Menteri Agama Akui Kontribusi Munir Terhadap HAM
Berita

Menteri Agama Akui Kontribusi Munir Terhadap HAM

Berkat dorongan publik, bidang HAM diatur secara resmi dalam regulasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi Solidaritas untuk Munir. Foto: SGP
Aksi Solidaritas untuk Munir. Foto: SGP
Munir Said Thalib atau dikenal Munir, merupakan tokoh sekaligus aktivis yang berkontribusi dalam membangun demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia. Tragisnya,  Munir akhirnya dibunuh dalam perjalanan studi menuju Belanda.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengakui konstribusi Munir dalam pengembangan dan pengakuan HAM di Indonesia. Menurut pengganti Suryadharma Ali ini, Munir berperan penting dalam merancang lahirnya TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada masa reformasi itulah pertama kalinya piagam HAM dimasukkan dalam hukum resmi di Indonesia.

Ketika itu Lukman menjabat sebagai badan pekerja MPR. Menindaklanjuti TAP MPR No. XVII Tahun 1998 itu maka lahirlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Setahun kemudian, pertama kali HAM termaktub dalam konstitusi, yang disusun dalam bab khusus dan jumlah pasalnya paling banyak daripada ketentuan di bidang lain.

“Setiap kali saya baca regulasi HAM yang sumbernya konstitusi (UUD RI 1945), TAP MPR dan Undang-Undang, saya tidak bisa lupa mengenang Munir. Karena kontribusi dia sangat besar,” kata Lukman dalam kuliah umum bertema Ramadhan dan HAM yang digelar Omah Munir di Jakarta, Rabu (02/7).

Selain berkontribusi terhadap pembangunan HAM di Indonesia, Lukman mengakui berkontribusi terhadap dirinya secara pribadi. Lukman bercerita, ketika bekerja di Badan Pekerja MPR pengetahuannya tentang HAM masih terbilang minim. Munirlah yang banyak memberikan wawasan lewat diskusi atau acara lain.

Lukman menjelaskan tantangan HAM yang dihadapi Indonesia itu terkait masa lalu, sekarang dan masa depan. Terutama masih adanya pemahaman dari kelompok ekstrim tentang HAM. Pertama, ada kelompok ekstrim yang berpandangan HAM itu sesuatu yang bebas tanpa batas. Padahal, kebebasan yang dimiliki dibatasi oleh kebebasan orang lain. Oleh karena itu selain hak yang melekat, seseorang juga punya kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

Kedua, Lukman melanjutkan, ada pemahaman sebagian masyarakat yang merasa dirinya paling benar atau fanatik. Sehingga mereka memaksakan keyakinannya untuk diyakini orang lain. Tak jadi soal jika kebenarannya itu hanya untuk diri sendiri. Sebaliknya, akan jadi persoalan, kalau kebenaran yang diyakini kelompok dipaksakan untuk menjadi kebenaran orang lain. “Makanya kita harus memberikan pemahaman yang benar. Omah munir berperan agar masyarakat punya pemahaman yang benar terhadap HAM,” ujarnya.

Lukman mengakui masih ada regulasi yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penghormatan kepada HAM. Begitu pula dengan proses penegakan hukum. Sebagai pejabat negara yang diberi amanah memberikan perlindungan terhadap kehidupan beragama, Lukman berjanji mengundang berbagai komunitas keyakinan yang selama ini disebut sebagai minoritas untuk berdialog.

Lewat dialog itu diharapkan dapat memperbaiki dan mendorong promosi yang dilakukan pemerintah atas hak berkeyakinan agar lebih baik. Dalam ranah penegakan hukum ia juga berharap kinerja aparat penegak hokum ditingkatkan agar HAM dapat ditegakan dalam kehidupan setiap hari.

Pegiat HAM sekaligus akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Karlina Supeli, menegaskan korban pelanggaran HAM sampai saat ini tidak berhenti menuntut penyelesaian yang dilakukan pemerintah. Dalam situasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, isu pelanggaran HAM masa lalu kerap dituding sebagai politisasi HAM.

Menurut dia, tudingan politisasi itu tak benar. Sebelum Pilpres 2014 digelar pun korban terus menyuarakan agar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu segera dituntaskan. “Situasi Pilpres ini memang menciptakan peluang politik untuk lebih keras menyuarakan pelanggaran HAM masa lalu,” urai Karlina.

Bagi Karlina, rakyat punya hak untuk mengetahui siapa calon pemimpinnya. Apalagi jika ada indikasi terlibat kasus kemanusiaan. Menurutnya penuntasan kasus pelanggaran HAM tidak cuma penting untuk mengejar pelakunya. Tapi juga harus mengubah perspektif yang menyebabkan pelanggaran HAM itu terjadi.

Karlina mencatat sepanjang sejarah Indonesia belum pernah ada pengusutan tuntas pelanggaran HAM berat. Apalagi pemulihan atas hak hak korban. “HAM itu syarat minimum agar sebuah negara, setiap orang terjamin memenuhi eksistensinya sebagai manusia. Pelanggaran HAM itu pelanggaran terhadap kemanusiaan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait