Terhalang Jadi Profesor, Muchtar Pakpahan Menang di PTUN
Berita

Terhalang Jadi Profesor, Muchtar Pakpahan Menang di PTUN

Majelis hakim mempertimbangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh:
M-16/MYS
Bacaan 2 Menit
Terhalang Jadi Profesor, Muchtar Pakpahan Menang di PTUN
Hukumonline
Tokoh perburuhan yang juga akademisi Universitas Kristen Indonesia, Muchtar Pakpahan, menggugat Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan pekan pertama Maret lalu, PTUN Jakarta sudah memutuskan perkara tersebut. Muchtar menang.

Muchtar menempuh upaya hukum karena usulannya untuk menjadi guru besar atau profesor di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) terhalang. Setelah berbulan-bulan menunggu tanpa kepastian, bahkan setelah mendatangi kantor Kemendikbud, Muchtar belum bisa menjadi guru besar. Surat Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti No. 1143/E4.5/2013 membuyarkan harapan pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) itu. Surat bertanggal 16 Juli 2013 itu berisi pernyataan usulan guru besar belum dapat dipertimbangkan, dan karena itu berkas dikembalikan kepada Muchtar.

Penolakan Ditjen Dikti memproses guru besar Muchtar berpangkal pada jumlah kum yang dikumpulkan. Ada perbedaan pandangan mengenai status karya tulis yang dilampirkan dalam berkas usulan, sehingga mempengaruhi jumlah kum. Artikel Muchtar ‘Welfare State’ di Jurnal Bisnis dan Birokrasi, misalnya dipandang Ditjen Dikti bukan sebagai artikel riset, melainkan sebagai hasil pemikiran. Perbedaan sudut pandang terhadap beberapa karya ilmiah menyebabkan perbedaan hitung-hitungan kum.

Muchtar bersikukuh jumlah kum yang dia kumpulkan. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Kemendikbud, seorang akademisi bisa menjadi guru besar jika sudah mengumpulkan kum 850. Muchtar mengklaim sudah memiliki kum 878,53. “Saya sudah memenuhi kum untuk jadi profesor,” ujarnya kepada hukumonline.

Muchtar menduga usulannya untuk menjadi guru besar lama diproses dan akhirnya terhalang karena birokrasi di Ditjen Dikti yang belum berubah. Ia mendengar desas desus bahwa untuk memuluskan usulan guru besar harus disertai dengan uang. Muchtar mendengar sendiri kata-kata uang diucapkan oleh staf Dikti saat Muchtar datang menanyakan tindak lanjut usulannya.

Ketimbang memberikan uang pelicin, Muchtar lebih memilih menempuh upaya hukum. Ia mengaku melapor dan meminta KPK memantau praktek uang pelicin dalam pengurusan guru besar, dan melapor ke polisi tentang dugaan penggelapan kum. Ia juga mengirimkan pesan tentang kasusnya kepada Ibu Negara Any Yudhoyono. Pada akhirnya, Muchtar melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta pada 16 September 2013.

Lebih dari lima bulan kemudian, PTUN Jakarta memutus gugatan itu. Majelis hakim beranggotakan Teguh Satya Bhakti, Amir Fauzi, dan Andri Asani mengabulkan sebagian gugatan Muchtar. Majelis menyatakan batal surat Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti No. 1143/E4.5/2013, dan memerintahkan tergugat untuk mencabutnya. Dan yang terpenting, hakim memerintahkan Ditjen Dikti untuk memproses kembali usulan guru besar Muchtar Pakpahan.

Salah satu pertimbangan majelis adalah mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Tidak pastinya jangka waktu proses dan monopoli penilaian telah melanggar AAUPB, khususnya asas kepastian hukum, transparansi, dan akuntabel. Majelis menunjuk tidak adanya pedoman operasional penilaian angka kredit kenaikan pangkat yang baru sejak 2009, padahal sudah lima tahun berlalu sejak pedoman 2009 menegaskan kebutuhan tentang perlunya perubahan mendasar pedoman tersebut.

Juru bicara Kemendikbud Ibnu Hamad belum merespon permintaan tanggapan atas kasus ini. Tetapi diketahui bahwa Kemendikbud mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta. “Mereka masih banding,” Muchtar membenarkan.

Muchtar mungkin bukan satu-satunya orang yang menghadapi masalah serupa. Karena itu, doktor hukum tata negara ini berharap kasusnya bisa menjadi pelajaran bagi Ditjen Dikti. Muchtar juga menyatakan siap mengadvokasi dan mendampingi akademisi lain yang bernasib serupa.
Tags:

Berita Terkait