Rapor Merah Kebebasan Beragama
Berita

Rapor Merah Kebebasan Beragama

Impunitas masih terjadi. Korban sering dikriminalisasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: Sgp
Foto: Sgp
Sejumlah aktivis menilai negatif penanganan kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan selama sepuluh tahun terakhir. Kasus-kasus yang terjadi tak diselesaikan secara tuntas, dan kasus lain terus bermunculan.

KontraS mencatat dalam setahun terakhir tak kurang dari 102 kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terpantau. Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Krisbiantoro, menjelaskan aktor atau pelaku kekerasan dan peristiwanya cenderung meluas, dan impunitasnya bertambah. Akuntabilitas hukum aparat penegak hukum tak memadai, sehingga kasus sejenis terus berulang.
Pemerintah cenderung tak menyelesaikan persoalan hingga tuntas.  Krisbiantoro menilai rendah penyelesaikan pemerintah terhadap konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Rapornya merah,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin (14/7) kemarin.

Kasus kekerasan seyogianya bisa diselesaikan melalui instrumen hukum. Faktanya, melalui instrumen hukum pula kelompok intoleran seolah mendapatkan legitimasi melakukan tindakan kekerasan. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri sering dijadikan acuan untuk melakukan tindakan tidak terpuji kepada kelompok tertentu.

Belum lagi peraturan di daerah yang dikeluarkan sejumlah daerah, yang pada intinya kian menyebarkan sikap intolen. KontraS mencatat sampai tahun 2009 ada 151 Perda yang bersifat intoleran di berbagai daerah. Misalnya, larangan bagi jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011.

Melansir data Wahid Institute, terjadi peningkatan jumlah tindakan intoleran dari 121 kasus pada 2009 jadi 184 kasus 2010. Tahun 2011 meningkat menjadi 276 kasus, tahun 2012 ada 274 kasus dan 245 kasus pada 2013. Pada tahun 2014 ditemukan 17 tindakan intoleransi.

Parahnya, kata Krisbiantoro, walau tindakan intoleran cenderung meningkat, penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aparat berwenang seringkali melakukan pembiaran. Bahkan, pihak intoleran itu melakukan aksinya dengan kawalan polisi. Sekalipun ada tindakan hukum, sanksi yang dijatuhkan pun ringan. Seperti pelaku pembunuhan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik yang hanya mendapat vonis 3 sampai 6 bulan penjara.
Menurutnya, hal itu tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku intoleran. Tak jarang pula, korban menjadi tersangka, seperti yang dialami pemimpin komunitas Syiah Sampang di Jawa Timur, Tajul Muluk. PN Sampang memvonis dua tahun penjara atas tindak pidana penistaan agama. Padahal, komunitas Syiah di Sampang terusir dari kampung halamannya.

Penanganan warga Syiah di penampungan pun dinilai belum maksimal. Janji pemerintah untuk memulangkan mereka ke kampung halaman pada 2013 tak terealisasi. Padahal, kata Fakhul Khoir, pendamping masyarakat Syiah di Sampang, warga harus menyewa di lokasi penampungan.

Staf advokasi Aliansi Sumut Bersatu, Kristina Pakpahan, mengatakan situasi intoleransi juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Seperti adanya upaya untuk menghambat warga yang ingin membangun gereja atau masjid di beberapa daerah di Sumatera Utara.
Tags:

Berita Terkait