Prof. Mariam Darus:
Sejak Kecil Diprogram Menjadi Meester in De Rechten
Srikandi Hukum Part II

Prof. Mariam Darus:
Sejak Kecil Diprogram Menjadi Meester in De Rechten

Sosok yang dianggap sebagai teman, guru, dan ibu oleh muridnya.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: Istimewa (Edit: RES)
Foto: Istimewa (Edit: RES)
Seorang putri kecil sedang bermain-main di kantor ayahnya. Kala itu, usianya masih menginjak usia sekolah menengah pertama. Di kantor, ayahnya cukup hangat menerima guru-guru sekolah si anak. “Anakku itu nanti akan menjadi meester in de rechten,” ucap si ayah.

Belasan tahun kemudian ucapan itu menjadi kenyataan. Si anak kecil itu kini bergerak di bidang hukum. Tak cuma menjadi seorang sarjana hukum, dia adalah seorang ahli hukum perdata yang cukup disegani di Indonesia. Ya, nama anak perempuan itu adalah Mariam Darus.

Sederet gelar di bidang hukum sudah digondolnya. Prof. DR. Mariam Darus, SH., FCBArb, begitu deretan gelar akademis yang dimilikinya. Mariam memang dikenal sebagai ahli hukum perdata, dengan spesialisasi hukum perikatan, yang masuk ke dalam golongan srikandi hukum Indonesia.

Dia menceritakan kisah awal dirinya ‘berkenalan’ dengan hukum itu dengan gamblang kepada hukumonline, melalui sambungan telepon awal Juni ini. “Itu pesan bapak saya. Dia ingin supaya saya menjadi meester in de rechten. Dia ingin saya belajar di Negeri Belanda,” ujarnya menuturkan kisahnya.

Uniknya, Mariam kecil tak tahu apa yang dimaksud dengan meester in de rechten (sarjana hukum). “Saya pun nggak ngerti waktu itu apa itu (meester in de rechten,-red),” ujarnya.

Mariam menjelaskan visi ayahnya memang cukup tinggi. Maklum, sang ayah berpendidikan yang cukup tinggi untuk ukuran orang saat itu. Yakni, mengenyam sekolah HBS (tingkat SMA di zaman Belanda). Apalagi, ayahnya merupakan putra Bendahara Sultan Langkat yang memang sudah terbiasa bergaul dengan orang-orang asing.

“Dia pergaulannya internasional karena dia adalah putranya Bendahara Sultan Langat. Dia ikut dalam rombongan Sultan Langkat pergi ke negeri Belanda ketika ulang tahun Wilhelmina gitu. Jadi, dia ingin saya menjadi meester in de rechten,” sebutnya.

Mariam muda pun langsung mengatur rencana menggapai harapan ayahnya itu. Namun, cita-cita itu terkendala karena di Medan, ketika itu belum ada fakultas hukum. “Jadi, kami pergi ke UGM (Universitas Gadjah Mada,-red) karena UGM kan idola. Artinya, FH-nya itu republiken (sekolah negeri,-red). Saya masuk UGM pada 1951,” tambahnya.

Ahli Hukum Perjanjian
Di Fakultas Hukum UGM, Mariam mengaku belum terlalu tertarik dengan hukum perdata, bidang hukum yang digelutinya saat ini. “Sebetulnya Saya dulu di (Hukum,-red) Tata Negara, karena saya asistennya Prof Boedi Susetyo,” ujar wanita yang genap 83 tahun pada 12 November mendatang ini.  

Nah, ketertarikannya dengan bidang hukum perdata dimulai ketika Mariam kembali ke tanah kelahirannya. Di Medan, Mariam bekerja di Departemen Perdata di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang baru saja dibuka, pada 1952 (satu tahun setelah keberangkatannya ke Yogyakarta).

“Saya ditempatkan di Departemen Perdata di bawah Prof. Muhammad Yusuf. Dia pernah menjadi Walikota Medan dan Pengacara. Jadi, di situlah saya diasah dengan hukum perjanjian (hukum perdata,-red),” ujarnya.

Di bawah Guru Besar ini, Mariam digembleng dengan men-draft sejumlah gugatan perdata. Ia pun mengaku merasa cocok karena dirinya berasal dari keluarga businessman. “Bapak saya kan juga pelaku business. Bapak saya pengusaha karet yang besar juga di Sumatera Timur. Dia ekspor sendiri ke Singapura. Jadi, dari situ mendorong minat saya menekuni hukum perdata,” tambahnya.

“Abang-abang saya dan adik-adik saya juga ada yang jadi Guru Besar Fakultas Ekonomi USU. Ada yang pernah menjadi Kepala Departemen Perdagangan di Papua dan Atase Perdagangan di London. Pembicaraan kami ya di sekitar-sekitar situ (bisnis/perdata) saja,” tuturnya.

Perjalanan akademis Mariam belum berhenti di situ. Ia meneruskan mengejar meester of law di UGM pada 1961. Lalu, pada 1978, Mariam meraih gelar doktor di bidang hukum dari USU dengan tesis, “Transaksi Bank Kredit”. Selain itu, Mariam juga melanglang buana mengikuti kursus hukum di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat hingga Jepang.

Pada 1975-1976, cita-cita ayahnya agar Mariam belajar hukum di Belanda akhirnya tercapai. Ia mengikuti kursus hukum mengenai hipotek selama setahun di University of Leiden, Belanda. “Saya belajar di negeri Belanda pada 1976,” kenangnya.

Cita-Cita Mariam
Di usianya yang tak muda lagi, Mariam mengaku masih memiliki cita-cita yang belum tercapai di bidang hukum, yakni menyelesaikan Text Book mengenai hukum perjanjian atau hukum perikatan. “Sudah Ibu mulai. Penjelasan KUHPer Buku III. Itu sedang ditulis dan direvisi. Insya Allah dalam dua bulan ini selesai,” ujarnya.

Selain itu, Mariam juga ingin menulis buku autobiografi mengenai dirinya yang berkaitan dengan hukum. “Ibu kan pernah jadi ahli di berbagai negara, di Geneva (Swiss), di Hong Kong, dan di Calgary (Kanada). Itu semua saya rasa mau ibu buat dalam bentuk buku,” ujarnya.  

“Pengalaman itu penting sekali diketahui para lawyers. Usia Ibu sudah 83 tahun. Ibu sudah di senja hari. Apa yang ibu punya harus cepat-cepat ditulis,” tambahnya.

Pengalaman Mariam di bidang hukum perdata memang sudah malang melintang di mancanegara. Selain negara-negara yang disebut di atas, Mariam juga beberapa kali menjadi ahli di Singapore International Arbitration Court, Singapura.

Di dalam negeri, Mariam juga berprofesi sebagai seorang arbiter. Dia mendirikan Firma Hukum Mariam Darus & Partners Law Office. Selain itu, Mariam pernah juga menjadi Staf Ahli Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) dan Ketua Tim Legislasi penyusunan RUU Fidusia di Kementerian Hukum dan HAM.

Terlepas dari itu semua, Mariam cukup menikmati profesinya sebagai pengajar. Ia mengatakan dirinya sangat bahagia ketika diamanahi mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Militer di Jakarta. “Ibu tekankan bahwa masyarakat kita heterogen. Bermacam-macam. Penduduknya 250 juta. Tak bisa masalah-masalah diselesaikan dengan kekuatan dan kekuasaan. Perlu pendekatan kultural,” tutur Mariam yang juga mengasuh mata kuliah Sosiologi Hukum ini.

“Ibu merasa sangat punya kewajiban untuk menjaga agar terus mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Militer, karena kita heterogen dan sangat sensitif. Konflik-konflik banyak di masyarakat. Kalau tak dijaga berbahaya untuk NKRI. Itu cita-cita Ibu supaya tetap mengajar di sana untuk menanamkan filosofi itu,” ujarnya.

Selain itu, Mariam juga berpesan kepada seluruh praktisi hukum untuk berpegang kepada nilai-nilai bangsa Indonesia yang sudah tetap. Ia melihat saat ini hukum yang ada terlepas dari nilai-nilai itu. “Ini yang harus diketahui oleh semua lawyer. Jadi, ada pegangan value yang bersifat tetap sehingga dia tak ragu-ragu atau bingung menghadapi kenyataan,” ujarnya.

Begitulah sosok Mariam. Seorang ahli hukum perdata yang memahami filsafat dan sosiologi hukum dengan baik. Keahliannya pun sudah diakui di mancanegara. Namun, tak pernah melupakan nilai-nilai yang ada di dalam dirinya, termasuk darimana dirinya berasal. Ya, Mariam si anak Langkat.

Di Kesultanan Langkat, sosok Mariam juga cukup disegani. Bahkan, Kepala Kerapatan Adat Kesultanan Negeri Langkat Tuanku Azwar Abdul Djalil Rahmatshah Al Hajj telah memberinya sebuah gelar. “Ibu sekarang bergelar Datuk Cendekia Negeri. Ibu jadi nenek datuk sekarang,” ujarnya.

Banyak gelar sudah yang diperolehnya, tetapi Mariam tetap berbangga dengan gelar itu. Gelar yang cukup menggambarkan bahwa dirinya adalah (salah) seorang “cendekia” hukum di “negeri” ini.

Teman, Guru dan Ibu
Advokat Fauzie Yusuf Hasibuan menilai sosok Mariam sebagai teman, guru dan sekaligus ibu. “Kami sering diskusi, dan bernyanyi-nyanyi. Bahkan sampai jingkrak-jingkrak. Orangnya cukup akrab. Dan selalu terlihat happy,” ujar Fauzie yang mengaku pertama kali mengenal Mariam ketika masuk ke FH USU pada 1974.

Pria yang mengaku dibimbing oleh Mariam sejak S-1 hingga S-2 ini menilai bahwa Mariam memiliki wawasan yang luas, dengan pergaulan internasional yang dimilikinya. “Dia selalu menginspirasi. Orangnya senang bagi-bagi pengalaman, terutama pengalamannya dalam konteks hukum antar negara,” ujarnya.

“Suaminya, almarhum Pak Badrulzaman, seorang lawyer dan dosen di FH USU yang mahir bahasa Belanda dan bahasa Inggris,” tambah salah seorang pengurus Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini kepada hukumonline, Kamis (19/6).

Fauzie yang aktif menulis beberapa buku seputar hukum perdata dan hukum acara perdata ini juga kerap menjadikan pemikiran Mariam sebagai rujukannya. “Dalam buku saya biasanya memang ada referensi beberapa buku, tetapi kalau untuk hukum kontrak biasanya saya merujuk ke Prof. Mariam,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fauzie menuturkan bahwa sosok keibuan dari Mariam bisa dilihat dengan responnya kepada murid-murid beserta keluarganya. “Dia senang kalau kami ini (murid-muridnya,-red) punya keluarga yang akur dan baik-baik, serta sayang dengan keluarga,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait