Harprileny Soebiantoro:
Perempuan Pertama di Kursi Jaksa Agung Muda
Srikandi Hukum Part II

Harprileny Soebiantoro:
Perempuan Pertama di Kursi Jaksa Agung Muda

Jaksa perempuan lain yang masih aktif disarankan berani mengambil sikap dan tak khawatir membuat keputusan yang tidak populer.

Oleh:
RFQ/CR-16
Bacaan 2 Menit
Harprileny Soebiantoro di ruang kerjanya. Foto: RES
Harprileny Soebiantoro di ruang kerjanya. Foto: RES

Ruang kerja berukuran empat kali empat meter tertata rapi. Sejumlah buku-buku karya begawan hukum mengisi lemari yang berada di pojok kiri meja kerja. Terpampang di dinding, foto seorang perempuan mengenakan pakaian kebesaran jaksa  kala aktif di Korps Adhiyaksa. Dia adalah Harprileny Soebiantoro, mantan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Ellen, begitu ia biasa disapa,adalah perempuan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dengan predikat cumlaude. Saat menempuh ilmu hukum di FHUI, ia lebih mendalami ilmu keperdataan dan notaris. Meski menempuh ilmu kenotariatan, tapi profesi notaris tak pernah ia jalani. “Jadi saya lebih seneng perdata. Pada saat Jamdatun, alhamdulillah banyak perkara perdata yang selesai,” ujarnya.

Ellen merupakan jaksa perempuan pertama yang menempati kursi Jaksa Agung Muda (JAM) di korps adhiyaksa. Sebelum Ellen, kursi JAM selalu dijabat olej jaksa laki-laki. Kariernya bisa dibilang ciamik. Sejumlah jabatan tinggi pernah dipegang di Kejaksaan. Mulai Jamdatun, Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin), hingga Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum).

Jabatan Jamdatun disandangnya pada 2003. Dia diberikan kepercayaan oleh Jaksa Agung Abdurahman Saleh menempati kursi Jampidum sebagai Pelaksana Harian (PLH) pada 2004, menggantikan Jampidum Haryadi Widyasa yang meninggal dunia. Selain itu, Jaksa Agung Abdurahman Saleh mempercayakan Ellen menempati kursi Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) pada 2005.

Mengawali karier sebagai Kepala Seksi Tata Usaha (Kasie TU) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 1975, Ellen bekerja sangat disiplin. Hingga akhirnya ia diberikan kepercayaan untuk memegang jabatan strategis sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Purbalingga, pada 1992.

Ellen banyak menangani perkara menarik saat menjadi seorang jaksa. Sebut saja perkara korupsi di Jawa Barat. Saat itu, ia menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat pada tahun 2000. Di bawah kepemimpinannya, ia menetapkan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ukman Sutaryan, sebagai tersangka.

Ellen berpandangan, menegakkan hukum terhadap kasus yang menjerat kepala daerah memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Namun, hal itu menjadi tantangan yang mesti dijalani. Baginya, sekalipun pejabat tinggi, hukum mesti tetap ditegakkan. Persamaan setiap orang di depan hukum menjadi pegangan dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum.

“Sepanjang masih dalam koridor hukum, aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya mesti berani, sekalipun menyeret pejabat tinggi,” kata pemilikgelar magister hukum dari Institute of Business Law and Legal Management(IBLAM) Jakarta pada 2001.

Peraih penghargaan Satya Lencana Kesetiaan XX tahun 1995 dari Presiden Soeharto itu berharap hukum berjalan sebagaimana mestinya. Namun sayangnya, pada praktiknya hukum masih dapat diperjualbelikan. Meski telah purnabakti, Ellen tetap mengasah ilmu hukumnya. Kini, ia menjalani profesi sebagai konsultan hukum. Tidak saja soal keperdataan, tetapi pidana dan kenotariatan ia mengaku siap memberikan konsultasi kepada orang yang membutuhkan.

Diancam dan disindir
Menjadi aparat penegak hukum memang penuh risiko. Tidak saja berdebat di persidangan saat menjadi penuntut umum, tetapi kerap mendapat ancaman. Bagi Ellen yang memiliki ilmu bela diri karate, tetap berpegang teguh pada agama dan hukum. Sekalipun ancaman menerpa dirinya, Ellen tetap tenang.

Ellen mengaku pernah diancam polisi berpangkat jenderal saat sedang menangani kasus korupsi. Saat itu, ia menjabat Kajati Jabar. Jenderal polisi itu mengirimkan asisten untuk menemui dirinya. Namun, ia tak menemui asisten tersebut. Menurutnya, teknis penanganan perkara lebih dikuasai oleh asisten dan hal itu sesuai prosedur. Oleh karena itu, asisten polisi itu cukup bertemu dengan asistennya. Tak terima, jenderal polisi bintang dua itu menghubunginya.

Ellen menegaskan, dirinya tak pernah khawatir dengan siapapun, meski yang dihadapinya adalah jenderal polisi. “Terus kenapa kalau bapak polisi. Saya juga bintang dua (di kejaksaan, red). Saya tidak takut gertakan atau apalah,” ujarnya.

Suatu ketika, Ellen juga pernah disindir terkait sejumlah jabatan penting yang ia pegang di korps adhiyaksa. Bagi Ellen, menempati sejumlah jabatan merupakan sebuah proses yang mesti disyukuri. Ia menampik sejumlah tudingan menempati kursi JAM lantaran kedekatan dengan Megawati Soekarno Putri, yang saat itu menjadi seorang presiden.

Ellen memang teman Megawati semasa Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, ia menegaskan menempati kursi JAM merupakan hasil jerih payah dan loyalitas terhadap Korps Adhiyaksa serta prestasi dalam menjalani kariernya. Menurutnya, menempati kursi JAM saat itu memang sudah waktunya.

Ellen menjelaskan, karier jaksa perempuan di korps adhiyaksa seakan sulit menembus hingga level JAM. Dia menyarankan agar jaksa perempuan lain yang masih aktif, berani mengambil bersikap. Tak kalah penting, seorang aparatur penegak hukum harus siap ditempatkan dimanapun dalam menjalankan tugasnya.

Menurutnya, masih banyak jaksa perempuan yang enggan ditempatkan di wilayah lain. Padahal, menempati daerah baru dalam menjalani profesi jaksa merupakan proses menuju karier selanjutnya. Selain berani bersikap, kiat lainnya adalah tak khawatir mengambil keputusan yang tidak populer.

Saat menjabat Kajati Jabar, Ellen pernah meminta anak buahnya mengambil barang bukti hasil tindak pidana perjudian. Ternyata, bawahannya tersebut ‘main mata’ dengan pelaku. Ellen pun mencopot pangkat anak buahnya itu. Persoalan belum selesai. Ellen dipanggil ke Kejaksaan Agung untuk mengklarifikasi soal pencopotan jabatan anak buahnya itu. Maklum, anak buanya tersebut merupakan keluarga salah satu JAM kala itu.

“Terus saya bilang, terus saya gak boleh mencopot anak buah yang kurang ajar kaya gitu?. Ya sudah, TUN kan saya ke pengadilan,” ujarnya.  

Dukungan keluarga
Ayah Ellen adalah pejabat di kepolisian. Semasa kecil, perempuan kelahiran Padang 18 April 1947 itu pernah mengutarakan keinginannya menjadi seorang polisi kepada sang ayah. Namun, keinginannya itu tak disetujui. Dia pun berpikir menjadi seorang jaksa. Terlahir dari keluarga polisi, ia terbiasa hidup disiplin. Hingga menjadi seorang jaksa, keluarga dan suami tercinta mendukung penuh.

Ellen adalah ibu dari lima orang anak. Sikap tegas dan disiplin yang dimiliki dijadikan contoh oleh kelima anaknya. Hingga akhirnya, dua anak perempuannya mengikuti jejak langkahnya menjadi seorang jaksa. Kedua anak Ellen itu adalah Virginia Hariztaviane dan Helena Octaviane.

Bagi Ellen, dukungan keluarga menjadi penyemangat dalam menjalani kariernya sebagai seorang jaksa. Kendati setiap pekerjaan mengalami risiko, namun keluarga menjadi tempat untuk menambah penyemangat dalam menjajajaki profesi sebagai aparatur penegak hukum.

Sebagai jaksa karier, amanah yang diberikan pimpinan ia pegang teguh. Karakter yang tak berubah dari diri Ellen hingga kini adalah sikap tegas seperti kala masih aktif menjadi seorang jaksa. Kerja keras, disiplin, dan memegang teguh hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penegak hukum menjadi prinsipnya.

Terpenuhi dua kriteria
Mantan Wakil Jaksa Agung Darmono menilai Ellen merupakan jaksa perempuan yang berprestasi. Selain berbagai penghargaan telah digondolnya, Ellen memiliki kiprah yang cemerlang. Buktinya, dari sekian jaksa perempuan yang tersebar di kejaksaan di penjuru nusantara, hanya Ellen yang mampu menjadi pejabat eselon I dan menempati kursi JAM.

“Kalau dipandang dari segi kiprahnya, memang dari segi pencapaian karier beliau termasuk salah satu jaksa perempuan yang terbaik selama ini,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada hukumonline.

Darmono yang juga mantan Jambin periode 2009 itu menuturkan, amat jarang jaksa perempuan yang mampu menempati kursi JAM. Malahan, Ellen sempat menduduki kursi JAM hingga dua kali. Darmono mengatakan, Ellen setidaknya telah memenuhi dua persyaratan.

Pertama integritas. Mantan Kajati DKI itu menilai Ellen memiliki integritas yang baik dalam menjalankan tugas sebagai aparatur penegak hukum hingga menjadi pejabat di Kejaksaan. Kedua, Ellen telah memenuhi persyaratan kompetensi. “Yah minimal beliau bisa membuktikan membawa beliau menduduki jabatan JAM sampai dua kali. Minimal persyaratan itu yakni integirtas maupun kompetensi, dan telah memenuhi persyaratan,” katanya.

Pelaksana Tugas Jaksa Agung setelah ‘lengsernya’ Jaksa Agung Hendarman itu mengatakan, saat menjabat Jambin, Ellen telah menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan baik. Sebab, persoalan di bidang pembinaan berkaitan dengan personil, pengelolaan anggaran, kepegawaian dan lainnya telah terprogram dengan perencanaan program kerja tahunan Kejaksaan.

Deputi VI yang membidangi hukum Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Mas Achmad Santosa, memiliki penilaian sama dengan Darmono. Menurutnya, Ellen seorang jaksa perempuan yang memiliki dispilin tinggi.

Pria yang disapa Mas Ota itu mengatakan, saat ia menjadi staf ahli Jaksa Agung Abdurahman Saleh, Ellen sangat aktif mendukung sejumlah program pembaharuan kejaksaan. Ellen merupakan figur jaksa perempuan yang mampu menembus puncak karier di korps adhiyaksa. Berbeda dengan jaksa lainnya, Ellen termasuk jaksa yang membuat kantor kejaksaan menjadi hijau dengan banyaknya tanaman.

Selain itu, Ellen termasuk figur pemimpin yang menjadi panutan jajaran di bawahnya. Alhasil, banyaknya anak buah yang senang bekerja di bawah kepemimpinan Ellen. Ota sendiri mengaku dekat dengan Ellen. “She is kind person. Dia perhatian  dengan orang yang membantu kejaksaan dan mendorong reformasi birokrasi,” katanya.

Di mata Mas Ota, sosok Ellen adalah figur jaksa perempuan yang memiliki pergaulan luas, tegas dan disiplin. Menurutnya, kejaksaan memerlukan jaksa perempuan yang dapat menjadi pemimpin di korps adhiyaksa. Sayangnya, sejak  Ellen purnabakti, belum terlihat jaksa perempuan yang memiliki keberanian dan karier seperti Ellen.

Meski telah pensiun dari korps adhiyaksa, Mas Ota berharap Ellen tetap berkarya dan mengabdi di jalur pendidikan dan hukum. Bahkan, dapat memberikan pengalaman spektakuler sepanjang menapaki jejak karier sebagai seorang jaksa perempuan yang mumpuni.

“Saya kira beliau harus sering-sering membagi ilmu kepada jaksa muda di Pusdiklat. Di samping universitas-universitas juga bisa mendayagunakan ilmu dia baik di hukum pidana, praktek hukum dan tata usaha negara dan sebagainya,” pungkas mantan anggota Satgas Pemberantas Mafia Hukum itu.

Tags:

Berita Terkait