Arie Sukanti Hutagalung:
Dari Resepsionis Jadi Ahli Hukum
Srikandi Hukum Part II

Arie Sukanti Hutagalung:
Dari Resepsionis Jadi Ahli Hukum

Kerja keras mengantarkannya sebagai ahli hukum agraria.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Begitulah kira-kira perumpamaan yang menggambarkan jumlah ahli hukum agraria di Indonesia. Dari ahli-ahli hukum agraria yang terbilang tidak banyak itu, salah satu diantaranya adalah Arie Sukanti Hutagalung dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Kedudukannya yang berada di ibukota membuat Arie sibuk hilir mudik menjadi ahli hukum pertanahan. Ia banyak menerima undangan sebagai narasumber dari lembaga legislatif, Badan Pertanahan Nasional, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi.

Belum lagi, firma hukum Arie Hutagalung and Partners yang ia jalankan bersama suaminya terus kebanjiran permohonan konsultasi dari para developer perumahan maupun pelaku usaha lain yang bersinggungan dengan masalah tanah.

“Sebagai guru besar, sehari-hari saya juga memiliki kewajiban mendidik mahasiswa. Banyak yang meminta saya menjadi promotor doktornya. Saya juga merasa harus mengkader para asisten saya agar terus mengasah keahlian mereka. Saya dorong mereka untuk menulis buku. Mau tidak mau, saya fasilitasi mereka,” tutur Arie.

Kepakaran wanita berusia 63 tahun itu tak perlu diragukan lagi. Ia memperoleh gelar Master of Science in Legal Institution (MLI) dari University of Winsconsin Law School, Amerika Serikat. Dia tidak segan-segan mengekspresikan opininya dengan keras dan tegas mana kala apa yang diungkapkan itu diyakininya sebagai suatu kebenaran.   

Salah satu hal yang dikritiknya adalah penggunaan kata landreform. Frasa tersebut jika dimaknai secara harafiah menurutnya malah membingungkan. Hal ini karena istilah land memiliki lebih dari satu makna, sedangkan istilah reform mempunyai arti mengubah sesuatu dalam konteks ke arah yang lebih baik.

Saat diminta menjadi narasumber ahli pertanahan oleh Panja Penyusunan rumusan RUU Pertanahan Komisi II DPR RI pada 19 September 2012, ia mengkritik Bagian Ketujuh Hak Guna Ruang Atas Tanah yang dinilainya tidak konsisten dengan UUPA.

Menurutnya, permukaan bumi tidak ada hubungannya dengan Hak Guna Ruang Bawah Tanah dan Hak Guna Ruang atas Tanah. Ia kemudian mencotohkan Hak Guna Ruang atas Tanah MRT di Jepang dan Hong Kong, yang bukti kepemilikan atas ruang atas tanah dapat diagunkan ke bank. Hal tersebut berbeda dengan di Indonesia, seperti contohnya penggunaan ruang bawah tanah di Blok M yang tidak jelas kepemilikannya.

Kritik lainnya seputar perselisihan di rusun antara penghuni dengan pengelola yang seringkali dengan mudahnya di bawa langsung ke meja pengadilan. Menurutnya, pihak yang bersengketa seharusnya terlebih dahulu mempergunakan mekanisme internal yang telah ada. Hal tersebut diungkapkannya ketika menjadi pembicara dalam sebuah seminar bertajuk “Diskursus: Comparative Study of Condominium Law” di Fakultas Hukum UI Depok 2010.

Mekanisme yang dimaksud Arie adalah menaati peraturan yang telah disepakati bersama antara penghuni dan pengelola tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak. Artinya, baik pengelola maupun penghuni harus mau melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.

Seandainya ada pelanggaran yang dilakukan penghuni, pengelola seharusnya memberikan peringatan, melakukan tindakan hukuman sesuai kesepakatan bersama, atau bisa juga melakukan proses mediasi terlebih dahulu.

Di samping itu, Arie masih rajin menulis buku dan artikel di jurnal ilmiah. Ia pun telah melanglang buana di berbagai proyek internasional. Bahkan, ia diangkat sebagai konsultan Bank Dunia.

Tentu, jam terbangnya yang tinggi itu menuntut Arie harus senantiasa bersentuhan dengan teknologi. Namun siapa sangka, perempuan bersahaja itu justru mengaku gagap teknologi. Ia mengungkapkan, selama ini dirinya dibantu oleh seorang asisten pribadi. Bahkan, dalam urusan yang terkait dengan penggunaan telepon genggam.

“Pakai internet pun saya dibantu anak saya kalau di rumah. Saya ini gaptek alias gagap teknologi,” ujarnya diiringi tawa renyah.

Arie menceritakan, dia memang memiliki masalah dengan kesehatan mata. Oleh karena itu ia membutuhkan bantuan asistennya untuk urusan yang berkaitan dengan teknologi. Arie pun mengaku beruntung karena Septi, asistennya yang sudah bersama selama lebih dari 12 tahun, itu sabar dan dapat diandalkan.

Keluarga Nomor Satu
Bagi Arie sesibuk apapun dirinya, Sabtu dan Minggu hanya untuk keluarga. Sebagai seorang istri dan ibu, ia berusaha menjadikan keluarga sebagai prioritas. Arie mengatakan, kepuasan batin mengurus keluarga tak dapat digantikan hal lain. Oleh karena itu, ia senantiasa menikmati kebersamaannya bersama sang suami dan dua orang putrinya.

“Buat saya, kebersamaan dengan keluarga bukan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitasnya,” imbuh Arie.

Arie sempat bergantung pada baby sitter saat membangun karier yang baru menanjak. Ia pun harus menelan pengalaman pahit tatkala mengetahui baby sitter-nya sering memberi obat tidur kepada anaknya yang masih balita. Hal itu dilakukan agar sang pengasuh bisa asyik bercengkerama dengan pengasuh bayi tetangganya.

“Namun pengalaman itu tak menyurutkan langkah saya untuk terus bermanfaat bagi banyak orang. Bagi saya, menjalani profesi ini ibadah. Alhamdulillah suami terus mendukung dan anak-anak bisa mengerti,” paparnya.

Bukan Resepsionis Biasa
Ahli hukum agraria yang kini telah tiada, Budi Harsono dan ahli sosiologi hukum, Soerjono Soekanto merupakan panutan seorang Arie Sukanti Hutagalung. Dari kedua profesornya itu, ia belajar untuk selalu sabar, berpikir sistematis, dan banyak membaca. Hingga akhirnya, Arie terus berprinsip menjadi orang yang selalu disiplin dan bekerja keras.

Arie mengaku, sebelumnya tak pernah terpikir olehnya berkecimpung di dunia hukum. Ia awalnya hanya seorang resepsionis di Kedutaan Besar Srilanka. Menjadi yatim sejak usia 15 tahun menuntut Arie turut membantu sang bunda menopang ekonomi keluarga. Semangat bekerja keraslah yang membuatnya berani mendaftar pada program ekstensi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kemudian, ia kuliah sambil tetap bekerja.

“Saya itu awalnya tertarik dengan hukum agraria karena tertantang saja oleh almarhum Prof. Budi Harsono yang ‘killer’. Eh, malah saya jadi mahasiswa favorit mata kuliah beliau. Nilai saya yang selalu bagus membuat beliau tertarik mengangkat saya sebagai asisten,” kenang Arie.

Sejak jatuh cinta dengan hukum agraria, Arie semakin yakin untuk menekuni bidang itu. Ia bilang, dirinya terus fokus dan tak tergoda menjajal bidang lain seperti litigasi atau hukum bisnis. Kemantapan hati itu pun terbayar dengan tawaran beasiswa melanjutkan S2 ke Amerika.

Sayangnya, kisah pilu sempat mengguncang keteguhannya untuk mendalami ilmu hukum agraria. Di tengah perjuangan menyelesaikan studi di negeri Paman Sam, Arie didera putus cinta. Tunangannya sekonyong-konyong memutuskan ikatan komitmen di antara mereka.

“Saat itu saya sempat berpikir tak akan menikah. Tetapi ternyata itu malah menjadi titik balik yang membuat jalan hidup saya lebih indah. Saya bertemu laki-laki idaman yang sekarang menjadi suami saya. Sekarang kita saling mendukung dan bersama-sama mendirikan firma hukum yang bergerak di bidang agraria. Alhamdulillah…”

Kini, bersama suaminya ia ingin meneruskan cita-cita Budi Harsono. Ia ingin masyarakat dapat merasakan manfaat dari ilmunya di bidang hukum tanah. Firma hukumnya itu tak hanya memberikan konsultasi bagi perusahaan-perusahaan besar. Arie terbuka memberikan bantuan hukum pro bono bagi masyarakat miskin yang sering kali terbelit masalah hukum tanah.

Lagi-lagi, mewujudkan cita-cita itu menuai tantangan. Ia pernah menjadi korban perampokan para bajing loncat saat harus terjun ke desa-desa mengurus masalah pertanahan. Tapi di sisi lain, Arie puas dengan kebahagiaan yang ia dapatkan dari kerja kerasnya itu.

“Saya tak menyangka ketika masyarakat korban penggusuran Tol JORR-W2 Petukangan Jakarta, datang ke kantor saya bawa karangan buah. Mereka bilang, saya sudah sangat membantu mereka karena mau menjadi ahli yang tak dibayar dalam sidang mereka. Bahagia rasanya…” pungkas Arie.

Perfeksionis
Harsanto Nursadi, pengajar Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FHUI, menilai Arie Sukanti Hutagalung merupakan wanita yang perfeksionis. Dia mengaku pernah beberapa kali terlibat dalam proyek yang dipimpin oleh Arie. Belum lama ini misalnya, dia bersama Arie melakukan kajian untuk Rancangan Peraturan Daerah tentang Ruang atas dan Bawah Tanah DKI Jakarta.

Dari pengalaman-pengalaman bekerja sama dengannya, ia merasa Arie sangat perfeksionis—disiplin, tegas, dan detail. Walaupun begitu, ia menilai Arie orang yang sangat humanis. Kepedulian dan perhatiannya cukup besar kepada para kolega maupun mahasiswa.

H. Sarno,warga Petukangan Selatan yang merupakan Korban Penggusuran Tol JORR-W2,berpandangan Arie merupakan orang yang dermawan. Dia tak sungkan membantu menjadi ahli kasus yang dihadapi Sarno tanpa dibayar. Bahkan, untuk ongkos Arie harus mengeluarkan biaya sendiri. Keterangannya pun tidak berat sebelah.

“Apa yang disampaikan hanya kebenaran sebagaimana yang ada dalam peraturan. Namun hal itu sangat membantu kami karena warga menjadi tahu bahwa posisi kami memang terpinggirkan,” katanya.
Tags:

Berita Terkait