Pemerintah Mendatang Harus Atasi Krisis Listrik
Berita

Pemerintah Mendatang Harus Atasi Krisis Listrik

Anggaran untuk subsidi dan impor BBM dikurangi untuk peningkatan elektrifikasi nasional.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Mendatang Harus Atasi Krisis Listrik
Hukumonline
Pemerintah terpilih mendatang harus lebih berani mengubah kebijakan anggaran di sektor energi. Sebab, selama ini subsidi bahan bakar minyak (BBM) terlalu membebani APBN. Di sisi lain, energi listrik justru kian menuju krisis nyata.

Hal itu disampaikan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari kalangan akademisi, Tumiran. Menurutnya, siapapun presidennya nanti, dana subsidi untuk BBM harus dikurangi. Terlebih lagi, anggaran yang digunakan untuk mengimpor BBM. Ia menegaskan, alokasi subsidi itu seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan lainnya.

“Siapapun presidennya, dana subsidi dan impor BBM harus dikurangi. Anggaran itu harus dialihkan kepada kebutuhan lainnya,” tuturnya di Jakarta, Senin (16/6).

Tumiran mengemukakan bahwa jumlah alokasi dana untuk subsidi BBM selama ini terlampau besar. Ia menyebut, setiap tahun pemerintah mengeluarkan setidaknya sebesar Rp 300 triliun. Menurut Tumiran, ke depan jumlah maksimal yang bisa dikeluarkan pemerintah hanya setengahnya.

“Sementara sisa yang Rp150 triliun, bisa untuk bangun infrastruktur. Tetapi, jangan dibagi ke Kementerian, itu sama saja menguap,” kata Tumiran.

Ia menjelaskan, skenario pembangunan infrastruktur yang dimaksud tak lari dari pembangunan di sektor energi. Tumiran mengatakan, pembangunan itu bisa berupa peningkatan elektrifikasi nasional. Cara yang dinilainya efektif adalah dengan penambahan pembangkit listrik secara lebih masif.

Tumiran membandingkan elektrifikasi Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Menurutnya, Indonesia masih jauh tertinggal. Padahal, ia mengingatkan jumlah penduduk kedua negara tetangga itu lebih sedikit dibanding Indonesia.

“Di Malaysia per kapita sudah mencapai 1 Kilowatt, Singapura sudah 2,5 Kilowatt, sementara Indonesia masih seperempat Kilowatt. Itu masih jauh sekali,” ujarnya prihatin.

Dirinya pun meyakini peningkatan elektrifikasi nasional bisa menjadi prioritas pemerintah baru mendatang. Pasalnya, Tumiran menegaskan, pihaknya akan terus mengawal agar lembaga eksekutif patuh terhadap rekomendasi yang dibuat DEN. Terlebih lagi, Kebijakan Energi Nasional (KEN) sudah ditandatangani Presiden saat ini yang juga sekaligus menjabat sebagai ketua DEN.

“KEN kan sudah disetujui. Nanti akan keluar lagi produk turunannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah diikuti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dari situ akan jadi acuan di pusat dan daerah,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jarman mengatakan bahwa Indonesia kian mendekati krisis listrik. Menurut perhitungannya, pada tahun 2018 hal itu bisa saja terjadi. Lebih parah lagi, Jarman memprediksi, krisis listrik tak hanya akan terjadi di Pulau Jawa saja.

“Mandeknya pembangunan mega proyek PLTU Batang, Jawa Tengah bisa memicu krisis listrik se-Indonesia. Indonesia akan terancam krisis listrik pada 2018. Bukan cuma Jawa, tapi ini se-Indonesia," ungkapnya.

Ia menjabarkan, ancaman krisis listrik itu terjadi lantaran PLN tidak mampu menyediakan tambahan listrik setiap tahunnya sebesar 5.000 MW. Hal ini menurut Jarman, akibat keterbatasan dana. Ia melihat, neraca keuanga PLN tidak bisa memenuhi kebutuhan listrik, walau sudah kerjasama dengan pihak swasta dengan membeli listrik dengan mekanisme IPP (Independent Power Producer/listrik swasta).

“Faktanya saat ini dengan tambahan kebutuhan listrik 5.000 MW per tahun, namun yang bisa dipenuhi sekitar 4.000 MW per tahun artinya ada defisit listrik 1.000 MW per tahun. Makanya jika tidak ada langkah stategis yang cepat kita ambil, 2018 kita defisit listrik, apalagi untuk membangun pembangkit butuh waktu 3-4 tahun," tutupnya.
Tags:

Berita Terkait