Panduan Memahami Laras Bahasa Hukum
Resensi

Panduan Memahami Laras Bahasa Hukum

Mengapa bahasa hukum sering dianggap sulit dipahami, dan kalimatnya multitafsir? Sebaiknya bacalah buku-buku bahasa hukum.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Meskipun dunia peradilan dan perundang-undangan sudah lama ada, terbilang sedikit sekali perhatian pada bahasa hukum. Dalam skala luas, Simposium Bahasa dan Hukum di Prapat, Sumatera Utara, November 1974, layak disebut. Tetapi sedikit yang menulis tentang bahasa hukum.

Itulah ‘kegalauan’ Prof. Hilman Hadikusuma, Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Lampung, yang melatarbelakangi penulisan buku ‘Bahasa Hukum Indonesia (edisi perdana 1984).

Nun jauh di sana, di negeri Kincir Angin, seorang Indonesianis, Ab Massier, juga menaruh perhatian senada. Jadilah kemudian Massier menghasilkan sebuah karya disertasi tentang bahasa hukum di Universitas Leiden. Judulnya ‘van Recht naar hukum: Indonesische juristen en hun taal 1915-2000’ (2003), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Voice of Law in Transition: Indonesian Jurist and Their Language, 1915-2000 (KITLV Press, 2008).

Bertahun-tahun setelah karya Prof. Hilman dan Ab Massier, barulah terbit satu dua karya yang mencoba merumuskan bahasa hukum. Sekadar contoh, layaklah disebut buku ‘Bahasa Hukum & Perundang-Undangan’ karya Nico Ngani (2012).

Pada tataran praktis, pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, menyajikan topik bahasa hukum dalam sesi khusus. Tetapi dalam bentuk karya cetak, telaah bahasa hukum mungkin terbilang dengan jari.

Buku terbaru dan isinya lebih praktis adalah karya Junaiyah H. Matanggui. ‘Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan’, begitu judul buku yang diterbitkan Grasindo ini. Dibanding buku-buku terdahulu, karya Junaiyah mungkin lebih praktis. Mudah dipahami bukan saja orang hukum, tetapi juga orang ‘luar’ yang ingin memahami bahasa hukum.

Sifat pragmatikal buku Junaiyah dapat dipahami karena sang penulis punya latar belakang bekerja di Pusat Bahasa, dan selama 18 tahun (1986-2004), membantu pemerintah di bidang litigasi. Pengalamannya merapikan bahasa peraturan perundang-undangan membuat Junaiyah punya kekayaan contoh-contoh kesalahan penggunaan kata dalam kalimat perundang-undangan.

Bahasa hukum bukanlah bahasa baru. Kaidah kalimat, bentuk kata, kosa kata, dan tata tulisnya tak berbeda sama sekali dari bahasa Indonesia pada umumnya. Bedanya, bahasa yang dipakai dalam bidang hukum menggunakan istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian sesuai kebutuhan dan kelaziman yang berlaku di bidang hukum (hal. 1).
Judul Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan
Penulis Junaiyah H. Matanggui
Penerbit Grasindo, Jakarta
Cet-1 2013
Hal. 161 + vi

Mungkin dalam perspektif ini, kita bisa memahami mengapa kalimat-kalimat dalam putusan selalu diawali dengan kata ‘bahwa’, atau rumusan pidana yang banya diawali kata ‘barangsiapa’.

Model bahasa demikian, yang lazim dipakai dalam bidang tertentu seperti hukum, disebut laras bahasa. Penulis yakin kaidah tata bahasa yang digunakan untuk bidang hukum dan peraturan perundang-undangan sana sekali tidak berbeda dari kaidah yang digunakan pada ragam resmi pada umumnya. Misalnya: (i) kata terpilih harus kata yang baku; (ii) harus melambangkan konsep dengan tepat, lazim, dan saksama; (iii) struktur kalimat harus benar, lugas, jelas, dan masuk akal; (iv) kata dan kalimat harus bermakna tunggal atau monosemantis, tidak boleh ambigu, tidak boleh memiliki tafsiran ganda; dan (v) komposisinya harus lazim di bidang hukum (hal. 4).

Bahasa Indonesia bidang hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa Indonesia ragam resmi karena dipakai untuk menuliskan hukum dan peraturan resmi (hal. 3).

Kalimat di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan, kata penulis, pada umumnya mirip formula (hal. 27). Bagaimana formula kalimat itu, antara lain, sudah disinggung dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maria Farida Indrati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang kini hakim konstitusi, memuat satu bab khusus mengenai bahasa peraturan perundang-undangan dalam bukunya ‘Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentuknnya’. Bab ini sebenarnya berasal dari makalah Prof. A. Hamid Attamimi –gurunya Prof. Maria—pada Kongres Bahasa Indonesia VI, Oktober-November 1993.

Buku karya Junaiyah menyajikan beberapa topik yang sangat berguna dalam praktik. Ada bahasan mengenai makna, bentuk, dan pilihan kata; ada pula kalimat dan paragraf. Ejaan dan tanda baca pun ada! Disertai contoh-contoh pemakaian juga. Praktis bukan?

Buku ini sebenarnya berangkat dari pengalaman penulis mendampingi para legislator menyusun peraturan. Sayangnya, penulis tak menguraikan dalam konteks dan peraturan apa suatu kata salah dipahami atau disusun. Sehingga kita tak mendapatkan gambaran kesalahan-kesalahan apa yang sering dibuat perancang dalam menyusun suatu norma. 

Jika Anda seorang drafter, perancang peraturan perundang-undangan, bekerja di biro hukum, atau bertugas di bidang legislasi, Anda layak membaca buku ini. Tentu tak menafikan pekerja di tempat lain yang berminat pada isu-isu bahasa hukum.

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait