Menakar Kekuatan Circumstantial Evidence di Persaingan Usaha
Fokus

Menakar Kekuatan Circumstantial Evidence di Persaingan Usaha

Circumstantial evidence tidak dapat dihindari dalam pembuktian kasus-kasus hukum persaingan usaha.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Ketua KPPU Nawir Messi. Foto: SGP
Ketua KPPU Nawir Messi. Foto: SGP

Circumstantial evidence (atau sebagian kalangan menggunakan istilah “indirect evidence” atau bukti tidak langsung) masih terus menuai perdebatan di rezim hukum persaingan usaha, khususnya terkait kasus kartel. Ada yang setuju dengan penggunaan jenis pembuktian ini, tapi ada juga yang menolak mentah-mentah.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) termasuk pihak yang setuju dan sering menggunakan jenis bukti ini, khususnya dalam perkara kartel. Pengertian kartel adalah kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan/atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar.

Peraturan tentang kartel tersebar dalam berbagai pasal di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), seperti pasal 5 tentang kartel harga (price fixing), pasal 9 tentang kartel wilayah,dan Pasal 11 tentang kartel produksi dan pemasaran.

Menurut pasal 35 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 16UU Anti Monopoli,KPPU akan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut,pelaku usahayangterindikasi melakukan kartel, hal yang harus dinilai oleh KPPU adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel. Masalahnya, pembuktian dengan menggunakan perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan.

Oleh karena itulah,pembuktian kartel berkembang menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti secara tidak langsung dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan tool-tools ekonomi yang memang secara ilmiah diakui dan bisa menunjukkan korelasi antara satu fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.

Namun, langkah KPPU ini sering terhambat dengan putusan Mahkamah Agung (MA). Contohnya, adalah kasus kartel minyak goreng dan kartel fuel surcharge. Putusan KPPU terhadap dua kasus kartel yang berdasarkan indirect evidence ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi mengatakan dunia hukum Indonesia belum mengenal istilah circumstantial evidence. Alhasil, tanpa memeriksa kasus secara mendalam, pengadilan langsung mengeyampingkan perkara tersebut.

Tags:

Berita Terkait