Dua Guru Besar Dukung Pengurangan Wewenang DPR
Seleksi Pejabat:

Dua Guru Besar Dukung Pengurangan Wewenang DPR

Seharusnya DPR cukup menyetujui atau tidak calon komisioner KY dan KPK.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Guru Besar FH Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto: SGP
Guru Besar FH Universitas Andalas, Saldi Isra. Foto: SGP
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait mekanisme rekrutmen atau pemilihan calon anggota Komisi Yudisial (KY) dan KPK yang dimohonkan UII Yogyakarta. Sidang kali ini, pemohon menghadirkan dua ahli yaitu Guru Besar FH Universitas Andalas, Saldi Isra, dan Guru Besar UGM, Miftah Thoha, untuk didengar keterangannya.

Dalam keterangannya, Saldi berpendapat pola rekrutmen anggota KY dan KPK yang melibatkan DPR mesti diubah. Sebab, pola rekrutmen anggota kedua komisi negara yang kedua independen itu tidak pernah lepas dari intervensi politik baik oleh presiden maupun DPR. Karenanya, ruang intervensi dari presiden dan DPR harus dibatasi dan dapat ditekan semaksimal mungkin.

Namun, dalam hal ini kewenangan presiden sudah dikurangi karena sebagian diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi oleh unsur pemerintah, praktisi, akademisi, dan tokoh masyarakat. ”Pansel ini dibentuk terpisah dari eksekutif. Artinya presiden tidak terlibat secara langsung menentukan siapa anggota KY dan KPK terpilih,” kata Saldi yang memberi keterangan dari FH Andalas melalui fasilitas video conference.

Sebaliknya, DPR memiliki masih memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam menentukan anggota KY dan KPK. DPR masih berwenang memilih 1 dari 3 atau 2 nama yang diajukan Pansel. ”Jadi, intervensi kekuasaan presiden dan DPR sudah tidak imbang. Sebab, kekuasaan presiden sudah dilimpahkan ke Pansel. Sedangkan DPR masih memegang kendali untuk memilih siapa anggota KY dan KPK”.

Karena itu dalam rangka keseimbangan, lanjut Saldi, sudah saatnya DPR tidak perlu lagi diberi kewenangan untuk ”memilih”, tetapi cukup ”menyetujui” atau ”tidak menyetujui” calon anggota KY dan KPK yang diusulkan Pansel. ”Seluruh tahapan seleksi termasuk fit and proper test cukup diserahkan ke Pansel yang diisi kalangan profesional dan kelompok masyarakat,” lanjutnya.

Menurut Saldi Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyebut anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Dengan adanya kata ”persetujuan” berarti DPR hanya sebatas menyetujui atau tidak terhadap calon-calon anggota KY yang diusulkan pemerintah melalui Pansel. Kalau DPR berwenang memilih anggota KY, tentunya UUD 1945 akan menyebut ”dipilih”, seperti halnya pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.   

Menurut Saldi, menafsirkan kata ’persetujuan’ menjadi memilih atau menetapkan sama saja potensial mereduksi kewenangan dan kemandirian KY. Sebab, kepentingan politik DPR sangat potensial ’memboncengi’ terpilihnya komisioner KY yang tidak memihak terwujudnya peradilan yang kredibel.

Sama halnya dengan rekrutmen anggota KPK. Meski KPK hanya dianggap sebagai salah satu badan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman seperti dimaksud Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, kewenangan DPR juga harus dibatasi dalam pemilihan anggota KPK. DPR hanya berwenang memberi persetujuan terhadap calon anggota KPK yang diusulkan Pansel.

”Kedua lembaga harus diberlakukan pola rekrutmen yang sama karena keduanya menjalankan fungsi yang berhubungan kekuasaan kehakiman, sehingga harus dijauhkan dari intervensi politik,” jelasnya.

Prof. Miftah Thoha menyarankan agar MK mempertimbangkan keinginan para pemohon agar pengangkatan anggota KY dan KPK tidak perlu political approval atau uji kelayakan oleh DPR. Seperti berlaku dalam pemilihan calon hakim agung, Panglima TNI, dan Kapolri. Sebab, pejabat negara yang murni itu pengangkatannya masuk ranah kekuasaan eksekutif sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

”Pengangkatan para pejabat negara itu cukup di wilayah kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Hal ini untuk menjaga agar tidak diintervensi kepentingan politik dari partai politik di DPR,” katanya.

Permohonan pengujianUU KY dan KPK ini diajukan oleh Rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid dan dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari. Mereka memohon pengujian Pasal 28 ayat (6) dan ayat (3) huruf c, Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal ayat (1), (10), (11) UU KPK terkait mekanisme pemilihan anggota KY dan KPK oleh DPR.

Menurutnya, banyaknya UU yang memberi wewenang DPR dalam rekrutmen pejabat publik telah mengakibatkan “pergeseran” fungsi DPR sebagai pembentuk UU dan pengawas pelaksanaan UU alias semi eksekutif. Apabila ini tidak diluruskan akan mengganggu pelaksanaan prinsip check and balances. Seharusnya, DPR cukup memberi “persetujuan” seperti rekrutmen Panglima TNI dan Kapolri.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata “dipilih’ dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai “persetujuan”. Selain itu, frasa “sebanyak tiga (tiga) kali” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai “sebanyak sama dengan.” Demikian pula, frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu)” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak 7 (tujuh) calon.
Tags:

Berita Terkait