Detik-detik Menentukan Arah Masa Depan.
Tajuk

Detik-detik Menentukan Arah Masa Depan.

Dari kampanye kedua capres, kita belum bisa melihat banyak, terutama yang terkait dengan pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kemampuan penyusunan legislasi kita.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Detik-detik Menentukan Arah Masa Depan.
Hukumonline
Kita telah melewati hari yang luar biasa penting, hari dimana para pemilih datang ke TPS dan menentukan nasib 250 juta rakyat Indonesia untuk lima tahun mendatang. Tentu bukan sekadar bagaimana kita akan dipimpin dan diarahkan selama lima tahun mendatang oleh pemimpin baru, tetapi lima tahun yang akan menentukan maju mundurnya kehidupan berbangsa kita pada dasawarsa-dasawarsa mendatang. 

Apa yang akan diputuskan selama lima tahun ke depan akan berdampak terhadap semua aspek kehidupan, apakah itu kebijakan publik, efektivitas lembaga-lembaga negara, anggaran belanja negara, penegakan hukum, tatanan ekonomi, prioritas pembangunan, akses pembiayaan, tingkat pendidikan dan kesehatan, pemberantasan korupsi, penghargaan atas HAM, kemajuan teknologi, penyediaan dan konsumsi pangan dan energi, bantuan kepada pemeran ekonomi lemah, pengentasan kemiskinan, penghargaan seni budaya, dan banyak lagi sederet panjang aspek kehidupan lainnya.

Lima tahun juga bukan masa yang cukup lama untuk melakukan pencapaian-pencapaian baru, apalagi bilamana semua program berjalan yang efektif ditinjau ulang dan diganti oleh program baru yang mungkin populis tetapi tidak realistis untuk kondisi Indonesia kini.

Dari kampanye capres dan debat capres kita juga tidak mendapat banyak hal, karena janji hanya akan tinggal janji bilamana kepentingan-kepentingan, asumsi-asumsi, dan kondisi-kondisi yang menjadi dasar dari pelaksanaan janji kelak tidak mendukung kebijakan pada saat akan dilaksanakan. Semua capres menjanjikan perbaikan dengan slogan dan cara masing-masing, bahkan dengan sejumlah ekspresi yang cukup menggelikan bagi awam sekalipun. Pemilih yang sadar (well-informed voters) tentu bisa menilai mana besi mana loyang.

Celakanya,  majoritas pemilih bukan “well-informed voters”, mereka memilih berdasarkan panggilan nurani, kesamaan latar belakang, alasan primordial, dan dorongan emosi karena merasa menjadi bagian dari salah satu sifat dan kecenderungan seorang capres.  Wong cilik merasa nyaman dengan capres yang bisa mendudukkan dirinya sama dengan para kawula. Pemilih yang mengagumi keperkasaan dan tampilan serta ekspresi fisik cenderung untuk memilih capres dengan latar belakang militer. Semua itu hal-hal wajar dan sangat manusiawi, dan dilakukan juga oleh semua bangsa lain di dunia. Kita masih ingat bahwa pemilih Obama banyak yang mengaitkannya dengan persamaan hak di Amerika Serikat, atau sebagai bukti nyata tentang Amerika sebagai “land of opportunity”.

Dalam banyak kampanyenya, para capres seperti menganggap Indonesia itu kaya raya, kita punya banyak cadangan devisa, dan masih cukup banyak sisa anggaran yang bisa bebas digunakan untuk membuat rencana apapun yang mereka tawarkan sebagai jualan pilpres dengan menjanjikan lompatan-lompatan ke depan. Tidak terbayang oleh mereka betapa ketatnya pemerintah manapun di bagian dunia manapun kini yang bergulat dengan kondisi ekonomi yang suram. Optimisme dari semangat membangun bangsa tidak diukur dengan kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar kita. Ya, tetapi itulah kampanye pemilu, sebagian di antaranya sangat tidak masuk akal, tetapi nampak hebat dan popular.

Sebagai “orang hukum”, perhatian kita tentu pada bagaimana presiden terpilih nanti akan mampu melakukan berbagai perbaikan terhadap sistem, lembaga, penegak dan praktik hukum kita. Dari situ sedikit banyak kita bisa mengukur bagaimana kemampuan mereka untuk melakukan perbaikan di bidang-bidang lainnya. Dari kampanye kedua capres, kita belum bisa melihat banyak, terutama yang terkait dengan pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kemampuan penyusunan legislasi kita.

Capres Prabowo kerap mengatakan “bocor, bocor, bocor…” tentang anggaran negara seraya secara kontradiktif memuji sukses pemerintahan SBY, tanpa memperhatikan bahwa calon wakilnya adalah menteri paling senior yang bertanggung jawab atas masalah kebocoran anggaran, dengan mengutip pernyataan Ketua KPK yang tidak diakui oleh KPK sendiri melalui juru bicaranya. Tidak jelas bagaimana kebocoran bisa terjadi, dimana kegagalan sistem tata kelola dan pengawasan, dan bagaimana caranya supaya kebocoran tidak terjadi. Mungkin ia perlu lebih berkaca bahwa kebocoran terjadi karena korupsi yang dilakukan oleh sejumlah ketua dan anggota partai politik koalisinya.

Capres Jokowi mengkampanyekan pemerintahan yang bersih, penggunaan teknologi informasi untuk pengelolaan proyek pembangunan dan anggaran, dan akan meningkatkan anggaran KPK sebanyak 10 kali lipat, tanpa menjelaskan bagaimana semua itu dilakukan, dimana prioritas utamanya, apa yang harus menjadi quick wins, dan dream team seperti apa yang mampu melakukan itu dalam waktu lima tahun. Kelihatannya masuk akal, tetapi kita masih terus meraba-raba, sehingga praktis banyak upaya investasi dan pembangunan baik pemerintah maupun swasta, terutama swasta asing, tertunda menunggu kejelasan.

Siapapun presidennya, mereka akan menghadapi masalah klasik bidang hukum kita yang tidak bisa kita selesaikan agendanya sejak reformasi 1998.  Prioritas utama tentu ujung rangkaian penegakan hukum kita, yaitu perbaikan di sistim judisial kita. Barusan, Presiden menandatangani aturan tentang perbaikan remunerasi untuk Hakim Agung. Suatu langkah bagus, tetapi tidak bisa berhenti sampai di sana saja, karena justru yang utama adalah apakah dengan remunerasi tinggi Hakim Agung kita mempunyai kualitas memutus yang baik, tidak korup, dan mampu menjawab tantangan-tantangan besar dalam perkara-perkara yang makin rumit. Rasanya belum.

Seharusnya remunerasi tinggi menjadi suatu ganjaran bila capaian para Hakim Agung sudah sampai pada titik yang kita tetapkan sebagai standar ideal sistim judisial kita, yaitu kelembagaan yang transparan, akuntabel, efisien, dan hakim-hakim yang independen, bersih, dan mampu menjawab segala kerumitan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang masih dalam transisi seperti kita ini. Remunerasi tinggi bukan suatu solusi ampuh kalau semua capaian tersebut belum dapat dilakukan, karena godaan finansial dan pengaruh kekuasaan dan politik jauh lebih besar dari remunerasi tinggi tersebut. Untuk perkara-perkara trilyunan, uang sogokan yang diterima akan jauh lebih menarik dibanding remunerasi resmi Hakim Agung.

Demikian juga, tekanan penguasa dan politisi akan lebih dahsyat dibanding dengan semua manfaat resmi yang mereka terima untuk bertindak sebagai Hakim Agung yang independen. Kalau hakim kita belum mampu mengerti keuangan negara, arti krisis ekonomi, beda tindakan koruptif dengan penyelamatan sistem perekonomian atau perbankan, atau sistem ketatanegaraan termasuk kapan suatu perppu untuk penyelamatan ekonomi bisa dikeluarkan, maka rasanya kualitas judisial kita masih berkutat di sekitar pemahaman kasar apa yang tertulis, yang bila disertai dengan tekanan politis yang kuat, memberi potensi rusaknya sistem peradilan yang akan gagal untuk membangun ekonomi yang sehat, pemerintahan yang bersih, iklim investasi yang baik, dan menciptakan generasi pejabat publik yang kredibel.  

Kita juga masih jauh dari capaian yang ideal untuk mereformasi kejaksaan dan kepolisian. Korupsi dan perilaku menyimpang kerap muncul dari awal sejak suatu proses perkara dimulai dari tingkat paling bawah. Tanpa mereformasi kelembagaan dan pembersihan serta penyaringan ulang penegak hukum, sistim peradilan tidak akan mampu membendung godaan dan desakan yang muncul, berapapun jumlah remunerasi yang pantas diberikan. Demikian juga dunia profesi hukum kita, yang kerap menjadi sumber dan pendorong timbulnya korupsi di sistem judisial kita. Begitu banyak desas desus tentang perilaku para advokat yang menyimpang, tetapi belum pernah terdengar penegak hukum, bahkan KPK, mampu mengungkap praktik kotor sejumlah advokat kita kecuali yang bermain kasar di kelas teri.

Persoalan utama lainnya juga masalah klasik, yaitu masih banyaknya tumpang tindih aturan hukum dan tidak konsistennya pemahaman dan penerapan hukum kita, tidak jelasnya praktik pelaksanaan otonomi daerah tentang yang menjadi wewenang pusat dan mana daerah, serta kelemahan pemerintah maupun parlemen dalam penyusunan legislasi.

Dalam debat capres ada suatu tanya jawab menarik antara Jokowi dan Prabowo. Ketika dberi kesempatan oleh moderator, Prabowo menanyakan apa yang akan dilakukan oleh Jokowi terhadap kontrak-kontrak internasional yang ditandatangani oleh RI yang jelas-jelas merugikan posisi dan kepentingan Indonesia. Diyakini dia merujuk pada kontrak karya dan kontrak bagi hasil atau kontrak jual beli hasil sumber daya alam Indonesia yang selama ini dianggap merugikan. Dari pertanyaan ini, jelas bahwa Prabowo memposisikan dirinya untuk bila kelak berkuasa akan menggunakan segala cara untuk merenegosiasikan semua kontrak internasional yang dianggap merugikan.

Jokowi menjawab sederhana, yaitu akan menghargai semua kontrak internasional yang masih berlaku, kecuali bilamana dalam kontrak tersebut ada suatu klausul yang memungkinkan dilakukannya renegosiasi. Jokowi meneruskan bahwa setelah kontrak berakhir tentu pemerintahannya akan berupaya membuat kontrak dengan posisi tawar yang lebih baik.

Tanya jawab singkat tadi kelihatan sederhana dan tidak cukup berarti, tetapi untuk banyak pelaku usaha, bagi mereka yang terkait dengan manajemen hubungan internasional dan bagi banyak profesi termasuk lawyers, diskusi tadi sangat penting, dan menunjukkan karakter dan arah pemerintahan masing-masing capres bila mereka terpilih. Tanya jawab tersebut juga mencerminkan pemahaman masing-masing capres tentang kondisi dan latar belakang pada waktu kontrak-kontrak internasional dibuat, yaitu manakala kita masih menjadi bagian dari negara-negara terbelakang tanpa modal, teknologi dan sumber daya manusia yang mampu bersaing. Dan juga penting untuk melihat bagaimana para capres memahami isu nasionalisme dalam berbagai konteks kehidupan berbangsa di antara bangsa-bangsa lain didunia, yang akan menentukan apakah kita akan berdiri sama tinggi secara terhormat karena mampu menempatkan diri dengan bermartabat, atau kita adalah rezim totaliter yang menekan ke dalam dan menantang keluar atas nama nasionalisme sempit yang kita tahu dalam sejarah banyak di antaranya akhirnya dikucilkan bahkan diembargo oleh dunia internasional.

Beberapa hari lagi semua menjadi jelas setelah hasil penghitungan KPU diumumkan. Hari itu juga kita akan menentukan sikap bagaimana mengisi hari-hari kedepan kita dengan kepemimpinan yang baru. Siapapun dia, kita orang hukum masih akan punya agenda yang panjang dan berliku.

ats - menjelang ramadhan 2014
Tags: