Perlunya Pengawasan Implementasi PP Aborsi
Utama

Perlunya Pengawasan Implementasi PP Aborsi

Untuk menghindari praktik aborsi ilegal.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. Foto: SGP
Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. Foto: SGP
Resmi sudah keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat dari potensi gangguan kesehatan fisik maupun psikis terkait dengan dibolehkannya aborsi.  Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dalam rangka implementasi PP tersebut di tengah masyarakat. Demikian disampaikan anggota Komisi IX, Poempida Hidayatulloh di Gedung DPR, Selasa (19/8).

Poempida berpandangan diperbolehkannya aborsi dengan berbagai pertimbangan, seseorang yang berpotensi mengalami gangguan kesehatan fisik maupun psikis masih memiliki pilihan. Dengan kata lain, keputusan melakukan aborsi atau sebaliknya tergantung dari si pelaku.

Kendati demikian, pengambil keputusan melakukan aborsi tentu saja didasarkan pada keyakinan agama dan kepercayaan masing-masing. Selain itu, aborsi dilakukan mesti dengan berbagai pertimbangan kesehatan. “Misalnya, yang bersangkutan beragama tertentu yang melarang itu, ya silakan decision ada di pasien,” jelasnya.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan, dengan berbagai pertimbangan diterbitkan PP tersebut, pengawasan di tengah masyarakat harus dilakukan ketat. Apalagi, hal tersebut menyangkut kesehatan masyarakat. Poempida khawati, jika tidak dilakukan pengawasan ketat justru akan dijadikan celah menjadi praktik aborsi ilegal.

“Catatan yang menjadi sorotan saya adalah pengawasan dari implementasi PP tersebut, jangan sampai terjadi praktek aborsi ilegal yang terjadi karena pergaulan bebas yang berpotensi banyak terjadi dengan diberlakukannya PP ini,” ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya Okky Asokawati mengatakan, PP No.61 Tahun 2014 merupakan amanah Pasal 15 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurutnya, dalam pasal tersebut menyebutkan adanya keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan tertentu.

Selain itu, kata Oki, tindakan medis dapat dilakukan bila terdapat kelainan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Okky berpandangan, tindakan medis setidaknya dapat meringankan beban psikologis bagi korban. Sebab dengan begitu, korban memiliki harapan kualitas hidup yang lebih proporsional.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu lebih jauh mengatakan untuk melakukan aborsi perlu beberapa surat pengantar dari penyidik, psikolog atau psikiater, serta orang tua maupun suami yang bersangkutan. Terpenting, kata Okky, tindakan medis dilakukan sebelum usia kehamilan selama empat puluh hari.

Menurutnya, dalam penerbitan PP tersebut sudah dikonsultasikan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Okky mahfum adanya kekhawatiran disalahgunakan bagi kehamilan di luar nikah. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan membaca PP No.61 Tahun 2014 secara utuh. Pasalnya PP tersebut dipandang sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan dan keluarga.

“Saya rasa aborsi diluar nikah itu illegal dan juga tidak transparan. Beda mekanisme proses legalitasnya. Jadi PP ini hendaknya dibaca secara menyeluruh dan dilihat payung hukum UU Kesehatan,” katanya.

Kendati demikian, Okky menegaskan perlunya dilakukan pengawasan dalam implementasi PP tersebut. Apalagi, praktik aborsi ilegal pun masih marak terjadi. Terlebih, kata Okky, masih banyaknya perempuan korban pelecahan asusila. “Justru dengan PP ini pengawasan terhadap fasilitas kesehatan/klinik/ RS Bersalin bisa lebih ketat karena untuk melakukan aborsi hanya boleh dilakukan dengan indikasi dan alasan yang diatur dalam UU,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, pemerintah tidak pernah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang praktik aborsi. Ia menyebutkan, PP No. 61 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 adalah tentang Kesehatan Reproduksi.

Bahwa di PP tersebut diatur masalah aborsi, Menkes menegaskan, bahwa hal itu hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yaitu yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan.

“Tidak boleh ada aborsi kecuali untuk kedua alasan itu,” kata Menkes kepada wartawan di kantor kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8), sebagaimana dilansir dari laman www.setkab.go.id.
Tags:

Berita Terkait