Perbankan Berperan dalam Kebijakan Substitusi Impor
Berita

Perbankan Berperan dalam Kebijakan Substitusi Impor

Setidaknya terdapat tiga tugas prioritas yang harus dilaksanakan pemerintah dalam mendukung kebijakan ini.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Perbankan Berperan dalam Kebijakan Substitusi Impor
Hukumonline
Industri perbankan dinilai memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan substitusi impor yang digaungkan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo meyakini perbankan Indonesia dapat mendukung kebijakan ini.

"Kami meyakini bahwa perbankan akan memberi kontribusi terbaik melalui dukungan pembiayaan kepada industri substitusi impor dan bernilai tambah tinggi," kata Agus Marto dalam acara Indonesia Banking Expo (IBEX) 2014 di Jakarta, Kamis (28/8).

Selama ini, kata Agus, upaya pemerintah dalam meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri yang memiliki nilai tambah belum optimal. Meski begitu, upaya tersebut masih memiliki kesempatan bagi pemerintahan baru nanti. Namun, kesempatan tersebut harus distimulus dengan tiga tugas prioritas pemerintah.

Pertama, terdapatnya reformasi fiskal. Kedua, pengelolaan subsidi energi dan ketiga, penguatan administrasi perpajakan. Ketiga tugas prioritas ini harus dijalankan secara serius oleh pemerintah dalam upaya menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan.

Menurutnya, meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia bisa menjadi persoalan besar jika tak diiringi dengan peningkatan kapasitas industri dan produksi dalam negeri. "Ini bisa terjadi jika tidak memprioritaskan di sektor produksi dan substitusi impor dan tidak masuk ke dalam mata rantai produksi bernilai tambah tinggi yang oritentasi ekspor," katanya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad, menyatakan hal yang sama. Menurutnya, perbankan memiliki peran penting dalam mendorong perkembangan industri substitusi impor. Terlebih lagi, akan berlangsungnya integrasi perekonomian di negara-negara ASEAN yanh disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 mendatang.

"Direct competition  yang akan dihadapi industri perbankan akan semakin tinggi dan ini tidak akan menunggu tahun 2020 saat perbankan ASEAN berintegrasi," tutur Muliaman.

Menurutnya, untuk meningkatkan daya saing sistem perbankan Indonesia, diperlukan sistem yang lebih kompetitif dan kontributif. Hal ini telah terjadi selama lima tahun terakhir bahwa perbankan nasional telah memiliki tingkat interkoneksitas yang semakin tinggi dengan industri di sektor-sektor lain. Salah satunya, banyak bank yang memiliki anak perusahaan di bidang jasa keuangan lain, seperti asuransi.

"Beberapa perbankan bahkan memiliki sumbangan pendapatan lebih banyak dari anak-anak perusahaannya, sehingga anak-perushaan tersebut mampu menyumbang profit cukup besar bagi group usaha secara keseluruhan," tuturnya.

Pentingnya peran perbankan dalam kebijakan substitusi impor, kata Muliaman, lantaran posisi bank yang menjadi sumber pendanaan. Namun, sumber pendanaan dari perbankan selama ini bersifat jangka pendek. Seharusnya, perbankan juga memberikan perhatian kepada sumber-sumber dana yang memiliki jangka waktu yang panjang.

"Gap ini perlu kita pikirkan, pendalaman pasar modal, asuransi dan dana pensiun yang memiliki pendanaan jangka panjang mutlak menjadi agenda kita ke depan. Dengan interkoneksitas yang tinggi, maka pendalaman pasar keuangan perlu menjadi perhatian kita bersama," tutup Muliaman.
Tags:

Berita Terkait