Kebijakan Energi Nasional Dinilai Gagal
Berita

Kebijakan Energi Nasional Dinilai Gagal

Kandungan minyak bumi Nasional diprediksi habis sebelas tahun lagi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Diskusi Ketahanan Energi FK-UI. Foto: RES
Diskusi Ketahanan Energi FK-UI. Foto: RES
Pakar Ketahanan Energi Universitas Indonesia (UI), Rivai Ras, menyayangkan spektrum permasalahan yang selama ini dibahas dalam perumusan kebijakan energi nasional. Ia melihat rumusan kebijakan energi nasional baru sampai persoalan pengoptimalan energi baru terbarukan, pengurangan penggunaan energi fosil dan pengurangan subsidi energi. Namun, belum membicarakan persoalan bagaimana mengelola energi dalam negeri secara mandiri. Menurut Rivai, seharusnya masalah itu juga dipikirkan.

Rumusan kebijakan tersebut, dinilai Rivai sebagai cerminan kegagalan pemerintah mengelola energi di tanah air. Ia mengatakan bahwa pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan energi telah gagal melakukan kewajibannya. Sebab, pemerintah tak mampu menciptakan ketahanan energi nasional.

“Urusan energi harus dihubungkan dengan pengelolaan dan kemauan pemerintah untuk mendorong kemandirian energi,” ujarnya dalam sebuah sarasehan energi yang diselenggarakan Universitas Indonesia di Jakarta, Senin (5/5).

Lebih lanjut, Rivai mengingatkan Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber energi baru dan terbarukan begitu berlimpah. Sayangnya, komitmen pemerintah dalam mengelola energi non-fosil masih rendah. Minimnya komitmen pemerintah tersebut mengakibatkan negara lain akan menguasai energi baru dan terarukan Indonesia.

“Hal tersebut sangat ironis. Kita akan terus dikuasai oleh bangsa lain. kita,”katanya.

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Kumaidi Notonegoro, memaparkan bahwa tingkatkonsumsi energi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menurut perhitungannya, rata-rata peningkatan konsumsi energi per tahun mencapai tujuh persen. Hal ini menurut dia, mengharuskan pemerintah terus melakukan impor bahan bakar minyak.

“Pertumbuhan konsumsi BBM yang tidak sebanding dengan ketersediaan membuat kita harus terus impor BBM. Ini tentu kian memberatkan APBN,” paparnya.

Komeidi menambahkan, kegiatan impor BBM berdampak serius pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal tersebut dibuktikan dengan kajian yang menyebut bahwa melemahnya rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa bulan terakhir ini salah satunya dipengaruhi oleh impor BBM. Oleh karena itu, Komeidi mendesak pemerintah agar membuat grand strategy dalam mengelolanya agar bisa menciptakan ketahanan nasional.

Menanggapi desakan Komeidi, Sekretaris Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Tunggal, mengatakan sebenarnya pemerintah telah membuat strategi pengelolaan energi. Tunggal mengungkapkan, strategi itu sudah dilembagakan dalam sebuah produk hukum melalui Kepmen ESDM No. 4051 K/07/MEM/2013. Ia memaparkan, Kepmen itu terkait peningkatan energi minyak dan gas, mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan secara masif, mengurangi pemakaian dan impor BBM, serta penghematan energi.

“Jadi, pemerintah sudah berkomitmen untuk mengatasi krisis energi dengan program ini,” ujarnya.

Tunggal juga mengatakan, kebijakan tersebut diambil pemerintah atas kesadaran bahwa ketersediaan energi fosil di Indonesia semakin menipis. Ia bahkan berani memprediksi, sebelas tahun lagi minyak bumi yang terkandung di perut Ibu Pertiwi akan habis. Sementara itu, kebutuhan BBM dalam negeri dalam sehari bisa mencapai 1,3 juta barel.

"Energi fosil cepat atau lambat akan kurang dan habis, indikasi itu sudah diprediksi. Dulu diprediksi minyak kita akan habis 20 tahun lagi, pertanyaan ini benar karena dulu kita sebagai negara eksportir sekarang menjadi negara importir minyak. Kini kita harus sama-sama menyadari, tahun 2025 Indonesia sudah tidak akan punya minyak. Cadangan kita akan habis," katanya.

Sementara itu, pengamat komunikasi Effendi Gozali menilai kemandirian pengelolaan energi di Indonesia masih terkendala oleh anggapan bahwa anak negeri tidak mampu. Hal ini, menurut Effendi, sering menjadi faktor penyebab kegagalan Pertamina mendapatkan kontrak-kontrak pengelolaan energi dalam negeri.

“Pertamina sering gagal karena dianggap belum mampu,” tuturnya.
Tags:

Berita Terkait