OJK Susun Kebijakan Ketahanan dan Daya Saing Perbankan
Berita

OJK Susun Kebijakan Ketahanan dan Daya Saing Perbankan

Agar perbankan nasional bisa bersaing dengan perbankan negara lain menyambut berlakunya MEA.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
OJK Susun Kebijakan Ketahanan dan Daya Saing Perbankan
Hukumonline
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun kerangka kebijakan mengenai ketahanan dan daya saing perbankan nasional. Deputi Komisioner bidang Pengawasan Perbankan OJK, Mulya E Siregar, mengatakan kebijakan tersebut bertujuan mewujudkan sistem perbankan yang efisien, sehat dan stabil.

“Serta mendorong pertumbuhan ekonomi kelanjutan dan lebih terasa melalui pembiayaan yang aman dan terjangkau sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya dalam peluncuran hasil survei Price Waterhouse Cooper (PwC) Indonesia di Jakarta, Rabu (14/5).

Menurutnya, ada tiga aspek yang akan difokuskan dalam kebijakan ini. Pertama, terkait efisiensi dan kontribusi terhadap perekonomian. Kedua, mengenai governance untuk mengurangi risiko dan ketiga terkait kapasitas permodalan. Seluruh aspek ini akan dilakukan melalui pendekatan regulasi dan pengawasan terintegrasi oleh OJK.

“Kita harus sadari ada 31 konglomerasi dan yang sangat signifikan adalah 16 konglomerasi perbankan, inilah yang harus kita awasi dengan baik dengan integrated supervision,” ujarnya.

Kebijakan ini, lanjut Mulya, diharapkan dapat mendukung perbankan nasional dalam menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melalui Qualifed ASEAN Bank (QAB) yang terkait rencana integrasi standarisasi perbankan ASEAN atau ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Agar perbankan nasional masuk QAB, maka perlu ada daya saing yang tinggi dengan bank di regional maupun internasional.

Selama ini, perbankan di Indonesia banyak yang memiliki modal yang terbatas dan pangsa pasar yang dikuasai oleh segmen tertentu sehingga terjadi ketidakseimbangan antara bank di kelompok besar dengan bank di kelompok kecil. Atas dasar itu, OJK terus mendorong terjadinya konsolidasi perbankan dengan tujuan memiliki permodalan yang kuat.

Hingga kini, Indonesia belum sepakati ABIF. Salah satu alasannya karena perbankan nasional dianggap belum bisa bersaing dengan perbankan luar negeri baik dari sisi permodalan aset maupun kapitalisasi pasar. OJK khawatir tanpa ada persiapan daya tahan yang baik di perbankan nasional, ke depan perbankan Indonesia akan kalah saing dengan bank negara  lain.

“Artinya kalau semua negara sudah mempunyai empat bank di Indonesia, sementara Indonesia tidak punya bank di negara lain, maka ibaratnya main bola sudah empat gol kita kebobolan, masa kita tidak ngegolin satupun di negara lain,” ucapnya.

Untuk mendukung penerapan ABIF, Indonesia juga terus mencoba untuk terealisasinya asas resiprokal. Tujuan asas ini agar terdapat pemberlakuan yang sama antara di Indonesia dengan di negara lain. “Ini resiprokal yang sedang diperjuangkan. Bukan berarti kita menuntut 400 kantor cabang atau 400 ATM di luar, tidak, tapi proporsional. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh OJK dan BI,” katanya.

Financial Services Partner PwC Indonesia, M Jusuf Wibisana, mengatakan tantangan terbesar dalam pengelolaan risiko perbankan di 2014 terdapat pada risiko kredit dan likuiditas. Tantangan ini diperoleh PwC dalam hasil surveinya. “
Dalam survei kami, para responden menyebut risiko kredit dan risiko likuiditas sebagai dua hal yang menjadi tantangan terbesar dalam upaya pengelolaan risiko di 2014,” katanya.

Agar perbankan bisa mengatasi tantangan tersebut, lanjut Jusuf, adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengendalikan dan mengelola kredit. Ia mengatakan, terdapat tiga inisiatif utama untuk mengendalikan dan mengelola risiko kredit.

Ketiga inisiatif tersebut adalah memperbaiki proses persetujuan kredit, membatasi pemaparan risiko terhadap industri tertentu dan memperbaiki sistem peringatan dini.
Tags:

Berita Terkait