Mariana Sutadi:
Perempuan Pertama di Kursi Wakil Ketua MA
Srikandi Hukum Part II

Mariana Sutadi:
Perempuan Pertama di Kursi Wakil Ketua MA

Sosoknya dinilai tegas dan teguh berpendirian.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Lepas dari jabatan Duta Besar Indonesia untuk Rumania dan Moldova pada Desember 2013, seyogianya Mariana Sutadi tinggal bercengkerama dengan anak dan cucunya. Atau menyelesaikan buku tentang cessie yang sempat terbengkalai. Apa daya, pengalaman dan pengetahuannya masih dibutuhkan.

Di usia yang sudah memasuki 73 tahun, Mariana masih diminta menjadi narasumber di berbagai seminar dan pelatihan yang diselenggarakan pengadilan. Mei lalu, misalnya, ia diminta menyampaikan materi Kapita Selekta Hukum Acara Perdata dan Perbuatan Melawan Hukum di hadapan para hakim di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bandung. Pada 2 Juni, giliran Pusdiklat Mahkamah Agung yang meminta Mariana mengajar materi Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Mariana Sutadi Nasution, begitu nama lengkapnya, memang berasal dari dunia peradilan. Ia menjadi salah satu srikandi yang mampu menapaki karir tinggi sebagai hakim. Ibu dua anak ini adalah hakim perempuan pertama yang pernah menduduki kursi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA-2).

Laki-laki dan perempuan punya kesempatan yang sama menjadi hakim. Tetapi sepanjang sejarah Mahkamah Agung (MA), perempuan yang berhasil menjadi hakim agung bisa dihitung dengan jari. Cobalah telusuri mulai dari nama hakim agung Sri Widoyati Wiratmo Sukito yang menjadi hakim agung pada 1968, hingga nama-nama lain yang menyusul kemudian. Pada 1981, ada tujuh hakim agung perempuan yang diangkat, yakni Hj. Martina Notowidagdo, Hj. Poerbowati Djokosoedomo, Siti Rosma Achmad, Djowariri, Dora Sasongko Kartono, Karlinah Palmini Achmad Soebroto, Siti Tanadjoel Tarki Soedardjono.

Srikandi lain bermunculan: Retnowulan Sutantio, TS Aslamiah Sulaiman, HL Rukmini, Hj. Mursiah Bustaman; AA Ayu Mirah; Asma Samik Ibrahim. Disusul hakim agung Hj. Emin Aminah Achdiat, Hj. Marnis Kahar, Supraptini Sutarto, Chairani A Wani, Edith Dumasi Tobing-Nababan, Titi Nurmala Siagian, Susanti Adi Nugroho, Marina Sidabutar. Dari kalangan nonkarier dikenal Prof Valerine JL Kriekhoff, Prof Mieke Komar Kantaatmadja, Prof Komariah E Sapardjaja, Hj. Rehngena Purba. Dari generasi terbaru ada nama Sri Murwahyuni yang diangkat pada Oktober 2010.

Sejauh ini baru Mariana yang bisa mencapai kursi Wakil Ketua MA. Ia menduduki kursi Wakil Ketua MA Bidang Yudisial selama periode 2004-2008, semasa Ketua MA dijabat Prof. Bagir Manan.

Keluarga hukum
Mariana berasal dari keluarga yang menggeluti dunia hukum. Perempuan kelahiran Jakarta 12 Oktober 1941 ini lahir dan besar dalam keluarga hakim. Ayahnya, Hasan Nasution, pernah menduduki jabatan Ketua Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta – kini PN Jakarta Pusat. Mariana mengenang semasa kecil sering dibawa sang ayah ke pengadilan.

Darah hakim sang ayah menetes kepada anak-anaknya, termasuk Mariana. Selepas menamatkan pendidikan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 1964, memasuki dunia hakim. Berarti saat itu usianya baru sekitar 22 tahun.

Sepanjang 44 tahun lebih dua bulan menapaki karir sebagai hakim, segudang pengalaman dirasakan Mariana. Rentang waktu yang panjang itu pula membuat dirinya jatuh cinta pada profesi hakim. “Saya sudah 44 tahun lebih 2 bulan menjadi hakim. Itu menunjukkan saya sangat mencintai profesi ini,” ujar Mariana kepada hukumonline di kediamannya, bilangan Kuningan Jakarta, Jum’at (23/5).

Perempuan berdarah Mandailing ini mengawali kariernya di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada September 1964. Tujuh tahun berikutnya, dia ditugaskan di PN Jakarta Utara-Timur hingga akhirnya dipercaya menjadi asisten hakim agung pada periode 1981-1984. Tak berselang lama, Mariana dipromosikan menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan Pengadlilan Tinggi Jakarta hingga 1993.

Setelah hampir 11 tahun menjadi hakim tinggi, Mariana dipercaya menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, lalu Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tanjung Karang hingga Oktober 1995. Sebelum menjadi Wakil Ketua MA, dia sempat menduduki Ketua Muda Pengawasan MA yang bertugas membina dan mengawasi hakim seluruh Indonesia selama 2001-2004. Jabatan ini juga merupakan jabatan pertama yang diemban hakim agung perempuan. Pada saat menjabat Ketua Muda Pengawasan inilah Mariana menunjukkan sikap tegas kepada hakim-hakim yang tak menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

Mariana menghadapi tugas yang tak mudah karena saat itulah semangat reformasi pembaruan MA dijalankan. Cetak Biru Mahkamah Agung disusun dengan melibatkan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi. Keberadaan lembaga pengawas eksternal juga makin kuat. Mariana ikut melakukan studi banding mengenai Komisi Yudisial ke  Amerika Serikat dan Belanda.

Namun perjalanan karir profesional Mariana bukan tanpa kerikil. Ia pernah dilaporkan pihak berperkara, bahkan pernah dituduh melaporkan intervensi. Toh, laporan-laporan itu tak menghambat karirnya hingga menduduki kursi Wakil Ketua MA Bidang Yudisial.

Duta besar
Mariana pensiun sebagai hakim pada November 2008. Dua tahun berselang, ia diangkat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Rumania dan Republik Moldova.

Saat menjabat Dubes itulah Mariana terus berupaya memperkuat kerjasama Indonesia-Rumania di bidang hukum. Salah satu keberhasilan kerjasama itu adalah mengekstradisi seorang warga negara Rumania yang melarikan diri ke Indonesia setelah divonis 15 tahun penjara. Terdakwa kasus penipuan itu sempat menjadi buron interpol.

“Presiden Rumania pernah menulis surat ke saya yang meminta untuk mengektradisi terpidana ke Rumania. Akhirnya, dalam waktu setahun terpidana tertangkap di Hotel Grand Hyatt Jakarta berdasarkan red notice Interpol dan kita kembalikan ke Rumania,” cerita Mariana.

Dunia diplomatik bukan sesuatu yang asing bagi Mariana. Suaminya, Sutadi Djajakusuma, pernah menjabat sebagau Dubes Indonesia untuk Brazil, Peru dan Bolivia, yang berkedudukan di Brazil. Beberapa kali ia mendampingi suami menjalankan tugas-tugas diplomatik ke luar negeri.

Dukungan keluarga
Mariana memandang jabatan yang pernah diembannya merupakan amanah yang harus dijalani sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab yang merupakan “buah” dari kinerja sebelumnya. Pekerjaan apapun bagi perempuan termasuk hakim adalah pilihan hidup. Meski begitu, dukungan keluarga sangatlah penting terutama ridha suaminya. Sebab, profesi hakim menuntut penugasan dan training di luar tempat tinggalnya.

“Kalau kemana-kemana suami nggak kasih izin, kan enggak jadi,” ujar perempuan kerap mengikuti pelatihan dan pertemuan di berbagai negara ini.  

Menurutnya, profesi hakim merupakan profesi menyenangkan kalau dijalani secara benar. Profesi ini sangat menuntut independensi dan integritas. Pimpinan pengadilan tak bisa mempengaruhi putusan hakim. “Saya selalu ingat pesan ayah saya, ‘Kau tidak akan naik pangkat kalau menghukum berat orang, kau tidak akan turun pangkat kalau membebaskan orang ketika tidak ada buktinya’,” ujarnya mengutip pesan sang ayah.

Mariana mengaku bangga saat ini sudah banyak hakim perempuan yang menduduki posisi sebagai pimpinan pengadilan negeri kelas Ia setelah melalui fit and proper test. Seperti, Wakil Ketua PN Jakarta Timur, Wakil Ketua PN Jakarta Selatan, Wakil Ketua PN Jakarta Utara, dan Ketua PN Jakarta Barat, Ketua Pengadilan Tinggi Mataram, Ketua Pengadilan Tinggi Bandung dijabat oleh perempuan.

“Ketika perempuan memilih jalan hidup sebagai hakim, jadilah hakim yang baik, profesional, dan menjadi tempat kepercayaan. Pasti akan membuahkan hasil terbaik ke depannya. Ini tidak menyalahi kodrat sepanjang mendapat dukungan keluarga dan ridha suaminya,” pesannya.        

Iron women
Salah seorang mantan asistennya di MA, Suwidya melihat sosok Mariana diibaratkan sebagai iron women hakim Indonesia. Mariana dia gambarkan sebagai sosok yang keras, tegas, teguh berpendirian, dan independen. “Tidak punya kepentingan pribadi dalam setiap pelaksanaan tugas, sehingga setiap kebijakan dan keputusannya sulit dibantah siapapun baik persoalan penanganan perkara maupun kelembagaan,” kata Suwidya.

“Misalnya, kalau beliau tidak setuju mutasi dan promosi hakim tertentu tidak ada yang berani bantah. Dia berprinsip hakim laki-laki dan perempuan sama-sama harus merasakan penugasan di luar pulau Jawa,” kata mantan Ketua PN Depokini.

Salah hal yang selalu dia ingat ketika Mariana membimbing kesempurnaan pembuatan putusan pengadilan. Misalnya, sistematika putusan, identitas, tanggal penahanan, hingga kesalahan huruf/ketik. “Kesalahan setiap pembuatan putusan mesti beliau tahu (teliti). Saya sangat merasakan ‘sentuhan’ tangan beliau selama menjadi asistennya selama 5 tahun (2000-2005), itu ‘tertanam’.”

Di mata Wakil Ketua PN Jakarta Pusat ini, Mariana sosok yang tak kenal kompromi menyangkut kesalahan/pelanggaran. Mariana juga dikenal sangat berhati-hati saat akan menerima tamu. Suatu ketika dia pernah ditegur Mariana lantaran membuat tulisan yang ditempel di depan ruang kerjanya bertuliskan, “Maaf, tidak menerima tamu yang berhubungan dengan perkara.” Namun, Mariana memintanya menghapus kata “maaf” itu.

“Saya sering pontang-panting mencegah orang saat beliau curiga suatu perkara ada yang ngurusin. Beliau ketat sekali, termasuk keluarga dan teman kuliah saya yang bertamu ke kantor pasti beliau tanya, ‘lain kali kalau bertamu jangan jam kerja’,” ujar Suwidya mengutip teguran Mariana.

Ritme kerja Mariana itu nampaknya “menularkan” energi positif terhadap dua bekas asisten lainnya di MA yakni Albertina Ho dan Nani Indrawati. Sebab, dua hakim perempuan yang dikenal cerdas itu kini menjadi Wakil Ketua PN Palembang dan Wakil Ketua PN Jakarta Selatan. “Keduanya, saat fit and proper test calon pimpinan pengadilan kelas IA rangking pertama. Sepertinya, apa yang diajarkan Bu Mariana ‘melekat’ kepada dua asistennya itu,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait