bukti tidak mencukupi, maka tindakan Kurator tersebut cenderung akan merugikan harta pailit dan kreditur lain.

Bahkan, dalam beberapa perkara kepailitan yang ditangani penulis, tidak sedikit justru pihak debitur dengan sengaja memasukkan tagihan fiktif dengan berbagai macam tujuan di antaranya, memastikan menguasai jumlah suara dalam proses pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian ataupun hanya sekedar mendaftarkan tagihan fiktif tersebut agar menguntungkan pemegang saham atas debitur pailit.

Tujuannya agar pihak debitur tetap mendapatkan pembagian hasil pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator, dan bila memang betul tagihan fiktif tersebut sengaja dibuat oleh debitur bekerja sama dengan pihak ketiga lainnya, Kurator berhak melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Debitur dan atau pihak ketiga tersebut.

Sehubungan dengan berita ditangkapnya kurator berinisial JOSdalam rangka pelaksanaan tugasnya dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta PT.SUrabaya Agung Industri Pulp (Dalam Pailit), karena diduga memalsukan dokumen dan keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP, tentu bagi siapapun yang memahami ketentuan dan filosofi Undang -Undang Kepailitan akan sangat kebingungan.

Hal ini mengingat sehubungan dengan pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP sangatlah tidak mungkin seorang kurator yang sedang menjalankan tugas pengursan dan pemberesan membuat dokumen palsu, mengingat dalam suatu proses kepailitan sejak awal baik itu dokumen yang bersifat administratif seperti Tanda Terima Tagihan dan Dokumen maupun dokumen yang sifat nya hasil dari Rapat-Rapat Kreditur seperti Daftar Tagihan Sementara Diakui, Daftar Tagihan Tetap, maupun Daftar Tagihan yang Ditolak sampai dengan dokumen yang bersifat akhir seperti Daftar Pembagian Kreditur memang dibuat oleh seorang Kurator dan disetujui oleh Hakim Pengawas Kepailitan tersebut.

Lebih lanjut, jika pun akan dikenakan delik pemalsuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP, lantas penyidik kepolisian membandingkannya dengan dokumen apa yang dianggap sebagai dokumen asli?

Ketentuan Pasal 117 UU Kepailitan

“Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya kedalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri

Apabila melihat ketentuan-ketentuan dalam UU Kepailitan, perbedaan pendapat antara Kurator dengan salah satu kreditur sebenarnya diselesaikan melalui forum yang disebut dengan “ prosedur renvooi” (renvooi procedure) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan yang dapat dikutip sebagai berikut :

Dalam hal ada bantahan sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak, sekalipun perselisihan tersebut telah diajukan ke pengadilan, Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan”.

Lebih lanjut, berkaitan dengan dugaan pemalsuan keterangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 263 KUHP, hal ini juga dirasakan cukup membingungkan dikarenakan frasa “barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,...” jelas-jelas menunjukkan bahwa dugaan tindak pidana tersebut dilakukan oleh pihak yang menyuruh pihak yang berwenang membuat akta otentik, memasukkan keterangan palsu didalam akta otentik yang dibuatnya tersebut. Sebagai contoh sederhana ,seseorang yang menyuruh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah, untuk memasukkan keterangan palsu di dalam akta tersebut.

Dalam kasus kurator tersebut diatas, sangatlah tidak mungkin dan tidak perlu sama sekali seorang kurator yang berinisial JOS menyuruh memasukkan keterangan palsu didalam dokumen-dokumen yang dia buat sendiri dalam kapasitasnya sebagai Kurator PT.SAIP tersebut, yang bersangkutan memang tidak perlu “menyuruh memasukkan keterangan palsu” ke dalam dokumen yang dibuat oleh dirinya sendiri dan ditandtangani oleh dirinya sendiri sebagai Kurator PT.SAIP.

Penulis sepakat sepenuhnya bahwa tidak ada satupun profesi di muka bumi ini yang bisa bebas dari tuntutan hukum baik itu tuntutan hukum pidana maupun gugatan hukum perdata, tetapi dalam perkara ini penulis melihat terdapat suatu indikasi ketidakpahaman penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, baik dilakukan secara tidak sengaja maupun secara tidak sengaja. Penulis berpendapat telah jelas bahwa perbedaan pendapat antara Kurator dan kreditur mengenai status tagihan seharusnya diselesaikan melalui prosedur renvoi tersebut di atas, setidak-tidaknya begitulah yang diatur dalam ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan.

UU Kepailitan sebagai suatu konsensus nasional yang disepakati di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentunya sama kedudukannya dengan ketentuan hukum lain, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang - Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, bahkan lebih lanjut dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum yang diajarkan di bangku kuliah dasar fakultas hukum, Penulis mengingat betul akan asas hukum “Lex Specialis Derogat Lex Generalis” yang artinya“aturan khusus mengesampingkan aturan umum”. Bahkan kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada Kurator dalam beberapa hal menunjukkan bahwa Kurator dalam tingkatan tertentu pekerjaannya harus dianggap sebagai “wakil pengadilan”.

Satu hal yang lebih membingungkan lagi bagi Penulis adalah ternyata laporan polisi yang menyebabkan ditangkapnya Kurator yang sedang menjalankan tugasnya tersebut adalah berdasarkan laporan yang dibuat oleh Debitur sendiri. Sungguh aneh bagi Penulis, Debitur yang seharusnya merasa diringankan dengan berkurangnya beban harta (boedel) pailit untuk membayar, justru malah kebakaran jenggot.

Penulis mengindikasikan hal ini ke dalam 2 hal. Pertama, besar kemungkinan kreditur-kreditur yang mengajukan tagihan tersebut teraffiliasi dengan Debitur, hal mana justru mewajibkan kurator lebih berhati-hati dalam melaksanakan verifikasi dikarenakan bukan tidak mungkin tagihan-tagihan yang ditolak oleh kurator tersebut bersifat fiktif.

Kedua, karena tagihan-tagihan kreditur tersebut merupakan tagihan afiliasi, dapat dipastikan dalam proses pemungutan suara (voting), para kreditur tersebut akan menyetujui apapun yang diajukan oleh Debitur dalam rencana perdamaiannya dan apabila hal ini yang terjadi justru pihak Kepolisian dan Kejaksaan justru harus meneliti lebih jauh mengenai keabsahan dan validitas tagihan kreditur yang totalitas nilainya hampir mencapai Rp4 triliun tersebut.

Bahkan, Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya betul-betul melihat apakah dana sebesar Rp4 triliun tersebut betul-betul masuk ke kas perusahaan PT.SAIP. Jika tidak, maka patut diduga justru debitur dan para kreditur yang tagihannya ditolak tersebutlah yang justru melakukan tindak pidana karena membuat keterangan palsu dan persekongkolan untuk merugikan kreditur lain. 

* Penulis adalah Advokat, Kurator dan Pengurus Kepailitan
Tags:

Berita Terkait