MA: Rekrutmen Hakim Ad Hoc Perlu Ditinjau Ulang
Berita

MA: Rekrutmen Hakim Ad Hoc Perlu Ditinjau Ulang

Apakah proses rekrutmen hakim ad hoc tipikor masih diperlukan?

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: SGP
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA. Foto: SGP
Di tengah krisis jumlah hakim ad hoc tipikor sejak tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) justru melontarkan wacana peninjauan ulang proses rekrutmen hakim ad hoc yang selama ini dilakukan oleh tim independen. Sebab, faktanya dari ratusan pendaftar yang mengikuti seleksi hakim ad hoc tipikor, sedikit sekali yang dinyatakan lulus memenuhi kualifikasi yang ditentukan undang-undang.    

“Awalnya hakim ad hoc tipikor itu diambil bisa menjadi solusi ketika hakim karier dianggap tidak independen, tetapi ternyata bukan jadi solusi karena banyak juga hakim ad hoc tipikor justru bermasalah, seperti hakim ad hoc Semarang Asmadinata, Ramlan Comel,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur di Gedung MA, Rabu (27/8).

Dia mengungkapkan saat ini beberapa Pengadilan Tipikor di daerah hanya tinggal beberapa orang hakim ad hoc tipikor. Beberapa hakim ad hoc masa baktinya (5 tahun) pun akan segera berakhir. Terlebih, melihat proses rekrutmen yang dilakukan selama ini cukup sulit mencari calon yang berkualitas dan berintegritas yang baik. Seperti, rekrutmen tahun lalu, pansel hanya meloloskan 1 orang hakim ad hoc tipikor.   

Karena itu, pihaknya berpikir ulang apakah proses rekrutmen hakim ad hoc tipikor masih diperlukan? Kalaupun rekrutmen hakim ad hoc tipikor tak diperlukan lagi, menurutnya upaya yang bisa dilakukan untuk menutupi kekurangan hakim ad hoc Tipikor adalah dengan mendayagunakan hakim karier yang ada untuk dibina secara khusus menangani perkara-korupsi yang selama ini sudah dilakukan (sertifikasi).   

“Jadi apakah keberadaan hakim ad hoc tipikor akan tetap dipertahankan atau semakin susut yang akan mengganggu proses persidangan dan pelayanan peradilan?” kata Ridwan.  

Dia ungkapkan berdasarkan pengalamannya menjadi panitia rekrutmen hakim ad hoc tipikor,  kebanyakan calon yang mendaftar adalah para pencari pekerjaan (jobseeker). “Seprti, pedagang hand phone, penjual pulsa, ibu rumah tangga. Kalaupun ada lawyer, lawyer yang kadang sidang, kadang tidak, atau dosen yang kampusnya di ruko, makanya kemarin cuma lulus satu,” bebernya.    

“Mereka (hakim ad hoc) tidak pernah sidang, sedangkan pas masuk langsung disodorkan berkas,” tandas Ridwan.

Meski diberikan kewenangan untuk membuka formasi penerimaan hakim ad hoc tipikor setiap tahunnya, proses seleksi tetap dilakukan lembaga independen yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Universitas Indonesia dan mantan hakim agung maupun Jaksa Agung.

“Nah silakan pemerintah, itu kan amanat undang-undang (UU Pengadilan Tipikor). Kita sangat mengharapkan gimana caranya kita peroleh hakim, kita sebagai user sudah banyak kekurangan hakim,” tukasnya. Baginya, kekurangan hakim ad hoc tipikor memang cukup mengkhawatirkan saat ini.

Menanggapi persoalan ini, komisioner KY Imam Anshori Saleh setuju jika pemenuhan hakim diambil dari karier yang sudah mengikuti pelatihan. Sebab, kenyataannya banyak hakim yang telah memiliki sertifikasi justru tidak difungsikan.

“Rekrutmen itu kan atas perintah undang-undang, jadi kalau ingin hentikan rekrutmen hakim ad hoc ya harus merevisi undang-undangnya. Hanya saja secara prinsip saya setuju kekurangan hakim tipikor diambil dari hakim karier yang sudah mengikuti pelatihan hakim tipikor dan berserikat,” katanya.

Sebab, Imam pun mengakui mencari hakim ad hoc tipikor dari non karier memang tidak mudah. “Jadi mengapa tidak menggunakan hakim karier yang siap pakai saja, tentu mereka harus diseleksi ketat, termasuk harus dilihat track record-nya,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait