Kejaksaan Perkuat Diri Jerat Korporasi di Kasus Korupsi
Berita

Kejaksaan Perkuat Diri Jerat Korporasi di Kasus Korupsi

Ada pendapat lebih baik dikejar beneficiary owner.

Oleh:
HRS/M-18/M-19
Bacaan 2 Menit
Gedung Kejagung. Foto: SGP.
Gedung Kejagung. Foto: SGP.
Jaksa pada Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung), Asep Mulyana mengatakan Kejagung akan bekerja maksimal dalam menangani kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi.

Asep berpendapat dengan menjerat korporasi dalam perkara korupsi maka akan semakin banyak uang negara yang terselamatkan. Contoh kasus yang sempat menghangat adalah Kasus Asian Agri Group dan PT Indosat Mega Media (IM2). Dua korporasi tersebut adalah contoh nyata keberhasilan kejaksaan dalam membongkar korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Triliunan rupiah uang negara terselamatkan.

“Kami (kejaksaan, red) akan terus menyempurnakan metode-metodenya (menangani perkara tindak pidana korupsi oleh korporasi, red),” tutur Asep Mulyana kepada hukumonline usai seminar Menakar Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Bina Nusantara University, Jumat (19/7).

Penyempurnaan ini muncul lantaran kejaksaan selalu terkendala dengan prosedur dan tata cara penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Bolak balik berkas perkara yang memakan waktu bertahun-tahun adalah kendala yang acapkali terjadi ketika institusi ini menangani sebuah perkara. Menjawab persoalan tersebut, Asep mengatakan kejaksaan bersama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tengah menggodok peraturan jaksa agung tentang penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi.

“Persoalan yang kita alami adalah tentang prosedur dan tata cara. Sekarang lagi kita diskusikan di internal untuk kita buat peraturannya di internal kita,” ujarnya.

Editor in Chief KATADATA Metta Dharmasaputra berpendapat sedikit beda. Menurutnya, kurang maksimal jika korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana untuk mengembalikan kerugian negara. Menurutnya, pihak yang sepatutnya dikejar adalah beneficiary owner dari korporasi itu sendiri.

Mantan wartawan senior investigasi di Tempo ini mengatakan sangat banyak korporasi di Indonesia bukan sebagai entitas utama dalam suatu bidang usaha. Entitas korporasi di Indonesia sudah sangat rumit dan hanya merupakan kumpulan perusahaan-perusahaan kecil yang kurang bernilai.

“Korporasi di Indonesia itu sudah sedemikian kompleks dan ketika dibedah legalnya ternyata cuma korporasi abal-abal,” tutur Metta kepada hukumonline usai seminar.

Selain itu, Metta juga mempertimbangkan para pemegang saham di pasar modal. Menurutnya, pemegang saham publik turut merasakan akibatnya apabila yang dihukum adalah korporasi. Sedangkan beneficiary ownernya, dalang utama dari tindak kejahatan ini bisa saja tidak merasakan sanksi tersebut.

“Jadi, saya masih belum terlalu sepakat jika kita hanya mengejar korporasinya, tetapi beneficiary ownernya (harus juga dikejar,-red),” tegasnya.

Meskipun rada susah mengejar pelakon utamanya, Metta mengatakan setidaknya hukum Indonesia telah memiliki alat untuk terus mengejar si dalang, yaitu UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan terus mengikuti perputaran uangnya, Metta sangat meyakini aparat penegak hukum Indonesia akan berhasil mencapai si dalang.  “Saya sepakat sekali kalau kasus korporasi itu dikejar dengan UU TPPU,” tandasnya.

Albertina Ho, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang, mengatakan sebuah korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya apabila korporasi tersebut memang sebagai pelaku delik. Korporasi itu juga dijadikan alat atau sarana untuk menampung kejahatan atau untuk melakukan kejahatan. Apabila hal tersebut terpenuhi, tidaklah salah jika korporasi dijerat. Tujuannya adalah untuk mengambil aset perusahaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Kendati demikian, Albertina juga sepakat jika yang dikejar adalah beneficiary owner. Akan tetapi, perlu peraturan yang memadai untuk mengejar pelakon utama. Sementara itu, undang-undang untuk menjangkau korporasi sudah ada. Sehingga, Albertina berpandangan lebih baik memaksimalkan mengejar korporasi terlebih dahulu.

“Mengapa tidak kita mengejar korporasi terlebih dahulu? Untuk korporasi saja sekarang baru beberapa persen yang masuk dan tertangani dengan benar. Benarkan dahulu yang sudah ada baru kita dapat menjangkau yang lebih jauh lagi,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait