PTTUN Terima Eksepsi Patrialis, LSM Akan Kasasi
Utama

PTTUN Terima Eksepsi Patrialis, LSM Akan Kasasi

Patrialis menilai putusan ini sebagai kemenangan penegakan hukum.

Oleh:
ALI/ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim PTTUN DKI Jakarta yang mengabulkan eksepsi Patrialis Akbar, dari kiri ke kanan: Arifin Marpaung, Sugiya, dan Iswan Herwin. Foto: www.pttun-jakarta.go.id (Edit)
Majelis hakim PTTUN DKI Jakarta yang mengabulkan eksepsi Patrialis Akbar, dari kiri ke kanan: Arifin Marpaung, Sugiya, dan Iswan Herwin. Foto: www.pttun-jakarta.go.id (Edit)
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar untuk sementara bisa bernafas lega. Pasalnya, upaya sejumlah LSM mempersoalkan Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan dirinya - dan Hakim Konstitusi Maria Farida- terganjal di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta.

Majelis hakim PTTUN DKI Jakarta menerima eksepsi Patrialis selaku tergugat intervensi dengan menyatakan bahwa gugatan aktivis LSM itu dinyatakan tidak terima. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan PTUN DKI Jakarta yang sempat memenangkan penggugat.

“Menerima eksepsi tergugat intervensi,” demikian bunyi putusan majelis hakim yang terdiri dari Arifin Marpaung, Sugiya dan Iswan Herwin ini pada 11 Juni lalu, sebagaimana salinan yang diperoleh hukumonline dari YLBHI.

Dalam pertimbangan putusannya, majelis mengakui bahwa para penggugat –Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW)- memiliki legal standing sebagai entitas badan hukum. Namun, para penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk mempersoalkan Keppres pengangkatan Patrialis.

Majelis menjelaskan bahwa ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan hak gugat bagi organisasi masyarakat. Misalnya, dalam hal perlindungan dan pengelolalan lingkungan hidup, perlindungan kehutanan dan perlindungan konsumen. Namun, tidak dalam kasus ini, yakni mengacu ke UU Mahkamah Konstitusi (MK).

“Secara a contrario, penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk mengajukan gugatan memohon pembatalan Keppres (pengangkatan hakim konstitusi) di PTUN. UU MK tak mengatur hak gugat untuk ormas,” sebut majelis dalam pertimbangan hukumnya.

Kuasa hukum penggugat Bahrain menyatakan akan segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan ini. “Besok akan kami daftarkan,” ujar Direktur Advokasi YLBHI di Gedung YLBHI, Jakarta, Senin (14/7).

Bahrain menilai putusan ini menutup ruang publik untuk berpartisipasi dalam mengawasi lembaga publik seperti MK. “Kalau kita bicara penyelenggara negara, konsepnya kan melekat pada partisipasi publik dan transparansi,” jelas Bahrain lagi.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar mengkritik alur berpikir majelis yang menyatakan ormas tak punya kepentingan terhadap proses pengangkatan hakim MK. Bila cara berpikirnya seperti ini, berarti publik atau masyarakat tidak bisa melaporkan hakim MK yang terindikasi korupsi karena dianggap tak mempunyai kepentingan.

“Ini kan logika yang salah,” ujarnya.

Erwin juga menilai bahwa argumen majelis yang menyatakan bahwa penggugat mempunyai legal standing (sebagai entitas badan hukum), tetapi tak punya kepentingan mempersoalkan pengangkatan hakim konstitusi adalah sikap yang aneh.

“Kami tak paham dengan putusan yang membedakan antara legal standing dan kepentingan penggugat. Secara akademik, dua hal tersebut merupakan satu kesatuan,” tegasnya.

Kemenangan Penegakan Hukum
Ditemui terpisah, Patrialis mengaku sudah mengetahui putusan tersebut. Ia bahkan sudah menerima salinan putusannya. “Gugatan pemohon tidak dapat diterima karena pemohon bukan pihak yang dirugikan secara langsung menurut pengadilan tinggi,” ujarnya di Gedung MK, Senin (14/7).

Menurut Patrialis, putusan ini bukanlah kemenangan dirinya atau Maria Indrati (Hakim Konstitusi yang pengangkatannya satu Keppres dengan Patrialis), tetapi kemenangan penegakan hukum. “Tentu saya sudah sampaikan ke bu Maria, isinya kami sangat menghormati putusan itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Patrialis mempersilakan bila penggugat yang tak puas mengajukan kasasi. “Nggak apa-apa kasasi, boleh-boleh saja. Semuanya itu proses yang memang disediakan oleh hukum acara kita. Memang kasasi ada penilaian lebih lanjut dari hakim agung. Kita serahkan saja kepada lembaga yang berwenang,” pungkasnya.

Sekadar mengingatkan, YLBHI dan ICW menggugat Keppres No.87/P Tahun 2013 yang mengangkat jabatan hakim konstitusi Patrialis Akbar. Penggugat menilai bahwa pengangkatan Patrialis melanggar Pasal 19 UU MK yang menyatakan bahwa ‘Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif’.

Ketentuan ini diperjelas dengan penjelasan yang berbunyi, “Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan”.

Penggugat menilai bahwa Patrialis ujug-ujug diangkat oleh presiden tanpa melewati proses tersebut.
Tags:

Berita Terkait