Sebelum Pagi Terulang Kembali:
Kisah Nestapa Keluarga Terjerat Korupsi
Resensi

Sebelum Pagi Terulang Kembali:
Kisah Nestapa Keluarga Terjerat Korupsi

Virus anti korupsi wajib ditularkan.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Produser, Sutradara, dan para pemain film
Produser, Sutradara, dan para pemain film "Sebelum Pagi Terulang Kembali" berpose usai pemutaran perdana di Jakarta. Foto: RES
Dengan pakaian lusuh, Firman (Teuku Rifnu Wikana) bersama koper besarnya terpaku berdiri di depan rumah orang tuanya, Yan (Alex Komang) dan Ratna (Nungki Kusumastuti). Kaki Firman tampak berat untuk memasuki rumah itu. Firman dilema. Di satu sisi, Firman tidak mau bertemu keluarganya dengan membawa kabar buruk tentang keretakan rumah tangganya. Di sisi lain, Firman butuh tempat tinggal.

Itulah sepenggal adegan pembuka film “Sebelum Pagi Terulang Kembali” yang diputar perdana pada Jumat pekan lalu (2/5) di Djakarta Theater, Jakarta. Film ini digagas dan didukung oleh sejumlah lembaga penggiat anti korupsi, mulai dari lembaga ‘plat merah’ seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga lembaga non pemerintahan atau LSM.

Judul : Sebelum Pagi Terulang Kembali
Genre : Drama
Produser : M. Abduh Aziz
Produksi : Cangkir Kopi Production
Sutradara : Lasja F. Susatyo
Durasi : 100 menit
Pemain : Alex Komang, Nungki Kusumastuti, Fauzi Baadila, Teuku Rifnu Wikana, Ibnu Jamil, Maria Oentoe, Adinia Wirasti, Agus Ringgo Rahman

Awalnya, Firman mungkin berasumsi kabar buruk yang dia bawa akan menjadi beban atau bahkan aib bagi keluarga besarnya. Tetapi ternyata, Yan dan Ratna, juga Soen (Maria Oentoe) selaku neneknya Firman, bersikap biasa saja. Keharmonisan dan kehangatan keluarga besar Yan yang salah satunya tergambar dari aktivitas bercengkerama di meja makan tetap terjaga.

Keharmonisan dan kehangatan itu baru mulai goyah ketika masalah lain muncul. Pangkalnya adalah ambisi Satria (Fauzi Baadila), anak laki-laki Yan yang lain, yang ingin mengembangkan sayap perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi. Ambisi Satria bak gayung bersambut dengan tabiat koruptif Hasan (Ibnu Jamil), anggota DPR yang kebetulan akan menjadi calon suami Dian (Adinia Wirasti), si bungsu di Keluarga Yan.

Yang menjadi incaran Satria dan Hasan adalah proyek pembangunan pelabuhan yang dirancang oleh instansi tempat Yan bekerja. Kepada sang ayah, Satria terus terang meminta proyek besar itu. Namun, Yan yang dikenal sebagai birokrat bersih tegas menolak permintaan Satria. Pendirian Yan tidak goyah meskipun Satria mencoba menyentil peran seorang ayah yang seharusnya membantu anaknya.

“Ayah minta tolong saya, saya tolong Ayah. Ayah bilang “tolong Firman”, saya bantu Firman. Saya orang yang tepat, kita keluarga yang bermartabat kok. Masalahnya sekarang adalah, di saat ada kesempatan maju untuk saya, kenapa itu enggak dari ayah saya sendiri?" ujar Satria.

Singkat cerita Satria berhasil mendapatkan proyek besar itu. Satria dan Hasan serta dua koleganya bersuka cita. Tetapi, keberhasilan Satria tidak gratis. Dia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pejabat/instansi terkait, termasuk Himawan (Arswendi Nasution), atasan Yan. Lalu, Satria mengajak Firman yang berstatus pengangguran, untuk mengantar uang suap.

Kabar tentang Satria mendapat proyek pembangunan pelabuhan akhirnya beredar di kantor Yan. Sejumlah kolega dan staf menuduh Yan berperan dalam memuluskan jalan Satria mendapatkan proyek itu. Tuduhan itu sangat mengganggu Yan, sehingga dia memutuskan untuk mengundurkan diri.

Meskipun sempat merasa tidak enak begitu mengetahui ayahnya mundur, Satria tetap meneruskan petualangan korupsinya. Firman semakin sibuk mengantar uang kemana-mana, tanpa menyadari dirinya mulai dipantau aparat KPK. Hasan bersamaan dengan kesibukannya mempersiapkan pernikahan dengan Dian, juga terus melakukan lobi-lobi politik.

Ratna dan Nenek Soen mulai memiliki firasat buruk. Nenek Soen bahkan menyebut Satria sebagai ‘bom waktu’ yang rentan menimbulkan masalah. Namun, aksi Satria dan Firman tetap tak terhadang. Yan dan Ratna selaku orang tua, terkesan pasrah dan tidak berbuat apa-apa. Apalagi, masalah-masalah lain mulai bermunculan menimpa keluarga Yan.

Setelah mundur dari pekerjaan, Yan justru banyak menghabiskan waktu dengan Jaka (Agus Ringgo Rahman), supir sekaligus asisten pribadinya.

"Anak itu berubah, menjadi kepribadiannya sendiri, bukan lagi bagian dari orang tuanya. Seperti kata Kahlil Gibran, Anakmu Bukan Milikmu," ujar Yan kepada Jaka, menyiratkan kepasrahan.  

Akhir cerita film ini sebenarnya dengan mudah dapat ditebak. Sebagai film yang terang-terangan mengusung misi anti korupsi plus dukungan nyata dari KPK, film “Sebelum Pagi Terulang Kembali” tentunya tidak akan mengetengahkan akhir cerita yang pro pada koruptor.

Terlepas dari ending-nya, pesan yang ingin disampaikan film “Sebelum Pagi Terulang Kembali” wajib diresapi oleh masyarakat Indonesia. Bahwa, penyakit korupsi itu tidak pandang bulu. Korupsi bisa terjadi dimana saja, bahkan di keluarga seorang birokrat bersih –atau ‘keluarga baik-baik’, meminjam istilah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto- sekalipun seperti keluarga Yan.

Selain pesan, film ini sepertinya juga memberikan pekerjaan rumah penting kepada keluarga Indonesia. Bahwa, virus atau semangat anti korupsi wajib ditularkan ke pihak-pihak lain agar muncul efek domino yang dahsyat untuk memberantas korupsi. Virus atau semangat anti korupsi hanya akan menjadi ‘macan ompong’ jika dipendam seorang diri.

Sebagai awal, kenapa tidak Anda tularkan virus anti korupsi ke keluarga dengan menonton film “Sebelum Pagi Terulang Kembali” bersama-sama.
Tags:

Berita Terkait