Masih Banyak Perdebatan, Pembahasan RUU Kebudayaan Akan Ditunda
Berita

Masih Banyak Perdebatan, Pembahasan RUU Kebudayaan Akan Ditunda

RUU Kebudayaan ini seharusnya memfasilitasi, bukan membatasi.

Oleh:
Mar
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: SGP.
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: SGP.
Kekhawatiran para seniman bahwa RUU kebudayaan akan diketok dalam waktu singkat tanpa pertimbangan yang matang, untuk sementara bisa dikesampingkan. Pasalnya, Komisi X DPR menyatakan tidak akan menyelesaikan RUU Kebudayaan di periode sekarang.

Para seniman kompak bersuara agar draft RUU Kebudayaan tidak diteruskan pembahasannya di DPR periode saat ini, karena rumusan draft tersebut jauh dari harapan dan dikhawatirkan akan mengekang kebebasan dalam mengembangkan seni dan kebudayaan.

“Jadi saya kira dalam sisa waktu DPR ini sebaiknya RUU di tunda, nanti dengan DPR selanjutnya baru kita bahas tentang RUU Kebudayaan yang benar-benar riil dengan kebutuhan di lapangan,” ujar Ketua Pengurus KSI M. Abduh Aziz setelah acara diskusi “RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera?” di Jakarta, Kamis (3/7).

Menurut Abduh, draft RUU Kebudayaan itu memiliki dasar yang harus dikritisi, karena semata-mata berdasarkan ketakutan terhadap pengaruh buruk globalisasi. Alasan itu menurut Abduh sangat absurb, karena Indonesia memiliki sejarah panjang terkait globalisasi. Kebudayaan Indonesia sudah lama bercampur dengan kebudayaan China, Hindu, Arab, Eropa dan segala macam.  

Ia berpendapat RUU kebudayaan ini seharusnya berisi bagaimana mengembangkan potensi yang dimiliki bukan dibatasi. Namun, lanjutnya, bila membaca pasal demi pasal dalam draft UU kebudayaan ini malah sebaliknya. Misalnya ada pasal mengenai pengelolaan perencanaan pengendalian kebudayaan dilakukan oleh pemerintah. “Kemudian ada komite nasional pengendalian kebudayaan ini menjadi problem lagi buat kita, apakah ini lembaga sensor kebudayaan atau apa?” jelasnya.

Abduh meminta pemerintah dan DPR memetakan dahulu kebutuhan masyarakat daripada ujug-ujug berbicara pengendalian. Menurutnya, kebutuhan masyarakat cukup sederhana, yaitu dukungan yang berkelanjutan dan pengembangan infrastruktur. “Kenapa tidak soal-soal semacam itu yang diatur, sekolah tinggi seni budaya cuma enam, sekolah film cuma satu di Indonesia kenapa tidak soal-soal semacam itu yang diatur,” paparnya.

Akademisi dari Universitas Indonesia (UI) Hilmar Farid juga berpendapat senada. Menurutnya, banyak hal yang perlu diperdebatkan dalam draft RUU kebudayaan, karena itu sebaiknya ditunda jangan diputuskan dalam sisa waktu masa DPR sekarang. “Saya kira kalau bicara apa yang ideal adalah dengan memperjelas apa sih yang akan diatur oleh undang-undang ini karena masih ada perbedaan pendapat,” ujarnya.  

Namun, lanjutnya, dari pembicaraan dengan DPR dan pemerintah, RUU ini mengerucut pada dua arah di satu sisi ingin membantu melindungi warisan budaya dan sejarah, di sisi lain RUU ini diharapkan bisa mendorong kegiatan kreatif dari masyarakat dalam berbagai bentuk. Jadi ada dua fungsi di sini perlindungan di satu sisi pemajuan dan promosi di sisi lain.

“Tetapi hal itu yang tidak kelihatan di draft yang ada sekarang, meski sudah disebutkan sedikit di sana sini tapi bukan suatu konsepsi yang bulat,” jelasnya.

Menanggapi hal itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan menjelaskan yang terpenting saat ini adalah bagaimana pengelolaan kebudayaan ini berlangsung baik agar tumbuh dan berkembang. Tugas pemerintah ada dua. Pertama, memfasilitasi tumbuh kembangnya kebudayaan. Kedua, regulasi untuk melindungi produk kebudayaan atau warisan kebudayaan.

“Memfasilitasi bukan mengekang, itu untuk tumbuh kembangnya kebudayaan, tetapi ada yang juga perlu dikekang yaitu orang yang merusak kebudayaan harus di kekang. Misalnya orang yang tidak menghargai kebudayaan atau misalnya merusak situs-situs kebudayaan,” jelasnya.  

Anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati mengatakan saat ini masih banyak perdebatan terkait draft RUU kebudayaan baik di kalangan DPR maupun antara DPR dan pemerintah. Namun RUU ini tidak ditujukan untuk mengekang kebudayaan, tetapi untuk melindungi dan membantu tumbuh kembangnya kebudayaan.

“Kita tidak mengekang justru kita memberikan ruang untuk hidupnya industri kreatif. Sekarang anggaran untuk film sedikit, anggaran untuk pelaku seni sedikit, nah itu nanti di tambah diperbesar, intinya adalah para pelaku seni bisa berkembang dengan anggaran yang cukup,” ujarnya.

Selain itu tujuan dari RUU ini untuk menjaga nilai-nilai luhur kebudayaan. Nilai-nilai luhur juga perlu difasilitasi agar berkembang dengan cara di formilisasi dalam sebuah konsep dan dilaksanakan oleh sebuah institusi agar bisa mendapatkan anggaran.

Lebih lanjut, Reni mengatakan bahwa para pelaku seni dan kebudayaan tidak perlu khawatir dengan RUU kebudayaan yang ada saat ini karena draft tersebut belum final dan DPR membuka masukan dan saran dari masyarakat. RUU ini juga tidak akan diselesaikan pada DPR periode sekarang karena masih banyak perdebatan dan perbedaaan pandangan.
Tags:

Berita Terkait