Perlu Pembaharuan SKB Sistem Penanganan Tilang
Utama

Perlu Pembaharuan SKB Sistem Penanganan Tilang

Perubahan SKB Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas harus disesuaikan dengan UU terkait.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi mengenai tilang yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Puslitbang MA di Jakarta, Selasa (17/6). Foto; RES
Para pembicara dalam diskusi mengenai tilang yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Puslitbang MA di Jakarta, Selasa (17/6). Foto; RES
Persoalan penanganan pelanggaran lalu lintas menjadi persoalan pelik yang dihadapi pengadilan. Menurut laporan Tahunan MA 2013 saja sebanyak 3.214.119 atau sekitar 96,40 persen dari 3.386.149 perkara pidana adalah pelanggaran lalu lintas alias tilang. Sebagian besar masyarakat mengeluhkan pengelolaan sidang tilang, seperti keberadaan calo, suasana antrian yang kacau, dan fasilitas pendukung yang tidak memadai.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung (Puslitbang MA) telah melakukan survei. Berdasarkan hasil survei, tingkat kepuasaan masyarakat atas pelayanan sidang tilang sebesar 23 persen. “Lebih rendah daripada pelayanan administrasi dan informasi peradilan yang rata-rata 50 persen,” kata peneliti PSHK, M. Nur Solikhin saat melauncing hasil kajian itu dalam  seminar “Alternatif Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan”, di Jakarta, Selasa (17/6).

Selain M. Nur Solikhin, seminar, yang merupakan hasil penelitian sementara pengelolaan perkara lalu lintas di enam pengadilan negeri ini, menampilkan narasumber, Hakim Agung M. Syarifudin, Warsa Sunanta dari Direktorat Tindak Pidana Umum Lainnya pada Kejaksaan Agung dan Kabid Penegakan Hukum pada Ditlantas Polri Kombes Pol Indrajit.

Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, mengamini bahwa persoalan sistem penanganan tilang di Indonesia belum ideal. Bahkan, menurut dia tujuan lahirnya dari UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) belum tercapai, yakni mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Sebab, faktanya jumlah pelanggaran lalu lintas yang berujung ke pengadilan tidak berkurang.

“Misi politik kriminal UU Lalu Lintas belum berhasil. Saya berharap agar fokus seminar hasil penelitian ini bisa memberi solusi agar beban pengelolaan perkara tilang di pengadilan tidak terlalu berat,” kata Artidjo saat menjadi pembicara pembuka seminar ini.

Solikhin melanjutkan selain jumlah perkara tilang yang cukup besar terutama di pengadilan kota-kota besar, keberadaan calo tilang turut memperburuk citra pengadilan. UU LLAJ pun tidak membedakan perkara tilang uncontested (slip biru) dan tilang contested (slip merah) yang sebenarnya itu diatur dalam SK Kapolri No. Pol. Skep/443/VI/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis Penggunaan Blangko Tilang.

Dijelaskan peneliti PSHK itu, saat ini pengunaan slip biru keliru dengan memberlakukan uang titipan sebesar denda maksimal sebagai ancaman untuk mengurangi pelanggaran. Padahal, UU LLAJ menyebut uang titipan diterapkan bagi pelanggar yang tidak bisa hadir dalam sidang. “Harusnya slip biru untuk mengurangi pelanggar tidak perlu sidang pengadilan, tetapi praktiknya pelanggar slip biru tetap harus bersidang di pengadilan,” paparnya

Dia menemukan dari enam pengadilan negeri yang disurvei teknis pengelolaan sidang tilang beragam. PN Jakarta Timur, misalnya, telah menerapkan sistem nomor antrian dengan lokasi ruangan pelayanan yang berdekatan, sehingga lebih efektif ketimbang sistem pemanggilan nama seperti di PN Surabaya. Ketidakhadiran jaksa (tidak wajib) dalam sidang tilang pun tidak seragam di setiap pengadilan, sehingga menyulitkan koordinasi.

“Hal standar pelaksanaan sidang tilang sudah dipublikasi di website PN Surabaya, PN Mataram, PN Semarang, PN Tulungagung, bahkan penerapan layanan SMS. Ini bisa menjadi model standar layanan nasional dalam pengelolaan perkara tilang.”

Karena itu, sebagai upaya perbaikan sistem layanan sidang tilang rekomendasi jangka pendek diusulkan memperbaiki atau merevisi SKB Ketua MA, Menkeh, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu tertanggal 19 Juni 1993. “Mengembangkan buku standar pelayanan sidang tilang sekaligus meningkatkan kapasitas SDM dan memperbaiki fasilitas loket khusus yang lokasinya berdekatan,” usulnya.

Disesuaikan dengan UU
Warsa Sunanta juga sepakat agar SKB itu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini terkait dengan pelanggaran lalu lintas. “Perbaikan SKB ini harus segera dilakukan karena istilah Menteri Kehakiman sudah tidak ada lagi,” kata Warsa.

Terkait adanya wacana penanganan tidak perlu ditangani pengadilan, Warsa tak sepakat. Menurutnya, penanganan perkara pelanggaran lalu lintas (tilang) tetap ditangani pengadilan karena amanat KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Jika penanganan tilang bukan wewenang pengadilan konsekwensinya harus mengubah UU itu. “Mekanisme penanganan sidang tilang juga bisa masuk dalam Rancangan KUHAP yang baru,” katanya.

Dia mengatakan sebelum dilakukan perubahan itu harus dicari model penanganan (tilang) terbaik dari masing-masing pengadilan untuk dijadikan standar nasional. Sebab, selama ini masing-masing pengadilan memiliki sistem operasional prosedur (SOP) dalam penanganan perkara tilang. Koordinasi pelaksanaan tugas penanganan perkara pelanggaran lalu lintas (tilang) juga harus lebih ditingkatkan antara Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan.

Dia menambahkan uang denda perkara tilang yang ditetapkan pengadilan akan disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketentuan ini diatur Pasal 2 ayat (1) huruf e UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP dan PP No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Kelompok PNBP meliputi : (e) penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi”.

 “Pelanggaran lalu lintas yang masuk ke kas negara pada 2013 Rp97 miliar, sementara dari biaya perkara Rp4 miliar. Tahun ini periode Januari 2014-Mei 2014 Rp36 miliar dengan biaya perkara Rp 1 miliar masuk kas negara,” imbuhnya.

Bukan pidana
Kombes (Pol) Indrajit mengusulkan agar pelanggaran lalu lintas seharusnya jangan dianggap sebagai tindak pidana, tetapi pelanggaran administratif yang sanksinya denda administrasi. Cara ini diterapkan di Singapura, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

Dia juga menyarankan agar ada semacam penegakan hukum terpadu (gakumdu) dalam penanganan sidang tilang di pengadilan untuk menghindari pengiriman berkas sering terlambat. “Disitu ada pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam satu tempat khusus. Ini memudahkan koordinasi antar penegak hukum,” jelasnya.     
akunya.

“Angggota kami di lapangan yang menindak dicaci maki, jumlah pemasukan pelanggaran tilang yang besar ke negara tidak masuk ke kantong anggota kami. Memang ada beberapa oknum polisi yang melakukan memungut pungli”, ujarnya.
Tags:

Berita Terkait