Pembahasan Revisi UU PSK Perlu Libatkan Saksi dan Korban
Berita

Pembahasan Revisi UU PSK Perlu Libatkan Saksi dan Korban

Selain membuka ruang partisipasi, juga merasakan suasana kebatinan dari para saksi dan korban.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pembahasan Revisi UU PSK Perlu Libatkan Saksi dan Korban
Hukumonline
Secara resmi pemerintah dan DPR telah sepakat melakukan pembahasan Revisi UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Dalam pembahasan RUU tersebut, pemerintah dan DPR diminta melibatkan saksi dan korban dalam berbagai kasus tindak pidana. Hal itu disampaikan Anggota Koalisi Perlindungan Saksi, Supriyadi Widodo Eddyono.

Supriyadi mengatakan, dalam pembahasan, pemerintah dan DPR harus melakukan sosialisasi. Selain itu, membuka ruag partisipasi masyarakat luas, terutama bagi para saksi dan korban, baik secara idividual maupun kelompok dan organisasi.

Supriyadi berpendapat, fakta di lapangan sosialisasi terhadap rencana pemerintah untuk melakukan revisi belum banyak diketahui publik. Itu sebabnya, dengan membuka  ruang memberikan masukan dan pandangan dari masyarakat, setidaknya akan memperkaya pembahasan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban.

“Setidaknya para korban mengetahui pokok-pokok perubahan,” ujarnya.

Tak kalah penting, masyarakat juga berhak mendapatkan akses naskah akademis serta sejumlah pasal yang akan direvisi. Pasalnya, dengan sejumlah dokumen naskah akademis dan draf RUU, nantinya masyarakat dapat memberikan masukan secara konprehensif. Ia berharap pembahasan revisi UU tersebut dilakukan secara terbuka mengingat revisi UU terkait dengan penegakan hukum dalam rangka membongkar kasus tindak pidana.

SUpriyadi yang juga menjabat Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu mengatakan, masyarakat terutama organisasi korban dan saksi perlu diberitahu tentang pembahasan revisi UU tersebut. Ia berpandangan, para korban dan saksi merupakan pihak terpenting untuk memberikan masukan.

“Tanpa partisipasi mereka (korban atau saksi), maka pembahasan undang-undang ini akan kurang berbobot,” ujarnya.

Anggota Koalisi Perlindungan Saksi lainnya, Zainal Abidin menambahkan banyaknya organisasi korban dan pendamping korban yang perlu mendapat informasi terkait revisi UU tersebut. Ia berharap Komisi III mengundang para saksi korban, maupun organisasi pendamping saksi korban untuk memberikan masukan dalam pembahasan.

Menurutnya, dengan mendapat masukan dari masyarakat khususnya organisasi maupun lembaga swadaya masyarakat yang concern akan pendampingan, pembahasan akan terasa lebih maksimal.

“Dengan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat atas pembahasan di  DPR sambil mensosialisasikan dan menerima masukan dari para saksi dan korban, serta keluarga mereka,  akan dapat membantu DPR untuk memperkuat  pembahasan RUU ini,” ujar Zainal yang juga menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam).

Anggota Komisi III Harry Witjaksono mengamini pandangan Supriyadi dan Zainal. Menurutnya, masukan dari kalangan saksi korban, saksi pelapor maupun organisasi sangat dibutuhkan. Harry mengklaim telah mewacanakan hal tersebut di komisinya. Pasalnya, mereka para saksi korban, saksi pelapor merupakan pihak yang merasakan di lapangan.

“Karena kita juga harus merasakan suasana batin dari saksi korban, saksi pelapor, sehingga kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan, ujarnya.

Menurutnya, masukan dari berbagai pihak menjadi pemacu dalam rangka perbaikan dan penguatan pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Harry berpendapat, di Indonesia perhatian terhadap saksi dan korban tidak maksimal. UU Perlindungan Saksi dan Korban yang ada saat ini dinilai sebatas tataran normatif.

“Sehingga tidak dikejawantahkan yang seharusnya konkrit. Contoh, kita belum punya save house, walaupun katanya ada. Tapi situasi ini bukan saja rumah, tapi juga harus didukung oleh infrastruktur dan aparat untuk menjaga,” katanya.

Politisi Partai Demokrat itu berharap, pasca revisi UU tersebut LPSK sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban harus bekerja lebih konkrit dalam arti sesungguhnya. Tidak lagi semata di tataran normatif.

“Jadi polisi dan penegak hukum lainnya seperti polisi membantu melakukan penjagaan terhadap save house,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait