Buku Lama yang Mencari Akar Kultural Korupsi
Resensi

Buku Lama yang Mencari Akar Kultural Korupsi

Inilah salah satu buku lama yang mengaitkan korupsi dengan akar budaya negeri jajahan.

Oleh:
GAR/MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Korupsi di Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi perhatian. Jauh sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, lembaga dengan fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi menghiasi lembar sejarah Indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi. Nyatanya, korupsi tetap saja berlangsung.

Mengapa korupsi sulit diberantas? Apakah karena ia berkaitan dengan budaya, lembaga, atau dekadensi moralitas? Ada banyak analisis dan pandangan. Orang sering mengutip pandangan bahwa korupsi itu sudah membudaya. Lepas benar tidaknya pandangan demikian, yang jelas korupsi tak membedakan profesi, agama, suku, dan latar belakang lain. Anda tentu masih ingat Menteri Agama sekalipun menjadi tersangka kasus korupsi.

Mahaguru antropologi, Selo Sumardjan, dalam pengantar buku memerangi korupsi karya Robert Klitgaard (edisi Indonesia, 1998), tegas menolak anggapan korupsi telah membudaya di kalangan pemerintahan dan masyarakat. Prof. Selo Sumardjan lebih memandang korupsi sebagai suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Karena itu, yang harus dilakukan, adalah mencari obatnya.

Penelusuran sebab-sebab korupsi di kawasan Asia, khususnya Indonesia, biasanya merujuk pada buku klasik Syed Hussein Alatas, The Sociology of Corruption: The Nature, Function, Causes, and Prevention of Corruption (Times Book, 1968). Buku ini hampir selalu menjadi rujukan dalam studi-studi korupsi yang muncul belakangan.

Setahun setelah terbitnya buku Syed Hussein Alatas, sebenarnya ada satu buku sejenis yang terbit dan secara khusus membahas Indonesia. Buku dimaksud adalah Korupsi di Indonesia karya B. Soedarso (Bharata, 1969). Sekarang, buku ini terbilang langka, tak tersedia di toko-toko buku.

Bagi penulis, korupsi adalah suatu masalah kultural yang terus muncul di era modernisasi. Melalui pendekatan ini penulis berusaha menggali akar-akar korupsi dan ketiadaan respek atas hak asasi manusia. Penulis percaya pemberantasan kejahatan korupsi haya bisa efektif jika kita punya pengetahuan tentang masalah-masalah, sebab-sebab, yang meliputi kejahatan itu.
Judul Korupsi di Indonesia (Suatu Masalah Kulturil dan Masalah Modernasi)
Penulis Boesono Soedarso
Penerbit Bhatara Djakarta
Terbit 1969
Tebal 108 Halaman
Ukuran 14,8 X 21 cm

Soedarso mengibaratkan korupsi seperti seseorang yang badannya  berada di dalam mobil, tetapi kepalanya ketinggalan di pedati (hal. 59). Dalam keadaan administrasi yang tak tertata dengan baik, ditambah keadaan serba kacau, orang sering kehilangan sense of role, ia merasa bukan bagian dari orgaisasi yang harus dijalankan secara jujur.

Menariknya, dengan pendekatan kultural, penulis mencoba menarik garis ‘budaya’ korupsi itu ke era penjajahan Belanda. Penulis mengutip Indonesianis, W.F. Wertheim, bahwa meluasnya korupsi di sini terkait dengan feodalisme. Dalam tulisannya Wertheim menunjukkan pandangan-pandangan dan sikap hidup feodal yang secara tidak sadar masih kita teruskan.

Menyetorkan sesuatu kepada orang yang melayani administrasi atau surat menyurat kita, ditambah anggapan pemberian semacam itu lumrah, bisa dijadikan indikasi langgengnya budaya feodal. Di masa lalu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mempertahankan budaya feodal di kerajaan-kerajaan yang sudah ada, dipertajam lagi untuk mempertahankan kekuasaannya. Hubungan berat sebelah dan tidak adil antara penguasa feodal kerajaan dan rakyat pribumi dibiarkan saja, dan malah dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memajukan kepentingan politik dan ekonominya. Oleh karena itu, pola budaya feodal yang mengatur hubungan atasan dengan bawahan telah terbentuk sempurna, dan luluh dalam kepribadian orang-orang waktu itu.

Meskipun pada tahun 1870 politik Indonesia berubah menjadi politik liberal, yang dikatakan untuk mengganti politik serba paksaan, tanam paksa dan sebagainya, tetap tidak mampu mencapai tujuannya. Perubahan-perubahan besar dalam kebijaksanaan politik tidak dapat dirubah sekaligus, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, sekalipun menurut hakekatnya kebiasaan-kebiasaan itu berlawanan sama sekali dengan kebijaksanaan politik yang baru. Kebiasaan itulah yang sudah menjadi satu dengan keseluruhan kultur kita.Pejabat yang tak membuat garis demarkasi jelas dan tegas dengan urusan pribadi dan bisnis keluarga, justru menyuburkan penyalahgunaan wewenang, sebagai pangkal perbuatan korupsi (hal. 77).

Tentu, sebab korupsi tidak tunggal. Pejabat-pejabat yang selalu kekurangan bisa terus terdorong ke dalam jurang korupsi. Membaca buku ini salah satu upaya kita memahami korupsi dari perspektif kultural. Kalau ada yang tak sependapat dengan penulis, itu lain soal. Paling tidak, membaca buku ini, berarti telah memperkaya pengetahuan kita, terutama dari buku-buku klasik.
Tags: