Harkristuti Harkrisnowo:
Di Antara Meja Dosen dan Kursi Dirjen
Srikandi Hukum Part II

Harkristuti Harkrisnowo:
Di Antara Meja Dosen dan Kursi Dirjen

Ia dinilai punya kapasitas pribadi mengembangkan kebijakan HAM. Punya pesan khusus untuk calon presiden dan wakil presiden.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sebuah perhelatan yang dihadiri ratusan orang berlangsung di ruang Djokosoetono kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Juni lalu. Bagian Pidana FHUI meluncurkan kertas posisi "RKUHP: Kodifikasi atau Kompilasi?". Manakala uraian masuk ke tindak pidana korupsi, nama Harkristuti Harkrisnowo disebut-sebut.

Bu Tuti –begitu mahasiswa memanggilnya—memang hadir dalam perhelatan itu. Tetapi bukan kehadirannya yang membuat namanya disebut, melainkan pandangan-pandangan yang disampaikan Harkristuti mengenai prokontra hakim pemeriksa pendahuluan, penyadapan, dan penyelidikan dalam RUU KUHP. Harkristuti memang meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu galau dengan beragam ‘serangan’. Komisi ini ‘masih diperlukan memberantas korupsi’.

Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA begitu nama lengkap dan gelar akademiknya. Harkristuti adalah seorang dari sejumlah perempuan Indonesia yang mendalami ilmu hukum pidana. Dengan latar belakang keilmuan tersebut, tak mengherankan jika pandangan-pandangannya banyak disitir. Ditambah dengan jabatannya saat ini, Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Prof. Harkristuti menjadi orang pemerintah yang perlu menjawab kesalahpahaman RUU KUHP.

Selama puluhan tahun Harkristuti bergelut di bidang pidana sebagai akademisi. Puncak karier akademisnya adalah ketika diangkat sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Maret 2003. Di sini pula ia pernah menjadi Kepala Bagian Hukum Pidana di FHUI.

Orang yang sangat berjasa membawa Harkristuti ke jalur pidana adalah Prof. Mardjono Reksodiputro, kini Sekretaris Komisi Hukum Nasional (KHN). Ketika masih mengerjakan skripsi bidang hukum perdata internasional, Harkristuti diajak Prof. Mardjono masuk Pusat Studi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana yang ia pimpin. Prof Mardjono pula yang mendorong Harkristuti ikut tes beasiswa Fullbright ke Amerika Serikat. Padahal saat itu dia sedang menyusun proposal tesis di FHUI.

Berkat dorongan Prof. Mardjono, kesempatan belajar ke Texas akhirnya diambil Harkristuti. Dari College of Criminal Justice System, Sam Houston State University, Texas, pula perempuan kelahiran 25 Januari 1956 itu memperoleh gelar MA (1988) dan Ph.D (1991).

Harkristuti bukan hanya mendapatkan pelajaran pidana dari sang profesor, tetapi juga pelajaran lain di luar pidana seperti berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Harkristuti terus dibawa Prof Mardjono ‘berkelana’ mencari pengalaman, mulai dari Konsorsium Ilmu Hukum hingga KHN.

Dirjen HAM
Sebuah tantangan besar dihadapkan pada Harkristuti: bekerja di birokrasi. Ia diangkat menjadi Dirjen Perlindungan HAM. Dengan jabatan itu, Harkristuti bertugas merancang kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersinggungan dengan HAM. Salah satu yang dihasilkan adalah Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM).

Kepada hukumonline, Harkristuti menegaskan betapa penting dan urgennya mendorong aparatur pemerintah paham dan sadar HAM. Ini adalah pekerjaan rumah yang akan terus ada dan harus didorong. “Bukan hanya attitude-nya tapi behavior dan program-program yang dilaksanakan harus menunjukan adanya perspektif HAM,” katanya, 23 Mei lalu.

Pekerjaan rumah itu tak mudah diselesaikan. Bukan lantaran keterbatasan SDM. Implementasi program-program HAM tak mungkin jalan tanpa dukungan dari instansi pemerintah di luar Kemenkumham, pemerintah pusat dan daerah. Melibatkan masyarakat sipil, menurut Harkristuti, juga diperlukan untuk merangkul dan menggerakkan semua elemen.

Sejumlah karya dihasilkan. Modul-modul pelatihan HAM sudah ada. Pedoman penyusunan peraturan daerah berbasis HAM pun sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri. Regulasi ini memuat parameter HAM yang harus dimasukkan ke Peraturan Daerah, sehingga substansinya tidak lagi melanggar peraturan yang lebih tinggi. Bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Harkristuti terjun ke daerah melakukan penyuluhan dan diseminasi.

Dari kunjungannya ke berbagai daerah, Harkristuti melihat dan mendengar langsung bagaimana orang memandang isu HAM. Ada yang menyebutkan HAM warisan Barat, ada pula yang menyebut konsep HAM bertentangan dengan ajaran agama. Harkristuti dan anak buahnya, tentu, harus memberikan penjelasan yang bisa dipahami.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, tidak meragukan kapasitas pribadi Harkristuti untuk mengurusi bidang HAM. Kepakarannya diakui banyak kalangan, sehingga menjadi modal penting untuk menangani isu-isu hak asasi. “Dia punya kapasitas,” puji Haris.

Cuma, program-program HAM tak bisa diselesaikan Harkristuti sendirian. Kalau tak ditopang tim kerja dan koordinasi lintas sektor, mustahil persoalan-persoalan hak asasi bisa diselesaikan. Haris melihat kerja tim HAM di Tanah Air belum maksimal. Padahal substansi hukumnya cukup memadai.

Melihat kapasitas sang Dirjen, Haris sebenarnya berharap banyak ada terobosan dari pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu. Dari sisi ini, ia menilai Harkristuti belum maksimal. “Belum sukses memunculkan sebuah effort, sebuah cara untuk memitigasi, menyelesaikan dimana hukum itu tidak berjalan dalam konteks penegakan atau perlindungan HAM,” ucapnya.

Namun Haris menggarisbawahi masalah ini tak berpangkal pada kapasitas individu seorang Dirjen HAM. Kemauan politik pemerintahan lebih menentukan. Harkristuti justru bertugas menyediakan kerangka acuan bagi pusat dan daerah agar menerbitkan regulasi yang selaras dengan HAM. Sebaliknya, mendorong pemerintah melakukan intervensi ke daerah yang membuat regulasi tak selaras HAM.

Harkristuti sebenarnya bukan orang baru di isu ini. Sebelum diangkat jadi Dirjen, ia pernah tercatat sebagai Ketua Sentra HAM FHUI. Karena itu pula, saat diwawancara, ia begitu bersemangat bicara tentang program pengembangan HAM di daerah dan tentang perda-perda yang ditengarai melanggar HAM, yang sudah diusulkan pembatalannya ke Kementerian Dalam Negeri.

Harkristuti masih punya pekerjaan rumah: bagaimana agar semua aparat negara memahami HAM sebagaimana diamanatkan konstitusi. Dalam berbagai kebijakan, aparat negara perlu mempertimbangkan HAM sebelum mengeluarkan kebijakan atau mengambil tindakan. Sebaliknya, ia juga meminta masyarakat tak membelokkan isu HAM atau menjadikan isu ini justru untuk melanggar HAM.

“Secara keseluruhan PR saya di sini masih sangat banyak, tapi yang terpenting bagaimana membudayakan HAM,” ujar perempuan yang pernah mengikuti pelatihan di markas Komisi Tinggi PBB untuk HAM di Turin, Italia.

Masih Mengajar
Sekalipun sibuk mengurusi Ditjen HAM, Harkristuti masih menyempatkan diri mengajar dan membimbing mahasiswa. Cuma, ia tak bisa lagi tiap hari mengajar sebagaimana dulu ia lakukan. Mengingat kesibukannya, ia tidak bisa rutin mengajar. Tetapi sebisa mungkin profesi itu dijalani. Kalau tak bisa di kampus, mahasiswanya datang ke ruang kerjanya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Harkristuti mengaku selalu berupaya total dalam mengajar dan memberi bimbingan kepada murid-muridnya. Dengan begitu diharapkan murid-muridnya bukan hanya cakap di bidang keilmuan dan pengetahuan tapi juga nuraninya. Ia mengingat ada sejumlah muridnya yang menjabat pimpinan di lembaga pemerintahan. Tapi ia sangat sedih kalau muridnya terjerat kasus, terutama korupsi.

Di sela kesibukannya, Harkristuti berusaha menyempatkan waktu untuk hobinya yaitu jalan-jalan bersama binatang peliharaan. Sehari dua kali selama ia meluangkan waktu mengajak jalan-jalan anjing kesayangannya. Selain hal tersebut, dia tidak punya hobi lain yang spesifik. “Kalau olahraga paling jalan kaki sama anjing saya, sejam sehari. Jadi pagi setengah jam lalu malam setengah jam,” katanya.

Harkristuti menilai jabatannya sebagai Dirjen bukan sebuah capaian. Ia pun tidak pernah menargetkan menjadi Dirjen. Begitu pula ke depan, ia tidak berharap memegang sebuah jabatan di pemerintahan. Apalagi menduduki jabatan politik tertentu seperti menteri. Baginya hal itu tidak mungkin terjadi karena ia tidak berafiliasi dengan partai politik (parpol) manapun.

Pesan untuk Capres
Pada masa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 ini Harkristuti melihat visi dan misi yang dibuat kedua pasang capres-cawapres tidak ada yang buruk. Yang penting bagaimana mengimplementasikannya. Menurutnya, pemerintahan mendatang tidak perlu rumit membangun Indonesia yang berperspektif HAM. Cukup mengimplementasikan amanat yang ada dalam Konstitusi. Indonesia butuh pemimpin yang bisa memahami konstitusi dan mengerti bagaimana menjalankannya serta punya hati nurani. “Jadi kuncinya bagaimana menjalani program-program (visi dan misi) itu,” urainya.

Misalnya, Harkristuti melanjutkan, dalam visi dan misi kedua pasangan capres-cawapres menyinggung soal kedaulatan pangan. Sekarang bagaimana mengimplementasikannya jika hampir semua pangan yang ada di Indonesia  hasil impor.

Ia juga risau dengan penggundulan hutan, illegal logging. Penebangan liar yang dilakukan masyarakat, menurut Harkristuti, harus dicari akar permasalahannya karena itu bersinggungan dengan HAM. Pemenuhan HAM yang terkendala digulirkan kepada masyarakat, khususnya di sekitar wilayah hutan memicu masyarakat melakukan illegal logging. Oleh karenanya pemerintahan ke depan harus aktif melibatkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Seperti masyarakat hukum adat. “Pengaturannya harus melibatkan mereka,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait