Pilih yang Tegas?
Tajuk

Pilih yang Tegas?

Mungkin sudah saatnya kita mencoba sistem yang lebih sederhana, demokrasi gaya Mbah Iyem, “tidak aneh-aneh, tidak ada lagi korupsi, dan taat aturan yang kita buat sendiri.”

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Pilih yang Tegas?
Hukumonline
Debat capres dan cawapes bagian pertama selesai sudah. Debat ini difokuskan pada pokok masalah pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih dan kepastian hukum. Melihat latar belakang mereka yang berdebat, seharusnya kita sudah pasrah menantikan hasilnya yang pasti membosankan, kecuali bahwa banyak orang, termasuk saya, tertarik untuk mendengar pendirian dan gaya Jokowi kelak kalau jadi Presiden, mengingat mereka lainnya bertiga adalah pemain lama yang punya rekam rejak yang kita semua sudah maklum. Sedangkan Jokowi praktis adalah pemain baru dalam panggung politik nasional.

Jawaban menarik yang diberikan oleh Jokowi mengenai seperti apa itu “sikap tegas”. Kontras dari janji dan kesan yang dibangun secara obral oleh Prabowo, adalah bahwa tegas berarti “berani memutuskan dan berani menanggung risikonya”. Pernyataan Jokowi mungkin sekadar menunjukkan siapa dirinya dan pengalamannya dalam pemerintahan lokal di Solo dan baru-baru ini di Jakarta, bukan untuk menyindir atau mengolok apa yang dikomplain banyak orang mengenai SBY yang terkesan tidak berani mengambil keputusan karena tidak berani menanggung risikonya semasa periode terakhir jabatannya.

Jokowi menjanjikan dialog, dan bukan pendekatan kekerasan atau sekadar mengandalkan ketegasan substansi hukum dan ketegasan pelaksanaannya oleh penegak hukum. Jokowi menempatkan diri di depan hukum, di depan penegak hukum, bukan di atasnya. Dalam teori “dispute settlement”, pendekatan ini dikenal dengan nama “partnering”. Pihak-pihak yang berkepentingan berjalan bersama melaksanakan suatu pekerjaan yang tujuannya sudah disepakati bersama, dari awal. Bilamana terjadi perbedaan penafsiran atau masalah dalam pelaksanaan pekerjaan, secepat mungkin para pihak duduk bersama untuk mengidentifikasi masalahnya, dan kemudian menyelesaikannya sebelum masalah menjadi lebih lebar atau besar. Pendekatan ini mencoba memadamkan titik api yang masih kecil secepat mungkin, dan sangat berhasil dalam pengelolaan proyek besar di bidang konstruksi.

Pengalaman Jokowi di Solo menangani pedagang kali lima, dan di Jakarta terkait dengan pemukiman liar di sejumlah waduk, membuktikan pendekatan dialog ini berhasil cukup efektif menyelesaikan masalah. Tentu Indonesia berbeda dengan Solo dan Jakarta, tetapi optimisme Jokowi bahwa pendekatan ini bisa digelar dalam skala kompleksitas Indonesia merupakan suatu upaya percobaan yang menarik. Jokowi merujuk juga kepada usaha-usaha perdamaian JK dalam sejumlah konflik horizontal di daerah dan utamanya di Aceh, walaupun untuk Aceh ada catatan khusus sejarah bahwa keberhasilan perundingan damai sangat ditentukan oleh keberhasilan kebijakan Panglima TNI dalam meredam gerakan bersenjata di masa perundingan.

Pendekatan yang mirip terjadi juga dalam proses pembentukan hukum setelah reformasi 1998. Pembentukan RUU bukan lagi domain efektif dari DPR dan Pemerintah. Untuk banyak RUU, terutama yang menyangkut masalah orang banyak seperti hak berpolitik, kebebasan berpendapat, dan akses ke informasi, pendidikan dan kesehatan, pembahasannya sudah melebar ke banyak pemangku kepentingan. Kita banyak kecolongan karena politik uang masih juga kentara dalam politik pembuatan dan pembahasan RUU. Namun tren yang terjadi di bidang ini cukup positif, proses yang terjadi semakin transparan, dan partisipasi masyarakat menjadi lebih terbuka dan didengar. Di sini terjadi dialog. Di sini terjadi upaya pencegahan untuk memadamkan titik api sebelum apinya tidak bisa dikendalikan karena DPR sudah mengetok palu.

Demikian pula, undang-undang mengharuskan perselisihan di pengadilan harus diawali oleh proses perdamaian. Dialog, atas perintah undang-undang, harus dilakukan dulu oleh para pihak yang bersengketa. Sulitnya, dalam taraf ini sudah banyak kerugian terjadi, sudah banyak orang patah arang, dan sudah banyak harga diri ternodai, sehingga proses damai melalui dialog banyak gagalnya dibanding keberhasilannya.

Yang akan dicoba dilakukan oleh Jokowi adalah padamkan titik api sebelum terjadi kebakaran. Asap terlihat, bau asap tercium, pada saat itulah proses dialog sudah harus efektif dilakukan. Kira-kira begitulah pendekatannya.

Sekarang coba kita lihat secara jujur, apakah pendekatan ini akan berhasil secara efektif dalam rumah Indonesia yang jauh lebih besar, lebih kompleks, lebih beragam, dan lebih banyak pihak yang berkepentingan untuk meraih kesuksesan maupun mencoba menggagalkan pendekatan seperti ini?

Pertama, dikaitkan dengan kepastian hukum, apa yang sudah terang benderang dijamin kepastiannya oleh Konstitusi dan undang-undang tidak bisa ditinjau kembali walaupun dengan cara dialog. Peninjauan kembali atas hal yang sudah pasti secara hukum tersebut hanya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan undang-undang, yang hanya bisa berlaku ke depan, dan tidak ke belakang.

Pengalaman mengubah-ubah daftar negatif investasi, atau mengubah UU Minerba dan kemudian memaksa investor untuk melakukan renegosiasi adalah pengalaman mahal yang harus dibayar dengan kelambatan pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kaburnya investor baik, yang siap diganti oleh investor penggerogot dan pengemplang atas nama kepentingan nasional.

Kedua, dialog hanya akan terjadi kalau pihak yang akan berdialog mempunyai kesamaan tujuan akhir, yaitu kepentingan terbaik bangsa dan kesejahteraan warga negara. Kegagalan selama ini untuk berdialog mengenai politik enerji, termasuk penghapusan subsidi BBM misalnya, banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan ekonomis dan bisnis yang bertabrakan, bukan karena rakyat tidak mau berkorban. Di sektor ini Jokowi bisa digerogoti oleh banyak kepentingan, baik kepentingan disekitarnya, rekan koalisi politiknya maupun oleh para pemain lama yang tidak rela kehilangan cara mudah memupuk kekayaan. Pernyataan Jokowi bahwa politiknya tidak transaksional harus dibuktikan di sini. Juga ketegasan dalam bentuk memutus akses para pemain lama ke sumber-sumber kekayaan negara, yang sangat bisa mengundang risiko politik maupun keamanan dirinya, harus dapat dibuktikan.

Ketiga, simplifikasi dalam banyak fungsi dan kegiatan pemerintahan (no-nonsense, no corruption, no bottle-necking in business licensing) yang akan diterapkan Jokowi sesuai dengan janjinya di depan masyarakat profesional Indonesia minggu lalu di Jakarta sangat mengena dihati banyak profesional, tetapi ditunggu dalam pelaksanaannya. Ini kemudian harus ditejermahkan dalam implementasi program reformasi birokrasi, reformasi institusi, dan penempatan orang-orang tepat di jabatan yang tepat, yang harus dilakukan dengan cepat, masif, terencana baik, dan tanpa pandang bulu. Seperti pesan Mbah Iyem, pengasuh masa kecil Jokowi: mas Joko, ojo neko-neko, ojo korupsi, lan taat aturan…”, simplifikasi masalah sulit dengan ukuran moral itu mungkin bisa menjadikan banyak persoalan rumit negeri ini menjadi lebih mudah terurai dan diselesaikan.

Memilih di antara dua capres dengan ukuran ketegasan untuk masalah demokrasi, governance dan hukum memang memerlukan ukuran tersendiri, apalagi dengan memperhatikan keunikan masing-masing calon. Kita sudah mengalami efektif tidaknya pengelolaan masalah-masalah tersebut di bawah berbagai gaya kepemimpinan, baik demokrasi terpimpin, opresif militer, dan kemudian mencobanya di bawah demokrasi masyarakat terbuka. Terakhir kita juga sudah mencoba gaya gabungan presidential-parlementer. Mungkin sudah saatnya kita mencoba sistem yang lebih sederhana, demokrasi gaya Mbah Iyem tadi, “tidak aneh-aneh, tidak ada lagi korupsi, dan taat aturan yang kita buat sendiri.”

ats, Juni 2014
Tags: