Herlien Boediono:
Notaris Humble yang Ringan Membagi Ilmu
Srikandi Hukum Part II

Herlien Boediono:
Notaris Humble yang Ringan Membagi Ilmu

Menjunjung tinggi hubungan antar manusia.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Herlien Boediono. Salah satu rumor yang sampai ke meja redaksi hukumonline, ia adalah dosen “killer”. Namun, rumor itu berbeda 180 derajat saat Herlien bersedia diwawancara. Herlien justru menampilkan sifat rendah hati. Dia menyambut baik kedatangan hukumonline dengan hangat di kantornya, Jl. Ahmad Yani, Bandung.

Ruang kerja Herlien lumayan luas. Saat masuk ruangan, tampak pintu dan jendela besar di sebelah kiri yang menembus ke sebuah taman. Terlihat di sudut ruangan, buku-buku tertata rapi di lemari sebagai bahan bacaan Herlien setiap hari.

Herlien lulus sarjana hukum tahun 1966 dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Lalu, Herlien meneruskan pendidikannya di bidang notaris, di Universitas Padjajaran (Unpad). Empat tahun kemudian, ia menyelesaikan kandidat notarisnya. Selama itu pula, benih-benih cinta di bidang notaris mulai tumbuh di dirinya.

Lulus dari Unpad, Herlien memulai karier sebagai karyawan notaris dan bekerja di kantor notaris Prof.Mr. Tan Eng Kiam. Saat diangkat notaris pada 1971, Herlien sempat bingung ketika itu. Temannya, seorang notaris meninggal dunia karena demam berdarah. Istri dari teman notaris tersebut memberikan kesempatan padanya untuk terus menggunakan kantor tersebut. Seiring berjalan waktu, Herlien mampu memiliki kantor notaris sendiri. Dia juga menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah di Bandung sejak 1973 hingga 2007.

Rasa haus Herlien pada dunia keilmuan membawanya menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi. Awalnya, ia menjadi asisten dosen di Unpar dan kemudian sebagai dosen di Unpar dari periode 1996-1991. Sedangkan jabatan dosen di program studi magister kenotariatan di Unpad, dijabatnya sejak tahun 1984.

Namun, Herlien harus off sebentar mengajar di Unpar lantaran mengikuti program doktor di bidang ilmu hukum dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid Universiteit van Leiden, Belanda. Pengorbanan Herlien membuahkan hasil. Pada 2001, ia memperoleh gelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda, dengan judul disertasi “Asas Keseimbangan bagi Hukum Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia.”

Kemudian, ia kembali ke Tanah Air dan memutuskan kembali menjadi dosen di kampus dimana dia dibesarkan, yakni program studi magister Fakultas Hukum Unpar sejak 2002 hingga 2006 dan kembali lagi mengajar di tempat yang sama sejak tahun 2008. Herlien juga pernah menjabat sebagai dosen pada program studi kenotariatan di Universitas Surabaya sejak tahun 2003.

Kini, Herlien hanya mengajar di program magister kenotariatan di Unpad. Di kampus ini, Herlien pernah mengajar tiga mata kuliah. Namun sekarang, Herlien membatasi kesibukan mengajarnya. Sekarang, ia hanya mengajar untuk satu mata kuliah yaitu Teknik Pembuatan Akta dan menulis buku. Alasannya karena sudah berusia lanjut.

Meski hanya mengajar satu mata kuliah dan memberikan bimbingan tesis, Herlien masih aktif dalam menulis buku. Sedikitnya, enam buku telah ia buat. Mulai terjemahan disertasinya, Buku Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (buku kedua), Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian yang ditulis bersama Elly Erawaty (National Legal Reform Program). Dan yang teranyar, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris pada tahun 2013.

Bukan hanya mengajar di sejumlah perguruan tinggi, Herlien juga tercatat aktif di bidang organisasi. Mulai dari kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia (INI) hingga kepengurusan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Dari tingkat daerah hingga pusat. Terakhir, Herlien pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Kehormatan Pusat INI dan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Pusat IPPAT.

Berbagi ilmu dan mengabdi
Herlien menjadi dosen lantaran senang membagi ilmunya kepada orang lain. Sampai kini, tak terhitung jumlah mantan muridnya yang telah menjadi notaris. Bahkan, tak sedikit di antara mantan muridnya yang sudah bergelar guru besar di sejumlah universitas. Prinsip untuk membagi ilmu juga diterapkan Herlien kepada anak didiknya.

Memberi ilmu kepada orang lain merupakan prinsip Herlien dalam mengajar. Prinsip ini diperolehnya dari lima orang panutannya di bidang hukum. Lima orang itu adalah Prof. Soediman Kartohadiprojo, SH, Prof Tan Eng Kiam, Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Prof. R. Subekti, SH, dan Prof. DR. C.F.G Sunarjati Hartono.

“Mereka tidak pernah sayang untuk memberikan dan membagi ilmu. Itu panutan saya,” kata perempuan berusia 71 tahun.

Herlien tak pernah mempedulikan latarbelakang orang yang membutuhkan ilmunya. Suatu ketika, ia pernah didatangi seorang ibu paruh baya dari Kota Cirebon untuk berkonsultasi mengenai pembuatan sebuah akta. Konsultasi dilakukan pada saat kliennya datang ke Bandung bersamaan dengan jadwal kemoterapi untuk mengobati penyakit kanker. Sempat beberapa kali melakukan konsultasi, klien tersebut tak pernah kembali.

Tak lama berselang, adik dari kliennya itu datang ke kantor dengan membawa surat yang dikhususkan untuk Herlien. Dalam suratnya, klien Herlien menulis, jika surat sudah sampai, maka kliennya itu sudah meninggal dunia. Kliennya tersebut pun meminta agar Herlien mau mengurus anaknya. Hati Herlien luluh seketika.

Dia kemudian memutuskan untuk mengurus anak kliennya itu. Hingga kini, anak kliennya disekolahkan di Cirebon. Herlien memandang, tugas notaris bukan hanya membuat akta saja, tapi siap menerima keluhan dari klien. “Jadi kerjaan saya ini, ada hubungan manusia dengan manusia, ini saya hayati semua. Jadi, itu sangat menyentuh,” tutur Herlien.

Pengalaman ini terus membekas didiri Herlien. Ketegaran kliennya tersebut dijadikan Herlien sebagai pengingat untuk tetap bertahan jika menghadapi segala macam persoalan. Menurutnya, apapun masalah yang dihadapi belum tentu seberat masalah yang dialami kliennya itu. “Jika dibanding dia, (masalah, red) saya tidak ada artinya.”

Di mata Herlien, notaris bukan sekadar profesi untuk mencari uang, melainkan sebuah pengabdian kepada masyarakat. Baginya, notaris merupakan pejabat umum yang memiliki peran strategis dalam membuat alat bukti tertinggi berupa surat. Herlien mengkritik generasi baru mengenai profesi notaris. Menurutnya, kebanyakan generasi baru melihat profesi notaris merupakan sarana untuk mencari uang, bukan pengabdian.

Meski mumpuni di bidangnya, Herlien juga terus menggali ilmu untuk kepentingan pendidikan di Indonesia. Misalnya saja, butuh berapa lama magang bagi seorang notaris sebelum terjun ke dunia praktik sesungguhnya. Dahulu (tahun 2004), magang notaris di Indonesia hanya satu tahun. Kini (2014), bertambah menjadi dua tahun.

Di Belanda, menurutnya, magang notaris bisa sampai enam tahun. Walaupun begitu, Herlien tak telan mentah-mentah metode pendidikan Belanda ke Indonesia. Menurutnya, situasi dan kondisi Belanda dengan Indonesia sangat berbeda. Atas dasar itu, perbandingan yang dilakukannya hanya untuk mengambil yang bagus untuk diterapkan di Indonesia.

Keluarga dan Kesehatan
Herlien lahir dari keluarga pedagang. Almarhum ayah Herlien tak ingin seluruh anaknya yang berjumlah sembilan orang tidak mengenyam pendidikan. Terbukti, seluruh saudara kandung Herlien memiliki beragam latar belakang pendidikan, mulai dari sastrawan, insinyur, ekonomi, dokter hingga di bidang hukum.

Dari sembilan bersaudara, selain Herlien, adik bungsunya juga menjadi seorang notaris. Hingga kini, kantor notaris yang berada di Jl. Ahmad Yani, Bandung, juga menjadi kantor notaris bagi adiknya. Sedangkan anak-anak Herlien, tak ada yang mengikuti jejaknya di bidang hukum.

Selain dua anaknya yang berada di Indonesia, Herlien juga memiliki dua anak lagi yang dibawa oleh suami keduanya yang berkewarganegaraan Belanda. Kini, suami Herlien tersebut sudah menjadi warga negara Indonesia dan masuk Islam (mualaf). Suami Herlien telah pensiun sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB), tepatnya di bidang fisika. Dari suaminya itu, Herlien memiliki dua orang cucu. Sedangkan dari anak-anaknya yang di Indonesia, Herlien memiliki empat cucu.

Kesibukannya sebagai dosen dan menulis, tak mengganggu waktu Herlien bersama keluarga. Untuk keluarga besar dengan delapan saudara kandungnya, Herlien memastikan harus ada waktu khusus dengan menyewa tempat khusus agar dapat saling kenal satu sama lain, hingga generasi ketiga. Sedangkan untuk waktu bersama cucunya di Indonesia, Herlien kerap bertemu, terlebih lagi dua cucunya tinggal di kota yang sama dengan Herlien.

Sebagai orang tua, Herlien tak lupa untuk memberikan yang terbaik bagi anak dan cucunya. Bagi Herlien, jika ingin berhasil, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ia merasa, apa yang telah diberi dan diajarkan ke anak-anaknya sudah cukup. Sisanya, tergantung dari rezeki masing-masing. “Jika ingin jadi sesuatu, kamu harus lebih dari rata-rata, kerja dengan sungguh-sungguh,” tuturnya.

Untuk kedua anak dan cucu Herlien yang berada di Belanda, minimal dalam satu tahun Herlien dan suami pergi ke negara yang berbendera merah putih biru itu. Itu pun jika kesehatan Herlien dan suami sedang fit. “Setahun sekali ke Belanda. Selama kami mampu,” katanya.

Di usianya yang sudah lanjut, Herlien sadar, kesehatan merupakan hal yang utama. Selama menjalani kehidupan, ia selalu memandang seluruh persoalan dengan positif. Ia meyakini, jika hidup dijalani secara senang, rasanya akan terasa ringan. Secara kehidupan, apa yang diraih dirasa sudah cukup. Herlien pun mensyukuri nikmat tersebut.

“Umur segini saya bersyukur setiap hari masih diberikan kesempatan. Secara happy, saya sudah mencapai apa yang saya inginkan,” katanya.

Disenangi junior
Dalam kiprahnya di Ikatan Notaris Indonesia (INI), Herlien termasuk senior yang disenangi juniornya. Salah satunya adalah Adrian Djuaini, yang saat ini menjabat KetuaUmumINI. Ia sangat menghormati Herlien. Menurutnya, Herlien merupakan wanita yang rendah hati (humble) dan sosok guru yang tak pelit dengan ilmu. Bahkan, Herlien termasuk rajin dalam mengikuti acara-acara yang digelar INI. Tak jarang Herlien membagi pengalamannya kepada notaris muda dan kiat-kiatnya dalam mengemban profesi notaris.

“Dia selalu menjadi tempat bertanya bagi para notaris muda. Beliau itu orangnya humble,” tutur Adrian.

Kerendahan hati Herlien juga diakui oleh rekan sesama dosen di Unpar, Asep Warlan Yusuf. Asep yang kini menjabat sebagai Kepala Program Studi Doktor Ilmu Hukum Unpar menilai, Herlien merupakan sosok yang bersahaja. Di mata Asep, meski Herlien salah satu dosen yang senior, tapi tak pernah memandang seseorang melalui umur atau jabatan.

“Beliau dosen yang cukup senior, tapi tidak pernah merasa senior. Tetap gaul dan bersahaja. Bahkan, suka menyapa duluan meski senior,” tutur Asep.

Asep juga menilai Herlien merupakan salah satu dosen yang disenangi oleh mahasiswanya. Herlien tergolong dosen yang memegang prinsip bahwa janji, merupakan waktu yang harus ditepati. Mayoritas mahasiswa dan dosen di Unpar, senang bergaul dengan Herlien. Bahkan, Herlien yang merupakan notaris beken di Bandung itu, selalu sederhana, baik dalam berkata maupun perbuatan.

“Padahal makmur, tapi tidak pernah mentereng gayanya. Kantornya tidak mewah, sederhana,” katanya.
Tags:

Berita Terkait