Jalan Terjal Penguatan Perlindungan Saksi Korban
Fokus

Jalan Terjal Penguatan Perlindungan Saksi Korban

Mulai penguatan jaminan keamanan whistleblower dan justice collabolator, kompensasi, restitusi, dan serta kelembagaan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Jalan terjal para saksi dan korban sebuah tindak pidana dalam upaya mendapatkan perlindungan dari negara kerap berliku. Saksi dan korban acapkali khawatir memberikan keterangan di tingkat penyidikan maupun di pengadilan. Boleh jadi, dampak dari keterangan yang diberikan berakibat fatal terhadap diri dan keluarganya. Oleh sebab itu dibutuhkan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam membongkar sebuah perkara tindak pidana untuk memperoleh kebenaran dan keadilan.

Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, pengungkapan keterangan oleh saksi dan korban di tingkat penyidikan maupun persidangan amat diperlukan. Meski telah berlaku UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK), toh faktanya perlindungan yang diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dinilai belum maksimal.

Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya kewenangan LPSK, mulai dari perlindungan terhadap saksi pelapor (whistleblower) hingga saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (justice collabolator). Jika merujuk pada KUHAP, justice collabolator memberikan keterangan di persidangan. Hanya saja, mereka berstatus terdakwa dalam kasus yang sama. Lazimnya, biasa disebut sebagai saksi mahkota.

Jika merujuk pada Pasal 10 ayat (1) UU No.13 Tahun 2006 menyebutkan “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. Namun pada faktanya, saksi maupun whistleblower sebagai ‘peniup peluit’ kerap mendapat perlakuan yang kurang maksimal.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan, banyaknya kasus tindak pidana yang tidak terungkap disebabkan saksi dan korban yang takut mengungkap peristiwa sebenarnya. Menurutnya, sejak diberlakukan UU No.13 Tahun 2006, LPSK kerap menemukan berbagai kendala signifikan dalam pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Berbagai temuan di lapangan itulah yang mendorong segera dilakukan penyempurnaan terhadap UU tersebut.

Sejumlah substansi pokok dalam revisi UU tersebut berupa penyelerasan sesuai dengan peraturan dan perundangan dan hukum internasional. Misalnya, perluasan hak saksi dan korban. Hal lainnya, subyek saksi diperluas meliputi justice collabolator, dan whistleblower.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menambahkan, secara umum, revisi UU tersebut terkait dua substansi besar. Pertama, adanya kekurangan aturan terhadap whistleblower serta justice collabolator. Kedua, terkait dengan kelembagaan LPSK.

Semendawai berpandangan dengan minimnya aturan perlindungan terhadap whistleblower dan justice collabolator maka dibutuhkan revisi UU PSK. Langkah itu diperlukan agar ada jaminan mengikat yang diberikan negara melalui LPSK kepada whistleblower dan justice collabolator. 

Aturan tersebut berupa mekanisme perlindungan, jenis perlindungan yang diberikan LPSK, bentuk perlakuan khusus terhadap whistleblower dan justice collabolator. Tak kalah penting, bentuk reward yang diberikan kepada whistleblower dan justice collabolator.

Hal itu penting dituangkan dalam revisi UU PSK agar mereka yang memiliki informasi tindak pidana, dalam kaitannya justice collabolator terdorong membongkar suatu tindak pidana dan bekerjasama dengan penegak hukum.

“Nah itu belum ada di UU No.13 Tahun 2006 yang sekarang dan harus direvisi. Karena itu orang semacam ini harus diberikan perlindungan maksimal dan harus diatur dalam UU,” katanya.

Substansi kedua, terkait kewenangan kelembagaan LPSK. Dikatakan Semendawai, keberadaan pejabat setingkat eselon I sebagai pengelola kesekretariatan LPSK menjadi persoalan. Pasalnya, berdampak pada pengelolaan anggaran, rekruitmen pegawai, dan pembinaan pegawai. Selama ini, sekretariat LPSK dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II.

Idealnya, kata Semendawai, pejabat eselon satu selaku Sekretariat Jenderal (Sekjen) atau Sekretaris Utama (Sestama). Menurutnya, dengan dipimpin oleh pejabat eselon dua, maka tidak dapat melakukan pengelolaan anggaran secara mandiri. Sebaliknya, LPSK mesti menumpang dengan lembaga maupun kementerian lain, yakni Kementerian Sekretariat Negara.

“Ini implikasinya banyak, mulai rekruitmen SDM, pengelolaan anggaran. Padahal sebagai suatu lembaga mandiri kita harus independen dan tidak bergantung dengan lembaga lain, yakni Setneg,” ujarnya.

Dalam rangka itulah, LPSK mengajukan peningkatan eselonisasi ke kementerian dan DPR. Parlemen dimungkinkan memberikan persetujuan. Pasalnya, DPR kerap mengalami kesulitan. Sebab, Kementerian Setneg merupakan mitra kerja komisi II. Akibatnya, acapkali menjadi persoalan ketika melakukan rapat kerja tekait pembahasan anggaran. Sedangkan LPSK mitra kerja komisi III.

“Sudah disetujui kementerian dan DPR kemungkinan akan memberikan persetujuan peningkatan eselonisasi,” ujarnya.

Anggota Komisi III Harry Witjaksono mengatakan, penguatan secara kelembagaan terhadap LPSK menjadi penting. Pasalnya, akan berdampak pada pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban. Penambahan SDM di LPSK menjadi penting lantaran meningkatnya permohonan permintaan perlindungan saksi dan korban tiap tahunnya.

Jaminan keamanan yang lebih kuat
Semendawai mengatakan, jaminan keamanan secara fisik dan psikologi terhadap whistleblower maupun justice collabolator menjadi hal utama dalam pemberikan kesaksian di persidangan. Menurutnya, perlakuan terhadap justice collabolator misalnya memisahkan berkas dengan tersangka atau terdakwa lainnya.

Kemudian, kasusnya diajukan belakangan setelah pelaku utama disidangkan. Namun pada praktiknya, justice collabolator justru disidangkan terlebih dahulu ketimbang pelaku utama. “Padahal seharusnya pelaku yang perannya ringan duluan menjadi saksi, dan pelaku utama diuproses lebih dulu. Itu treatment-treatment seperti itu yang harus dilakukan,” ujarnya kepada hukumonline.

Dalam rangka memberikan perlakuan terhadap saksi, Mahkamah Agung kala itu  menerbitkan aturan internal bagi hakim dalam menangani perkara di pengadilan, yang diperuntukan perlakukan terhadap saksi. Aturan tersebut berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2001 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana tertentu.

Anggota Koalisi Perlindungan Saksi, Supriyadi Widodo Eddyono, menambahkan perlunya aturan mekanisme yang mengatur pemberian reward dari negara atas pengungkapan yang diberikan whistleblower. Reward tersebut dapat berupa materi maupun bentuk lainnya. Menjaga kerahasian identitas whistleblower menjadi hal penting yang harus dilakukan oleh LPSK.

Reward juga diberikan kepada justice collabolator. Misalnya, meringankan hukuman terhadap seseorang justice collabolator yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka membongkar sebuah kasus tindak pidana di pengadilan. “Masih besarnya peran hakim dalam memastikan pengurangan hukuman atau keringanan hukuman dari tuntutan penuntut umum,” imbuhnya.

Terkait dengan kompensasi, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2008 sebagai penjabaran UU No.13 Tahun 2006. Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2008 tentang Pemberian Konpensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan korban. Aturan tersebut antara lain mengatur persyaratan pemberian konpensasi. Misalnya, korban pelanggaran HAM berat yang berhak memperoleh kompensasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1).

Menurut Semendawai, PP No.44 Tahun 2008 nantinya akan diadopsi dan masuk dalam revisi UU PSK. Hal itu dilakukan agar penegak hukum di lapangan  tidak khawatir dalam menggunakan hukum acara ganti kerugian. Semendawai mengatakan, idealnya aturan pemberian kompensasi dan restitusi tidak dituangkan dalam PP, tetapi sebuah UU agar lebih mengikat. Pasalnya, PP tersebut menjadi hukum acara dalam pemberian kompensasi dan restitusi.

“Kalau hukum acara diatur di dalam PP itu kurang tepat dan perlu diatur dalam UU,” ujar Semendawai.

Pengajuan kompensasi diajukan korban, keluarga maupun kuasa hukumnya kepada LPSK. Kompensasi diberikan setelah mendapat putusan dan penetapan dari Pengadilan HAM. Sayangnya, hingga kini keberadaan pengadilan HAM tak pernah juga muncul. Padahal korban pelanggaran HAM berat sedemikian banyak.

“Memang belum bisa, itu yang sulitnya. Pengadilan HAM belum ada, jadi bagaimana  mengajukan kalau belum dibentuk,” ujarnya.

Minim kewenangan
LPSK memang kerap kali kesulitan dalam memberikan perlindungan yang maksimal terhadap saksi dan korban. Bukan saja perlindungan berupa rumah aman atau save house, tetapi memberikan perlakuan khusus terhadap saksi baik di tingkat penyidikan maupun di pengadilan. Belum lagi, berbenturan dengan aparat penegak hukum di lapangan. Makanya, LPSK telah menjalin notakesepahaman dengan beberapa lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Semendawai mengatakan, kendala yang dihadapi lembaganya antara lain minimnya SDM yang ada di LPSK. Akibatnya, dengan banyaknya permohonan yang tidak saja datang dari Jakarta, tetapi berbagai wilayah di penjuru nusantara. Hal lainnya, terbatasnya daya jangkau LPSK. Pasalnya tidak adanya perwakilan LPSK di daerah.

“Ini menghambat kita memberikan pelayanan yang maksimal,” ujarnya.

Kemudian, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya memerlukan kewenangan. Nah, kewenangan inilah secara eksplisit tidak disebut dalam UU No.13 Tahun 2006 yang berlaku saat ini. Menurut Semendawai, dalam revisi UU PSK mesti disebut keberadaan LPSK. Hal itu penting agar adanya kewenangan yang jelas terhadap LPSK, tidak semata pemberian perlindungan oleh lembaga.

“Kewenangan inilah  secara eksplisit tidak disebut dalam UU No.13 Tahun 2006. Ini yang perlu ditegaskan, makanya perlu kita revisi. Jadi memang agak kesulitan,” ujarnya.

Anggota Komisi III Taslim mengakui minimnya kewenangan LPSK dalam memberikan perlindungan saksi dan korban. Menurut Taslim, LPSK memiliki banyak kelemahan, sehingga pemberian perlindungan saksi dan korban mengalami kendala. Akibatnya, LPSK dinilai menjali lembaga yang kurang ‘bertaring’.

Terlepas dari berbagai kekurangan pemberian perlindungan saksi dan korban yang tidak maksimal, solusinya dengan ‘membongkar’ UU No. 13 Tahun 2006. Setidaknya, sejumlah pasal harus diperluas dan pula melakukan perluasan terhadap kewenangan LPSK sebagai satu-satunya lembaga pemberi perlindungan terhadap saksi dan korban.

“Bagaimana orang mau bongkar kasus kalau tidak maksimal perlindungannya. Makanya penguatan lembaga menjadi penting,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait