Mundur dari Proses Pilpres, Prabowo Terancam Pidana
Utama

Mundur dari Proses Pilpres, Prabowo Terancam Pidana

Pakar hukum pidana berpandangan tindakan Capres nomor satu belum masuk unsur pidana.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Belum juga rampung proses perhitungan suara di tingkat nasional, Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa menarik diri dari proses perhitungan suara pemilihan presiden tingkat nasional. Tidak saja mundur, tetapi menolak hasil akhir perhitungan KPU Pusat. Sikap tersebut dinilai sebagian kalangan tidak memiliki kenegarawanan. Merujuk pada UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo dan Hatta terancam pidana.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menyayangkan sikap Capres dan Cawapres nomor urut satu itu. Neta berpandangan, pasca pengunduran diri Prabowo dan Hatta dari proses Pilpres menambah beban pekerjaan Polri. Setidaknya terdapat dua tugas berat Polri. Pertama, mengantisipasi gejolak sosial politik di masyarakat pasca penolakan Prabowo atas hasil perhitungan KPU.

Kedua, kata Netta, Polri mesti memproses pidana terhadap Prabowo. Soalnya sikap Prabowo dengan menarik diri dari proses Pilpres sebagai kejahatan demokrasi. Dikatakan Neta, merujuk pada Pasal 245 ayat (1) tidak saja ancaman berupa pidana. Tetapi pula ancaman denda paling maksimal sebesar Rp50 miliar.

“Menarik diri atau mundur dari proses Pilpres adalah kejahatan demokrasi. Prabowo akan terancam pidana penjara dan denda,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (22/7).

Pasal 245 ayat (1) menyatakan, “Setiap calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon presiden dan wakil presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan, dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp25.000.000.000 dan paling banyak Rp50.000.000.000”.

Lebih lanjut, Neta berpandangan sikap Prabowo tidak menunjukan seorang ksatria. Padahal, sebagai mantan pemimpin di kemiliteran, Prabowo mesti menunjukan jiwa ksatria dan kenegarawanan. Lagi pula, Prabowo sudah malang melintang dalam dunia perpolitikan.

“Indonesia Police Watch menyayangkan sikap Prabowo yang tidak kesatria dan tidak menggambarkan sikap kenegarawanan itu,” katanya.

Terlebih, sikap tersebut dapat memicu dan memprovokasi serta menjadi ancaman bagi situasi Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di seluruh Indonesia. Padahal, sepanjang proses Pilpres 2014 telah berjalan kondusif. “Dalam pidatonya Prabowo mengatakan, ia berjalan di atas penegakan hukum. Padahal mundur dari proses Pilpres adalah sebuah kejahatan demokrasi dan persoalan serius,” ujarnya.

Menurut Neta, menarik diri dari proses Pilpres berdampak hilangnya kesempatan memboyong sengketa Pilpres ke ranah Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, kata Neta, jika Prabowo tetap kekeuh mempersoalkan kekalahannya ke MK, Polri harus tegas menghentikannya. “Bahkan Polri harus memeriksa pelanggaran pidana Pasal 245 UU Pilpres yang dilakukan Prabowo,” ujarnya.

Pakar hukum pidana Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ), Chaerul Huda, mengatakan langkah Prabowo hanyalah menarik diri dari proses perhitungan suara di KPU. Selain itu, penolakan Prabowo lantaran dilandasai adanya dugaan berbagai kecurangan.
“Jadi dia tidak lagi mengikuti mekanisme perhitungan, karena dia menganggap ada banyak kecurangan, katakanlah seperti itu,” ujarnya dihubungi hukumonline.

Menurutnya, tanpa kehadiran pihak Prabowo, mekanisme penghitungan suara tetap berjalan. KPU melakukan perhitungan tanpa lagi memperhatikan dari pihak Prabowo. Lebih lanjut, mantan penasihat Kapolri itu berpandangan penarikan diri atau pengunduran diri dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) UU Pilpres adalah penarikan diri maupun mundur yang berakibat gagalnya proses Pemilu.

“Saya pikir tidak (masuk unsur pidana UU Pilpres, red),” ujarnya

Lebih lanjut, Cherul Huda berpandangan kubu Prabowo masih terbuka peluang mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi. Ia berpendapat, langkah menarik diri dari proses perhitungan suara sebagai upaya memperkuat dugaan kecurangan. Namun begitu, tetap upaya sesuai koridor hukum harus melalui Mahkamah Konstitusi yang putusannya final dan mengikat.

“Kalau dia tidak menarik diri dari proses perhitungan dia menerima dan mengakui dong hasil perhitungan. Jadi sebagai bagian dia untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, pertama-tama dia tidak dulu mengakui hasil perhitungan KPU. Makanya istilahnya dia menarik diri dari proses perhitungan. Tapi bukan menarik diri dari proses pencalonan,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan, Prabowo beserta tim saksi perhitungan suara di KPU menarik diri dari proses perhitungan suara tingkat nasional. Kubu Prabowo beralasan proses pelaksanaan Pilpres oleh KPU dinilai menuai banyak masalah. Bahkan dinilai tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945.

Pasalnya, kata Prabowo, banyak aturan main yang dibuat dan disepakati dilanggar oleh KPU. Alasan lainnya, rekomendasi Bawaslu terhadap sejumlah kelalaian dan penyimpangan diabaikan KPU. Padahal menurut kubu Prabobwo ditemukan sejumlah kecurangan Pemilu dengan melibatkan penyelenggara dan pihak asing.  Selain itu, KPU dinilai acapkali mengalihkan permasalahan keberatan kubu Prabowo ke Mahkamah Konstitusi seolah sebagai bagian dari sengketa pemilu.
Tags:

Berita Terkait