RUU Hak Cipta Usung Konsep One Stop Shop
Utama

RUU Hak Cipta Usung Konsep One Stop Shop

Ditjen HKI akan mencabut izin pendirian LMK bila ketahuan abal-abal.

Oleh:
HAPPY RAYNA STEPHANY
Bacaan 2 Menit
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Foto: SGP.
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Foto: SGP.
Direktur Hak Cipta, Desan Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Kemenkumham, Yuslisar Ningsih  mengatakan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta (RUU HC) mengusung konsep One Stop Shop sebagai solusi dari kesemrawutan tentang Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

“RUU HC menganut prinsip One Stop Shop dalam penarikan royalti nanti,” ucap Yuslisar dalam seminar nasional Efektivitas Perlindungan Hak Cipta dan Perbandingan UU Nomor 19 Tahun 2002 dengan RUU Hak Cipta di Universitas Trisakti, Rabu (21/5).

Konsep One Stop Shop ini diusung karena melihat fenomena LMK di Indonesia. Banyaknya lembaga pemungut tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan para pengguna hak cipta. Pengumpul royalti dari pengguna hak cipta sering tumpang tindih. Satu pengguna dapat diminta membayar royalti berkali-kali oleh LMK sesuai dengan jenis musik yang digunakan. Hal ini dinilai tidak efisien.

Beberapa lembaga kolektif di bidang musik adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang berfungsi memungut royalti atas pengumuman karya musik masyarakat dan penggandaan atas karya musik; Royalti Musik Indonesia (RMI) berfungsi untuk menarik royalti khusus untuk musik dangdut dan memiliki anggota terbatas; dan Performer’s Rights Society of Indonesia (PRISINDO) yang menarik royalti untuk Hak Terkait yaitu untuk pelaku pertunjukan. Sedangkan lembaga manajemen kolektif di bidang karya tulis adalah The Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI).

Selain itu, isu transparansi juga menjadi sebab lahirnya konsep One Stop Shop ini. Yuslisar mengatakan selama ini perhitungan royalti yang dibebankan kepada pengguna tidak terbuka. Begitu juga dengan pemegang hak cipta. LMK tidak transparan dalam menghitung jumlah royalti yang diterima oleh pemegang hak cipta.

“Praktek ini tidak adil,” lanjutnya. 

Agung Damarsasongko, Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, DTLST, dan Rahasia Dagang menambahkan konsep ini mengakibatkan sejumlah LMK tersebut untuk membuat satu LMK Sentral sebagai penarik royalti dari para pengguna hak cipta tersebut.

Artinya, jika sebelumnya LMK-LMK yang ada berhak menarik secara langsung royalti tersebut dari para pengguna, di RUU HC ini hal tersebut tidak dibenarkan lagi. Para LMK tersebut akan memberikan daftar-daftar anggotanya kepada LMK Sentral dan LMK Sentrallah yang memungut royalti yang kemudian didistrubusikan kembali ke LMK-LMK yang bernaung di LMK Sentral tersebut.

LMK Sentral ini nantinya akan dibuat sesuai dengan satu jenis ciptaan. Contohnya, satu jenis LMK Sentral untuk karya musik dan satu jenis LMK lagi untuk karya cipta di bidang buku. Kemudian, sistem pembayaran royalti tidak menggunakan sistem pembayaran tahunan, tetapi dengan sistem berapa banyak lagu yang diputar atau dinyanyikan oleh pengguna hak cipta.

Untuk mendukung konsep ini, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) tengah membangun software yang dapat mengetahui berapa kali sebuah lagu dinyanyikan di rumah karaoke sehingga asas transparansinya dapat dijalankan. Sebab, dengan software tersebut, pengguna hak cipta dapat membuktikan berapa banyak lagu yang dinyanyikan dengan memprint-out data-datanya.

Agung juga menambahkan mengenai asas transparansi ini. Melalui sistem One Stop Shop ini, setiap LMK akan diminta melakukan audit dan hasil auditnya pun harus dilaporkan ke Ditjen HKI. Jika hasil audit tersebut disinyalir merugikan para pengguna hak cipta, izin pendirian LMK-nya akan dicabut.

“Kalau hasilnya banyak merugikan para pencipta, izin LMK-nya dicabut karena semuanya harus transparan,” tukas Agung.

Ketua YRCI, Kartini Nurdin mengatakan meskipun saat ini LMK di bidang buku baru satu-satunya dipegang YRCI, Kartini melihat konsep ini cukup menarik jika konsep One Stop Shop dipisah-pisahkan sesuai dengan bidang ciptaannya. Sebab, karya cipta yang satu dengan yang lain tersebut memiliki kekhasan yang berbeda. Kendati demikian, Kartini tetap menekankan pada sistem administrasi yang baik. Jika sistem administrasi LMK Sentral tersebut tidak baik, juga akan menimbulkan masalah.

“Sistem administrasinya harus baik, jika tidak akan kacau juga,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait