Asumsi Makro Melenceng, APBN Harus Diubah
Berita

Asumsi Makro Melenceng, APBN Harus Diubah

Salah satu alasan perubahan APBN adalah berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Suasana fit and proper test terhadap calon hakim agung oleh anggota Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, (15/13)
Suasana fit and proper test terhadap calon hakim agung oleh anggota Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, (15/13)
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sering mengalami perubahan, antara lain, karena terjadi perubahan indikator ekonomi terutama asumsi makro. APBN 2014 pun terpaksa mengalami perubahan (APBN-P) karena alasan senada.

Badan Anggaran (Banggar) DPR mengatakan bahwa pembahasan APBN-P menjadi hal yang logis dan harus dilakukan ketika indikator makro ekonomi mengalami perubahan secara signifikan. Kepastian perubahan itu disampaikan Ketua Banggar DPR Ahmadi Noor Supit dalam pembahasan APBN-P di Komplek Senayan Jakarta, Selasa (03/6). “Dari yang disampaikan pemerintah bahwa APBN memang mengalami perubahan yang cukup signifikan,” kata Ahmadi.

Menurut Ahmadi, perubahan APBN-P harus segera dilakukan bila berbagai macam asumsi makro ekonomi yang tertuang di APBN-P sudah melenceng jauh dari realitas di lapangan. Jika tidak segera dilakukan perubahan, khawatir akan terjadi ketidakseimbangan ekonomi di Indonesia.

Selain itu, UU APBN juga telah mencantumkan adanya dimungkinkan pemeirntah mengajukan APBN-P bila asumsi makro sudah tidak sesuai lagi karena terjadi perubahan, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Di antara perubahan yang dimaksud adalah terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi minimal sebanyak 1 persen, terjadi pengurangan pendapatan negara terutama pada pendapatan pajak minimal 10 persen dan terjadinya defisit anggaran dengan minimal sebanyak 10 persen.

“Dalam APBN disepakati defisit 1,9 persen, maka 10 persen dari angka itu kira-kira 1,7 persen. Kondisi itu sudah dipenuhi dan APBN-P bisa diajukan,” ungkapnya.

Ahmadi melanjutkan, jika beberapa indikator tersebut sudah dipenuhi maka APBN-P memang harus dilakukan. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi pelanggaran Undang-Undang. Bahkan, pembiaran APBN akan mengkhawatirkan perekonomian Indonesia dimana defisit bisa mencapai 5 persen.

“Selain itu, APBN-P perlu dibahas karena memang ada penurunan belanja pusat hampir Rp100 triliun dan hal tersebut belum pernah terjadi selama ini. Bila tidak segera dibahas, bisa terjadi hal luar biasa,” tegasnya.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo membenarkan bahwa ada perubahan asumsi makro yang tidak sesuai dengan APBN, seperti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus berlanjut disepanjang Kuartal II-2014. “Hal ini disebabkan adanya tren musiman defisit neraca perdagangan dan kondisi perekonomian global,” kata Perry.

Perry mengungkapkan ada dua faktor yang menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah. Pertama, dari kondisi neraca perdagangan serta kondisi perekonomian global yang belum membaik. Depresiasi nilai tukar rupiah, lanjutnya, ditandai defisit perdagangan yang mencapai AS$1,96 miliar, sehingga menyebabkan fundamental ekonomi melemah. Dampak dari tapering-off  di Amerika serta perlambatan pertumbuhan ekonomi China juga menjadi penyebab terdepresiasinya rupiah. “Selanjutnya, risiko geopolitik di beberapa negara,” ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut, lanjut Perry, rangkaian risiko global akan mempengaruhi volatilitas rupiah menuju tren yang menurun.
Tags:

Berita Terkait