Koalisi Beri Masukan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban
Utama

Koalisi Beri Masukan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban

Mulai aturan restitusi dan konpensasi bagi korban pelanggaran HAM berat, hingga pelarangan pembalasan hukuman maksimal terhadap whistleblower.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Sejumlah masukan dalam pembahasan revisi UU No.13 Tahun 2006 tentang Perindungan Saksi dan Korban (PSK) diberikan Koalisi Perlindungan Saksi  kepada DPR. Mulai bantuan medis, konpensasi dan restitusi hingga penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sejumlah pasal krusial dalam revisi UU PSK telah dilakukan analisa oleh Koalisi.

“Pasal-pasal krusial tersebut harus diperbaiki karena berpotensi melemahkan hak-hak saksi termasuk korban, pelapor dan pelaku kolaborator,” ujar anggota Koalisi Perlindungan Saksi, Zainal Abidin di Gedung DPR, Rabu (21/5).

Sejumlah pasal krusial antara lain, mengenai hak korban. Menurut Zainal, bantuan medis dan psikososial secara definitif hanya diperuntukan bagi pelanggaran HAM berat. Terbatasnya aturan terhadap korban yang mendapat bantuan medis serta rehabilitasi psikososial, ternyata mengabaikan hal korban kejahatan lainnya. Padahal, korban kejahatan lainnya perlu mendapatkan hak yang sama. Misalnya, korban kejahatan seksual, penyiksaan, dan pembunuhan.

Prinsipnya, kata Zainal, koalisi sependapat dengan pemerintah agar bantuan medis serta psikososial diberikan pula kepada korban kejahatan terorisme. Namun sejatinya, korban kejahatan penyiksaan, seksual dan kejahatan lainnya berhak mendapatkan hak yang sama.

“Korban kejahatan lain yang menghadapi dampak yang sama dengan kejahatan-kejahatan tersebut berhak mendapat bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis,” ujarnya.

Zainal yang juga menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) itu menambahkan, aturan konpensasi masih jauh dari standar HAM. Padahal, instrumen HAM internasional maupun regional telah mengaturnya. Berbagai instrumen HAM internasional menyatakan bahwa konpensasi semestinya diberikan kepada korban pelanggaran HAM berat tanpa melihat apakah pelaku diadili ataupun dihukum.

Menurut Zainal, sepanjang diketahui adanya korban dan terbukti adanya perbuatan melakukan pelanggaran HAM, maka konpensasi wajib diberikan kepada korban. Dikatakan Zainal, konpensasi merupakan kewajiban yang harus diberikan negara  terhadap korban pelanggaran HAM dengan melakukan pembayaran secara tunai. Konpensasi juga dapat diberikan dalam bentuk lain, misalnya perawatan kesehatan mental, fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah.

“Seharusnya, pengertian konpensasi itu diberikan kepada korban bukan karena pelaku tidak mampu, tetapi susdah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengakibatkan adanya korban,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform(ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menambahkan penegakan hukum restitusi dinilai masih kurang memadai. Termasuk, peran aparat penegak hukum. Oleh karena itu, DPR wajib memuat perampasan aset pelaku yang diperuntukan pembayaran restitusi. Menurutnya, Revisi UU PSK harus memuat hukuman tambahan bagi pelaku yang tidak membayarkan restitusi.

Supriyadi berpendapat revisi UU No13 Tahun 2006 juga harus memuat tanggungjawab penuntut umum agar memasukan restitusi dalam tuntutan. Selain itu, tanggungjawab hakim pengadilan agar tidak menolak permohonan restitusi yang diajukan korban harus dimuat dalam revisi UU tersebut.

“Harus memuat tugas JPU sebagai perampas aset pelaku, juga sebagai eksekutor pembayaran restitusi,” ujarnya.

Supriyadi menuturkan, perlunya aturan mekanisme pemberian reward dari negara atas laporan pengungkapan yang dilakukan whistleblower. Reward dapat berupa uang, maupun bentuk lainnya. Selain itu, perlu dimasukan soal menjaga kerahasiaan identitas whistleblower.

Tak kalah penting, adanya pembatasan atas pembalasan. Menurutnya perlunya aturan larangan pembalasan terhadap whistleblower dengan ancaman hukuman maksimal. Dengan kata lain, seorang whistleblower hanya diganjar hukuman tidak maksimal.

“Tindakan atau perintah pengadilan yang melarang perbuatan pembalasan terhadap whistleblower,” ujarnya.

Supriyadi melanjutkan, koalisi juga meminta agar DPR memasukan ketentuan perlindungan terhadap pelaku yang bekerjasama, dalam memberikan kesaksian tanpa hadir di pengadilan tempat perkara diperiksa.

Kemudian, kesaksian tertulis disampaikan di hadapan pejabat berwenang, penundaan penuntutan atas dirinya, hingga penundaan proses hukum yang dimungkinkan timbul lantaran informasi yang diberikan. Selain itu, menggunakan nama yang berbeda untuk saksi yang sudah berstatus narapidana.

“Masih besarnya peran hakim dalam memastikan pengurangan hukuman atau keringanan hukuman dari tuntuan penuntut umum,” ujarnya.

Anggota Komisi III Adang Daradjatun memberikan apresiasi kepada koalisi. Menurutnya, masukan dari koalisi amatlah lengkap. Masukan koalisi sama halnya dengan apa yang menjadi keinginan dari pemerintah dan DPR.

“Posisi paper koalisi ini bagus dan semua yang kita bicarakan masuk semua. Proses peradilan yang komprehensif ini menjadi cita-cita kita melalui LPSK, saya apresiasi,” ujar politisi PKS itu.

Anggota Komisi III lainnya, A Riski Sadiq menambahkan, masukan koalisi dalam rangka memperkuat proses peradilan dan pemberian hak bagi korban dan saksi. Mulai perlindungan, hingga pemberian restitusi dan konpensasi.

“Insya Allah apa yang disampaikan ke kita itu senyawa dan kita kawal prosesnya. Wacana dan item-itemnya sudah kita bicarakan dengan pemerintah,” pungkas politisi PAN itu.
Tags:

Berita Terkait