Pakar Kelistrikan Persoalkan Aturan SLO
Berita

Pakar Kelistrikan Persoalkan Aturan SLO

Pemohon diminta memperbaiki struktur permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar Kelistrikan Persoalkan Aturan SLO
Hukumonline
Ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mewajibkan penggunaan sertifikat layak operasi (SLO) bagi konsumen baru PT PLN (persero) maupun tambah daya. Namun, aturan itu dianggap merugikan konsumen. Apalagi, ditambah norma Pasal 54 UU yang mengatur sanksi pidana apabila ketentuan SLO tidak dilaksanakan.

Hal itu disampaikan Ibnu Kholdun, seorang pakar ketenagalistrikan yang menjadi pemohon dalam pengujian UU Ketenagalistrikan. Dalam sidang perdana yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Ibnu menilai Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan sangat memberatkan konsumen.

“Keadaan di lapangan, masyarakat ekonomi bawah, rumahnya saja tidak sampai senilai seratus juta rupiah.  Sementara sanksinya ini sampai lima ratus juta rupiah. Artinya, undang-undang ini secara tidak langsung memaksa, mau tidak mau harus dipaksakan," jelasnya pada sidang perdana perkara teregistrasi nomor 58/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (22/7).

Pasal 44 ayat (4) menyebutkan, setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi. Sementara Pasal 54 mengancam setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertipikat laik operasi dipidana penjara maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta.      

Menurut pemohon, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28 huruf g UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dari dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hak asasi manusia.

“Artinya, berdasarkan UUD 1945, kita berhak diberikan kebebasan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu guna melindungi kepentingannya. Sementara dikaitkan dengan UU Ketenagalistrikan Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 ini sifatnya memaksa dan tidak ada manfaatnya,” tegasnya.

Karenanya,pemohon meminta MK untuk membatalkan Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 UU Ketenagalistrikan dan menyatakan tidak diberlakukan kewajiban penggunaan SLO.

Menanggapi permohonan, Anggota Panel Patrialis Akbar menyarankan pemohon untuk memperbaiki struktur permohonannya. Ia juga meminta Pemohon untuk mencantumkan kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum pemohon dalam permohonannya.

“Dalam permohonan ini, belum begitu kelihatan hubungan sebab-akibat, antara permohonan dengan kerugian yang dialami. Itu perlu diuraikan dalam posisi legal standing,” sarannya.

Soal petitum, Patrialis menuturkan permohonan yang meminta MK membatalkan UU Ketenagalistrikan tidak tepat. “MK tidak boleh membatalkan suatu undang-undang. Tetapi, MK melihat apakah pasal tertentu bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Lalu, karena dia bertentangan dengan konstitusi, permintaan selanjutnya pasal itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelasnya.
Tags:

Berita Terkait