MA Emoh Menerima Kewenangan Sengketa Pilkada
Berita

MA Emoh Menerima Kewenangan Sengketa Pilkada

MK dianggap sudah “melempar handuk”.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
MA <i>Emoh</i> Menerima Kewenangan Sengketa Pilkada
Hukumonline
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur mengatakan perlunya pembentukan sebuah badan baru yang memiliki kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pernyataan ini dia sampaikan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pilkada. MK menyatakan bahwa dirinya tak lagi berwenang mengadili sengketa pilkada (pemilukada), lalu menyerahkan kepada DPR untuk menentukan lembaga yang tepat menangani sengketa ini.

“MK kan sudah melempar handuknya. Saya sih kurang setuju kalau ada pendapat bahwa MK tak berwenang mengadili sengketa pilkada. Lalu, perkara (sengketa pilkada,-red) yang seratus lebih telah diputus itu bagaimana? Apakah karena penumpukan perkara yang banyak, (MK,-red) jadi lempar handuk,” ujarnya di sela-sela sebuah seminar di Jakarta, Kamis (22/5).

Lebih lanjut, Ridwan menyatakan tidak sependapat bila perkara-perkara sengketa pilkada diserahkan ke pengadilan di bawah MA. “Kami sudah selesaikan pidana pemilu banyak sekali. Itu kan memakan massa yang banyak. Coba bayangkan ada massa banyak di pengadilan yang kecil dirubung oleh demonstran,” ujarnya.

Sementara, lanjut Ridwan, posisi MK secara letak sudah memungkinkan karena berada di ibukota. “Di MK kan beberapa pleton itu pengamanannya. Coba bayangkan itu terjadi di pengadilan negeri. Sulit di era saat ini, apalagi gerakan massa yang sangat masif,” ujarnya.

Lalu, bagaimana bila DPR dan pemerintah membentuk undang-undang yang menyerahkan kewenangan sengketa pilkada ini ke MA dan peradilan di bawahnya?

Ridwan mengatakan MA akan memikirkan hal itu. “Nanti kita pikirkan lagi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ridwan menuturkan di era sebelumya, sengketa pilkada memang diselesaikan di pengadilan negeri (PN). Namun, ia mengatakan kondisi saat ini berbeda, karena sekarang pengadilan negeri juga sudah diberi kewenangan mengadili pidana pemilu dan PTUN mengadili sengketa administrasinya. “Saya kira sudah cukup itu,” ujarnya. 

Ridwan khawatir bila sengketa pilkada ini diserahkan ke pengadilan negeri maka pekerjaan mereka akan menumpuk. “Akan menumpuk lagi pekerjaan di PN dengan hakim terbatas. Harus dipikirkan infrastruktur dan personil hakimnya,” jelas Ridwan.

Meski begitu, Ridwan memiliki usulan agar sengketa pilkada ini diserahkan ke sebuah badan baru yang khusus menangani sengketa pemilu. “Mari kita pikirkan jangan selesaikan itu semua di pengadilan. Kita kan sudah banyak memiliki badan penyelesaian sengketa, misalnya sengketa konsumen dll,” ujarnya.

Ridwan menjelaskan badan ini bisa bersifat temporer. Bila usulan ini diterima, lanjut Ridwan, maka perlu ada regulasi agar pilkada se-Indonesia –khususnya pilkada Bupati dan Walikota- dilaksanakan secara serentak.

Sebelumnya, mantan Ketua MA Bagir Manan juga berpendapat senada terkait perlunya sebuah badan khusus yang menangani sengketa pilkada ini. “Saya termasuk yang menganjurkan lebih baik dibuat lembaga khusus saja. Jadi lembaga itu menyelesaikan secara khusus sengketa pemilukada. Sebab, pemilukada kan ada unsur politik dan macam-macamnya. Sama saja nanti kalau dibawa ke MA lagi, ada penyakit lagi,” kata Bagir.

Sekadar mengingatkan, penangangan sengketa pilkada awalnya ditangani oleh MA dan peradilan di bawahnya. Pasalnya, MK hanya diamanatkan menangani sengketa pemilihan umum (legislatif dan presiden) sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sedangkan, pilkada di dalam UUD 1945 tidak masuk ke dalam rezim pemilu, tetapi rezim pemerintahan daerah.

Namun, dalam perkembangannya, tafsir ini berubah. DPR dan Pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2008 yang menyerahkan kewenangan itu kepada MK. Dan uniknya, setelah enam tahun menangani sengketa pilkada, MK memutuskan bahwa dirinya tidak berwenang mengadili sengketa pemilukada.
Tags:

Berita Terkait