Hindari Polisi Nakal, RUU Hak Cipta Gunakan Delik Aduan
Berita

Hindari Polisi Nakal, RUU Hak Cipta Gunakan Delik Aduan

Banyak oknum polisi yang menjadikan pelanggar hak cipta sebagai sumber pendapatan.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Foto: SGP.
Kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Foto: SGP.
Agung Damarsasongko, Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, DTLST, dan Rahasia Dagang mengatakan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta akan menggunakan delik aduan terkait pelanggaran hak cipta.

Pilihan untuk menggunakan delik aduan ini mengacu ke UU Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982. Saat ini, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berlaku menggunakan delik laporan atau delik biasa sebagai dasar pengusutan kasus pelanggaran.

“Kita kembali ke UU Hak Cipta Tahun ’82,” tutur Agung dalam seminar RUU Hak Cipta di Universitas Trisakti, beberapa waktu lalu.

Alasan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) mengusulkan perubahan delik terkait dengan sifat kepemilikan itu sendiri. Kepemilikan dalam hak cipta itu sifatnya personal sehingga rasionya pribadi yang merasa dirugikan tersebut yang mengadu ke aparat kepolisian agar kasusnya diusut. Kendati demikian, Agung mengatakan usulan ini belum final. Perubahan delik ini juga menjadi pembicaraan yang intens di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Pembicaraan ini masih intensitas yang menarik di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, red),” lanjutnya.

Praktisi Hak Kekayaan Intelektual, Gunawan Suryomucitro sepakat apabila Rancangan Undang-Undang Hak Cipta mengusung delik aduan sebagai dasar pengusutan terhadap pelanggaran hak cipta.

Pandangan ini muncul karena selama Gunawan berpraktik sebagai praktisi hak kekayaan intelektual, ia banyak melihat delik laporan tidak menjawab persoalan pelanggaran hak cipta. Bahkan, beberapa oknum polisi memanfaatkan delik ini untuk menambah pundi-pundi.

Gunawan pun mencontohkan razia program komputer bajakan. Saat razia program perangkat lunak komputer dilakukan, para oknum akan “memeras” perusahaan yang tertangkap. Oknum polisi ini akan menjadikan perusahaan yang menggunakan software bajakan sebagai sumber penghasilan.

“Yang terkena (razia, red) itu jadi ATM,” terang Gunawan dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, delik laporan juga menjadi dalil oknum polisi untuk tidak menghentikan kasus meskipun para pihak antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan pelanggar hak cipta setuju berdamai. Oknum polisi akan berargumen bahwa kasus tersebut tidak dapat dicabut lantaran delik pelanggaran hak cipta ini adalah delik laporan, bukan delik aduan. Alhasil, para pihak harus mengeluarkan “biaya” lagi agar perkara tersebut dapat dihentikan.

Tidak hanya pada oknum polisi, oknum jaksa pun juga melihat sisi ekonomis dari kasus pelanggaran hak cipta ini. Sudah rahasia umum apabila tindak pidana hak cipta sampai ke meja pengadilan, artinya antara oknum polisi, oknum jaksa, dengan pelanggar tidak terjadi kesepakatan “harga”.

Effort yang dikeluarkan jaksa itu cukup besar kalau sampai ke pengadilan. Karena, mereka juga pasti melihat sisi ekonomisnya dari suatu kasus dan ini sudah kronis,” tegasnya. 

Meskipun ada beberapa pendapat yang mengatakan delik yang paling tepat untuk tindak pidana hak cipta adalah delik laporan karena berprinsip ada pelanggaran kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi, Gunawan tetap memilih delik aduan.

“Semuanya ada plus minusnya. Akan tetapi, sebagai praktisi, saya lebih memilih delik aduan daripada delik biasa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait