Batas Usia Kawin Cegah Pernikahan Dini
Berita

Batas Usia Kawin Cegah Pernikahan Dini

Pengaturan batas umur perkawinan memberi kepastian hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Pemerintah menganggap Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia pernikahan sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sebab, dalam hukum Islam maupun hukum adat tidak menyebut batas usia minimum seseorang diperbolehkan menikah.

Hal itu disampaikan oleh Plt Dirjen Peraturan Perundangan-undangan Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan di Gedung MK. Dia memaparkan dalam hukum Islam persyaratan umum yang lazim disebut sudah aqil baligh. Namun, Sedangkan secara adat ada perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.

Misalnya, di Jawa Barat, perempuan yang sudah berusia 14 tahun, telah aqil baligh, dan dianggap cakap dibolehkan untuk menikah. Sementara di Jawa Tengah, perempuan yang sudah berusia 20 tahun belum menikah dapat dianggap “perawan tua”.

Mualimin mengingatkan UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perkawinan di bawah umur, sehingga tujuan perkawinan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat tercapai.

Faktanya, batas usia lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Atas dasar itu, UU Perkawinan menentukan batas usia untuk kawin bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. ”Pembatasan ini hakikatnya mencegah perkawinan di bawah umur (dini) dan menunjang keberhasilan program nasional Keluarga Berencana

“Ini juga dikehendaki masyarakat dengan adanya tendensi pengunduran usia kawin,” lanjutnya.

Dia tegaskan perbedaan batas usia antara UU Perkawinan dan undang-undang lainnya seperti UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan batas usia anak 18 tahun memang dimungkinkan. Sebab, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan terkait perbedaan batas usia ini disesuaikan materi muatan yang akan diatur.

Karena itu, menurut pemerintah anggapan pemohon bahwa frasa “16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum berpotensi menimbulkan ketidakadilan adalah keliru. Justru, sambung Mualimin, diberikan pengaturan batas umur perkawinan memberi kepastian hukum dan mencegah perkawinan di bawah umur.              

Sebelumnya, Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin mempersoalkan batas usia  perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Alasannya, perkawinan anak dengan kehamilan dini di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi. Si ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dengan janin.

Pemohon berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun. Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Karenanya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pemohon juga meminta agar MK mengubah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang mengenai frasa ‘16 (enam belas) tahun’ yang berada dalam norma hukum ‘pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun’ menjadi frasa “18 (delapan belas) tahun”. Sehingga, bunyi Pasal 7 ayat (1) menjadi, ‘Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun’.

Berdasarkan catatan hukumonline, dukungan menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan datang dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jika dinaikkan, hak untuk tumbuh dan berkembang bagi anak menjadi terpenuhi.
Tags:

Berita Terkait