Saksi Korban Berharap Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM
Berita

Saksi Korban Berharap Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM

Bentuk dukungan dituangkan dalam surat terbuka.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sejumlah saksi korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998 seperti Mugiyanto, Raharja Waluyo Jati, Faisol Riza, Nezar Patria dan aan Rusdianto menyatakan dukungan kepada capres-cawapres yang mengusung program penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu. Bentuk dukungan itu dituangkan dalam bentuk surat terbuka yang dilayangkan langsung kepada capres-cawapres nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Menurut salah satu korban, Raharja Waluya Jati, mengatakan korban menaruh harapan dan kepercayaan kepada calon presiden, khususnya Jokowi-JK. Jati mengatakan korban dan keluarganya berharap agar 13 korban yang belum kembali dapat ditemukan. “Banyak yang belum kembali seperti Suyat dan Wiji Tukhul,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (04/7).

Jati menilai posisi korban dan keluarga penghilangan paksa aktivis 1997-1998 sudah jelas. Mereka meyakini kasus tersebut melibatkan institusi resmi negara, dan  berkaitan dengan kebijakan politik yang diterbitkan pada waktu itu. Karena itu pula penyelesaian kasus itu merupakan tanggung jawab negara.

DPR sebenarnya sudah menerbitkan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Rekomendasi tertanggal 15 September 2009 itu meminta Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. Institusi pemerintahan dan pihak terkait diminta melakukan pencarian kepada 13 orang yang dinyatakan Komnas HAM masih hilang.

DPR juga merekomendasikan untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Lalu merekomendasikan pemerintah segera meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa. Mengingat selama ini dua periode pemerintahan di bawah Presiden SBY tidak mampu melaksanakan rekomendasi itu, korban berharap pada pemerintahan yang akan datang. Selaras hal itu korban mempercayakan amanat itu untuk dilaksanakan Jokowi-JK.

Jika pasangan yang didukung sejumlah saksi korban terpilih tapi tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Jati menegaskan korban dan keluarganya bakal berupaya mencari terobosan agar kasus itu tidak dilupakan. Mereka juga terus berupaya mencari korban yang belum kembali dan menyelesaikan kasus ini secara tuntas. Tentunya dengan skema tanggungjawab negara.

Sementara untuk pasangan kandidat lain, Jati mengatakan korban dan keluarganya tidak akan menyerahkan penuntasan kasus tersebut kepada pihak yang menjadi bagian dari permasalahan. “Kami ingin penyelesaian kasus ini dilakukan secara tuntas,” urainya.

Jati mengatakan ia ditangkap bersama rekannya, Faisol Riza pada 12 Maret 1998 ketika melarikan diri ke RSCM dari kejaran intelijen. Ketika peristiwa itu terjadi Jati bersama Faisol usai menghadiri jumpa pers tentang penolakan pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Setelah ditangkap, Jati diinterogasi dengan mata tertutup selama 5-7 hari. Selama interogasi Jati mengalami siksaan. Pasca diinterogasi, masih dengan mata tertutup Jati dimasukan dalam penjara bawah tanah.

Menurut Jati apa yang telah dilakukan aparat terhadapnya dan rekan-rekannya sesama korban merupakan bentuk penculikan. Sebab, ketika ditangkap aparat tidak menunjukan surat penangkapan dan ia tidak diperkenankan didampingi pengacara. “Institusi yang menangkap kami itu intelijen,” ujarnya.

Faisol Riza berharap 13 korban yang masih hilang agar cepat kembali kepada keluarganya. Menurutnya hal yang penting dilakukan saat ini adalah mencari kejelasan apakah 13 korban itu masih hidup apa tiada. Atas dasar itu ia bersama rekan-rekan korban lainnya berharap agar Jokowi-JK jika terpilih agar mampu mencari para korban yang hilang. “Kami berharap kasus itu tidak terjadi lagi,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait