Komnas HAM Bentuk Inkuiri Masyarakat Hukum Adat
Berita

Komnas HAM Bentuk Inkuiri Masyarakat Hukum Adat

Untuk menyelesaikan kasus HAM yang menimpa masyarakat hukum adat secara komprehensif.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM Bentuk Inkuiri Masyarakat Hukum Adat
Hukumonline
Komnas HAM membentuk inkuiri nasional tentang hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Menurut Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Siane Indriani, pembentukan inkuiri nasional diputuskan lewat sidang paripurna Komnas HAM. Hak masyarakat hukum adat adalah salah satu prioritas Komnas HAM.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, sengketa lahan banyak menimpa masyarakat hukum adat. Dari tahun ke tahun pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan sengketa lahan cenderung meningkat. Pada 2013 lebih dari 1.400 pengaduan ke Komnas HAM berkaitan dengan konflik agraria. Sengketa lahan atau konflik agraria menempati posisi kedua tertinggi setelah kekerasan oleh aparat.

Penyelesaian sengketa lahan cenderung lebih rumit karena kewenangan yang dimiliki Komnas HAM terbatas. Apalagi sengketa melibatkan aparat pengambil kebijakan baik di daerah dan pusat. Kondisi itu diperparah oleh proses politik transaksional seperti transaksi antara pemegang kekuasaan dan pemilik modal. "Akibatnya masyarakat hukum adat semakin tersingkirkan, ini fakta," kata Siane, Selasa (20/5).

Permasalahan sengketa lahan tidak dapat diselesaikan sendiri pemerintah baik di daerah dan pusat. Masyarakat harus berperan aktif dalam menyelesaikan konflik “Inkuiri nasional akan kita lakukan sembilan bulan ke depan. Ini menjadi titik uji coba yang mudah-mudahan dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus HAM yang sulit dipecahkan,” paparnya.

Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, menjelaskan inkuiri adalah metode yang dikembangkan Komnas HAM yang ada di wilayah Asia Pasifik. Dapat dikatakan inkuiri sebagai model investigasi partisipatif yaitu merumuskan solusi bersama para korban.

Inkuiri nasional ini, dikatakan Sandra, merupakan pertama kali dilaksanakan Komnas HAM. Lewat inkuiri nasional, investigasi masalah HAM bukan lagi dituntaskan kasus per kasus tapi sistemik. Tentu saja investigasi itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat umum dan para ahli. Setelah inkuiri dilaksanakan, hasilnya adalah rekomendasi yang dilayangkan kepada pihak terkait seperti pemerintah.

Selain itu Sandra menegaskan secara semantik inkuiri berarti penyelidikan. Tapi inkuiri nasional yang dibentuk Komnas HAM bukan penyelidikan yang bersifat pro yustisia. “Memang tidak diarahkan untuk ke pengadilan,” ucapnya.

Sandra mengingatkan masyarakat hukum adat diakui konstitusi, sehingga punya kedudukan sebagai subjek hukum. Tapi praktiknya, status masyarakat hukum adat itu seringkali diabaikan pemerintah. Misalnya, Kementerian Kehutanan menetapkan 60 persen hutan di Indonesia sebagai kawasan hutan. Sayangnya, penetapan kawasan hutan itu tidak melibatkan masyarakat.

Sandra melihat dalam pidato Presiden dan pejabat negara lainnya, pemerintah mengakui kekeliruan karena tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Ironisnya, hal itu hanya retorika, belum menyentuh pada penerbitan kebijakan yang melindungi masyarakat hukum adat. Bahkan pemerintah sampai saat ini belum maksimal menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada putusan itu MK menyatakan hutan adat bukan milik negara.

Atas dasar itu dengan dibentuknya inkuiri nasional Sandra menyebut Komnas HAM berupaya membantu pemerintah untuk memahami masalah HAM secara komprehensif. Kemudian, mampu merumuskan kebijakan nasional yang didasari prinsip penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.

Mantan hakim MK, Ahmad Sodiki, menyebut hak adat diakui UUD 1945, terutama pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (3). Ini membuktikan negara punya kewajiban untuk melindungi hak adat. Mengingkari hak masyarakat hukum adat berarti mengingkari Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. “Hak adat itu hak konstitusional,” ujarnya.

Walau konstitusi telah menjamin posisi masyarakat adat, Sodiki menjelaskan tidak jarang peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak selaras. Misalnya, UU Kehutanan, yang kemudian sebagian materinya dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Sodiki berpendapat pengingkaran terhadap hak adat bisa disebabkan beberapa kepentingan tertentu yang diakomodasi pembentuk Undang-Undang. Misalnya kepentingan ingin mengambil hutan adat untuk kepentingan bisnis. “Seperti dikatakan hutan adat itu milik negara, padahal masyarakat hukum adat dan negara adalah dua subjek hukum terpisah,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait